Rabu, 07 Desember 2016

Keutamaan Surat Yasin


Siapa yang tidak mengenal surat Yasin? Bisa dibilang, surat ini adalah surat panjang yang paling banyak dibaca oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Surat ini biasa dibaca oleh kaum muslimin di Indonesia sekali seminggu. Ada yang membacanya pada Senin malam, Selasa malam, namun yang biasa kita tahu dibaca pada malam Jum’at.

Biasanya pembacaan surat Yasin dilakukan secara bersama-sama dalam satu pengajian yang kemudian dilanjutkan dengan tausyiah dari ustadz hingga berakhirnya acara.

Membaca Surat Yasin di Malam Hari adalah Bid’ah?

Belakangan, muncul pendapat yang mengatakan aktifitas di atas adalah bid’ah, padahal sejatinya tidak demikian. Walaupun tidak ada anjuran untuk mengkhususkan pada malam tertentu, namun tidak serta merta aktifitas ini menjadi bid’ah yang tercela.

Meskipun, untuk malam Jum’at atau hari Jum’at sendiri ada surat khusus yang diajarkan oleh Nabi SAW, namun hal itu tidak mengurangi keutamaan surat Yasin apabila dibaca pada malam hari.

Atau, ada juga yang berusaha menghilangkan kebiasaan baik ini dengan mengatakan bahwasannya hadits-hadits mengenai keutamaan surat Yasin adalah hadits yang dha’if (lemah). Tidak dipungkiri, memang terdapat hadits yang lemah tentang fadhilah surat ini, namun apabila kita mau menelaah lebih lanjut, sebetulnya banyak juga hadits keutamaan surat Yasin yang shahih.

Hadits Shahih Manfaat Surat Yasin

Berikut ini adalah hadits-hadits shahih seputar keutamaan surat Yasin yang termasuk di dalamnya tentang keutamaan membaca surat ini kepada orang yang meninggal.

1. Keutamaan Membaca Surat Yasin di Malam Hari

مَنْ قَرَأَ يس فِيْ لَيْلَةٍ اِبْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ

Nabi SAW bersabda: “Siapa yang membaca (surat) Yasin pada malam hari dengan mengharap keridhaan Allah maka diampuni dosa-dosanya.” (HR. Ath-Thabrani/145, 418 dan Al-Baihaqi/2360, 2361 dari Abu Hurairah, Ad-Darimi/3478 dari Hasan, dishahihkan oleh Ibnu Hibban/2626)

Pada hadits ini tidak disebutkan kekhususan pada malam apa harus dibaca, sehingga menjadi kebebasan bagi kita mau pada malam apa saja kita membaca surat Yasin. Maka terkadang kita dapati di daerah A biasa membaca surat Yasin (atau biasa disebut dengan Yasinan) pada hari Senin malam Selasa, di daerah B hari Rabu malam Kamis dan di daerah X Yasinan-nya pada hari Kamis malam Jum’at. Karena memang tidak ada penetapan secara khusus dari Nabi SAW.

مَنْ دَاوَمَ عَلَى قِرَاءَةِ يس كُلَّ لَيْلَةٍ ، ثُمَّ مَاتَ ، مَاتَ شَهِيْدًا

“Siapa yang membiasakan membaca Yasin setiap malam, kemudian ia mati, maka ia mati dalam keadaan syahid.” (HR. Ath-Thabrani/7217 dari Anas bin Malik)

Pembacaan surat Yasin lebih dianjurkan untuk dibaca pada setiap malam agar mendapat keutamaan yang lebih besar. Namun, bukan berarti masyarakat yang membacanya khusus di satu malam tertentu itu amalan yang tidak baik. Bahkan, itu lebih baik daripada orang yang tidak pernah membacanya di malam hari dengan mengharap pahala dari Allah.

2. Manfaat Membaca Surat Yasin bagi Orang yang Meninggal Dunia

اِقْرَءُوْا عَلَى مَوْتاَكُمْ يس

Diriwayatkan dari Ma’qol bin Yasar, bahwa Nabi SAW bersabda: “Bacalah untuk orang mati di antara kamu, surat Yasin.” (Hadits shahih riwayat Ibnu Hibban/3064, juga diriwayatkan oleh Abu Daud/2714, Ibnu Majah/1438, Ahmad/19416, 19427, Nasai/10913, Alhakim/2028, Ath-Thabrani/16904, Al-Baihaqi/2356, 8930)

Mengenai kapankah kita harus membacanya, ulama menjelaskan bahwa boleh ketika si mayyit itu sekarat maupun sudah meninggal. Yang lebih baik lagi, dibacakan pada kedua waktu tersebut, sebelum dan sesudah meninggalnya Mayyit. Dalam kitab At-Taysiir, Al-Munawi berkata:

وفي رواية ذكرها ابن القيم عند ( موتاكم ) أي من حضره الموت من المسلمين لأنّ الميت لا يقرأ عليه

“...dalam riwayat yang disebutkan Ibnul Qayyim: yang dimaksud “mautaakum” adalah muslim yang akan meninggal dunia, karena mayyit tidak perlu lagi dibacakan.” Kemudian beliau mengatakan:

أو المراد اقرؤها عليه بعد موته والأولى الجمع

“Atau bisa juga maksudnya adalah bacakanlah setelah kematiannya. Yang paling utama adalah digabungkan.”

Terdapat sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal -semoga Allah meridhainya- mengenai keutamaan membaca surat Yasin bagi orang yang sekarat.

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي الْمَشْيَخَةُ أَنَّهُمْ حَضَرُوا غُضَيْفَ بْنَ الْحَارِثِ الثُّمَالِيَّ حِينَ اشْتَدَّ سَوْقُهُ فَقَالَ هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يَقْرَأُ يس قَالَ فَقَرَأَهَا صَالِحُ بْنُ شُرَيْحٍ السَّكُونِيُّ فَلَمَّا بَلَغَ أَرْبَعِينَ مِنْهَا قُبِضَ قَالَ فَكَانَ الْمَشْيَخَةُ يَقُولُونَ إِذَا قُرِئَتْ عِنْدَ الْمَيِّتِ خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا قَالَ صَفْوَانُ وَقَرَأَهَا عِيسَى بْنُ الْمُعْتَمِرِ عِنْدَ ابْنِ مَعْبَدٍ

“Telah menceritakan kepada kami, Abu Mughirah, telah menceritakan kepada kami Sofwan, telah menceritakan kepadaku para guru sesungguhnya mereka menghadiri Ghudaif bin Al-Harits Ats-Tsumali ketika sekarat maka berkatalah : Siapa seorang di antara kalian yang mau membaca Yasin? -lalu Sofwan (periwayat hadits) berkata-: maka Soleh bin Syurekh As-Sakuni membaca surat Yasin tersebut, dan ketika bacaannya sampai ke-ayat 40, ternyata Ghudaif meninggal dunia. Sofwan berkata: Bahwasannya para guru mereka berkata, apabila dibacakan Yasin di sisi orang mati maka diringankan (pencabutan nyawa) darinya berkat bacaan Yasin tersebut. Berkata Sofwan : Dan Isa bin Mu’tamir telah membaca Yasin di sisi Ibnu Ma’bad.” (HR. Ahmad/16355)

Penjelasan Hadits tersebut menurut Ulama

Hadits pertama: “Barangsiapa membaca (surat) Yasin pada malam hari dengan mengharap keridhaan Allah, ia akan diampuni (dosanya).” Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam “Shahih”nya, Ibnus Sunni dalam “Amalul Yaumi wal Lailah”, Al-Baihaqi dalam “Syuabul Iman” dan lain-lain.

Komentar ulama tentangnya;

Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya tentang hadits ini, “Sanadnya bagus.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya “Nataijul Afkar fi Takhriji Ahaditsil Adzkar” berkata tentang hadits tersebut: “Ini adalah hadits hasan.”

Imam Suyuthi mengatakan tentang hadits ini: “Ini adalah sanad yang sesuai standar shahih.” (Sumber: Kitab “Al-La’ali Al-Mashnu’ah”)

Imam Syaukani berkata: “Hadits: Barangsiapa membaca Yasin dengan mengharap ridha Allah, ia akan diampuni. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu Hurairah secara marfu’ dan sanadnya sesuai standar shahih. Diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dan Al-Khathib. Maka, tidak ada alasan memasukkan hadits tersebut ke dalam kitab hadits-hadits maudhu’ (palsu).” (Sumber: Al-Fawaid Al-Majmu’ah karya Imam Syaukani 1/303 Bab Fadhlul Qur’an, Maktabah Syamilah)

Hadits kedua: “Bacakanlah surat Yasin atas orang yang hampir mati di antara kamu.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)

Komentar ulama tentangnya;

Hadits shahih menurut Ibnu Hibban (Bulughul Maram karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani).

Imam Syaukani berkata dalam “Al-Fathur Rabbani” tentang hadits tersebut: “Disebutkannya nama surat tersebut hanya dikarenakan oleh adanya keutamaan dan kemuliaan yang lebih padanya.”

Apakah itu mencakup orang yang hampir meninggal saja atau termasuk yang sudah meninggal?
Dalam At-Taysiir, Al-Munawi berkata: “...dalam riwayat yang disebutkan Ibnul Qayyim: yang dimaksud “mautakum” adalah muslim yang akan meninggal dunia, karena mayyit tidak perlu lagi dibacakan.” Kemudian beliau mengatakan: “Atau bisa juga maksudnya adalah bacakanlah setelah kematiannya. Yang paling utama adalah digabungkan.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Dikhususkannya Yasin karena di dalamnya terkandung ajaran tauhid, tempat kembali, berita gembira tentang surga untuk ahli tauhid dan kegembiraan orang yang meninggal di atas tauhid karena firman-Nya, “Seandainya kaumku mengetahui…” (At-Taysiir 1/390)

Dengan hadits-hadits shahih yang telah disebutkan tadi, maka kita tidak perlu ragu lagi untuk mengikuti masyarakat yang mengamalkan kebiasaan Yasinan, maupun membacakan surat Yasin bagi keluarga, kerabat maupun tetangga yang sedang sekarat atau telah meninggal dunia berdasarkan penjelasan di atas.

Wallahu 'alam bishshawab

Sumber nettik.net

Mengaku Ahlussunnah wal Jama’ah, Tapi Kok Menganggap Sesat Asy’ariyyah Maturidiyyah ???

Biasalah, ada yang mengaku Ahlussunnah wal Jama'ah, tetapi mereka tidak mempunyai ciri-ciri sebagai Ahlussunnah wal Jama'ah. Itulah kaum yang  jumlahnya sangat kecil secara global (dunia) yang mengaku berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah, akan tetapi nyaris sebagian besar amalannya bertentangan dengan amalan yang disepakati oleh kaum Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahkan lucunya, kaum sempalan ini  menganggap sesat Asy’ariyah Maturidiyyah yang notabene adalah perwujudan dari kaum Ahlussunnah wal Jama’ah. Inilah suatu kontradiksi yang megundang ironisme yang fatal. Di sisi lain, kaum Asy’ariyah Maturidiyyah ini secara nyata adalah terdiri dari pengikut 4 madzhab fiqih mu’tabar plus madzhab-madzhab kecil yang lainnya, yaitu para pengikut madzhab Syafi’i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi, dan orang-orang terkemuka dari madzhab Hanbali.

Akidah Ahlussunnah yang diikuti oleh penganut 4 madzhab inilah yang diajarkan hingga kini di pondok-pondok pesantren di negara kita, Indonesia. Dan akidah ini pula yang diyakini oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, di Indonesia, Malaysia, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama al-Azhar yang giat mengajarkan akidah ini), negar-negara Syam (Siria, Yordania, Lebanon, dan Palestina), Maroko, Yaman, Irak, Turki, Dagestan, Checnya, Afganistan, dan negara-negara lainnya.

Yang menjadi sangat aneh dan lucu, kaum sempalan yang mengaku Ahlussunnah wal Jama’ah itu ternyata menganggap sesat kaum Asy’ariyyah Maturidiyyah. Maka muncul pertanyaan mendasar;  “Mengaku Ahlussunnah wal Jama’ah kok menganggap sesat Asy’ariyyah Maturidiyyah?” Sungguh suatu kontradiksi yang konyol dan melawan arus sejarah kaum Ahlussunnah Waljama’ah. Untuk lebih jelas agar mengetahui lebih detail apa siapa Ahlussunnah wal Jam’ah, tulisan Abou Fateh berikut ini bisa menjadi panduan yang akan mengantar anda mengenal Ahlussunnah wal Jama’ah….

AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH ADALAH KAUM ASY’ARIYYAH DAN MATURIDIYYAH

[Waspada…. Wahabi bukan Ahlussunnah; tapi mereka Ahluttasybih]

oleh: Abou Fateh

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

وَإنّ هذِه الِملّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ، ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الجَنّةِ وَهِيَ الجَمَاعَة (رَواه أبُو دَاوُد)

“Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 di antaranya di dalam neraka, dan hanya satu di dalam surga yaitu al-Jama’ah”. (HR. Abu Dawud).

Sejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam dari semenjak abad permulaan, terutama pada masa Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib, hingga sekarang ini terdapat banyak golongan (firqah) dalam masalah akidah. Faham akidah yang satu sama lainnya sangat berbeda dan bahkan saling bertentangan. Ini adalah fakta yang tidak dapat kita pungkiri. Karenanya, Rasulullah sendiri sebagaimana dalam hadits di atas telah menyebutkan bahwa umatnya ini akan terpecah-belah hingga 73 golongan. Semua ini tentunya dengan kehendak Allah, dengan berbagai hikmah terkandung di dalamnya, walaupun kita tidak mengetahui secara pasti akan hikmah-hikmah di balik itu. Wa Allahu A’lam.

Namun demikian, Rasulullah juga telah menjelaskan jalan yang selamat yang harus kita tempuh agar tidak terjerumus di dalam kesesatan. Kunci keselamatan tersebut adalah dengan mengikuti apa yang telah diyakini oleh al-Jama’ah, keyakinan yang telah dipegang teguh oleh mayoritas umat Islam. Karena Allah sendiri telah menjanjikan kepada Nabi bahwa umatnya ini tidak akan tersesat selama mereka berpegang tegung terhadap apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka. Allah tidak akan mangumpulkan mereka semua (ummat Islam) di dalam kesesatan. Kesesatan hanya akan menimpa mereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas ummat Islam.

Mayoritas ummat Rasulullah, dari masa ke masa dan antar generasi ke generasi adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat Rasulullah dan orang-orang sesudah mereka yang mengikuti jejak para sahabat tersebut dalam meyakini dasar-dasar akidah (Ushul al-I’tiqad). Walaupun generasi pasca sahabat ini dari segi kualitas ibadah sangat jauh tertinggal di banding para sahabat Rasulullah itu sendiri, namun selama mereka meyakini apa yang diyakini para sahabat tersebut, maka mereka tetap sebagai kaum Ahlussunnah.

Dasar-dasar keimanan adalah meyakini pokok-pokok iman yang enam (Ushul al-Imam as-Sittah) dengan segala tuntutan-tuntutan yang ada di dalamnya. Pokok-pokok iman yang enam ini adalah sebagimana disebutkan dalam sebuah hadits yang dikenal dengan hadist Jibril:

الإيْمَانُ أنْ تُؤْمِنَ باللهِ وَمَلائِكَتهِ وَكُتُبهِ وَرُسُلهِ وَاليَوم الآخِر وَالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ (روَاهُ البُخَاري وَمُسْلم)

“Iman adalah engkau percaya dengan Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, serta beriman dengan ketentuan (Qadar) Allah; yang baik baik maupun yang buruk”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Pengertian al-Jama’ah yang telah disebutkan dalam hadits riwayat al-Imam Abu Dawud di atas yang berarti mayoritas umat Rasulullah, yang kemudian dikenal dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, telah disebutkan dengan sangat jelas oleh Rasulullah dalam haditsnya, sebagai berikut:

أُوْصِيْكُمْ بأصْحَابِي ثمّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثمّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، (وفيْه): عَلَيْكُمْ بالجَمَاعَةِ وَإيّاكُمْ وَالفُرْقَةَ فَإنّ الشّيْطاَنَ مَعَ الوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاثْنَيْنِ أبْعَد، فَمَنْ أرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ (رَواهُ التّرمِذيّ وَقالَ حسَنٌ صَحيْحٌ، وصَحّحَه الحَاكِم

“Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian -mengikuti- orang-orang yang datang sesudah mereka, kemudian -mengikuti- orang-orang yang datang sesudah mereka”. (Dan termasuk dalam rangkaian hadits ini): “Hendaklah kalian berpegang kepada mayoritas (al-Jama’ah) dan jauhilah perpecahan, karena setan akan menyertai orang yang menyendiri. Dia (Setan) dari dua orang akan lebih jauh. Maka barang siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh kepada -keyakinan- al-Jama’ah”. (HR. at-Tirmidzi. Ia berkata: Hadits ini Hasan Shahih. Hadits ini juga dishahihkan oleh al-Imam al-Hakim).

Al-Jama’ah dalam hadits ini tidak boleh diartikan dengan orang-orang yang selalu melaksanakan shalat berjama’ah, juga bukan jama’ah masjid tertentu, atau juga bukan dalam pengertian para ulama hadits saja. Karena pemaknaan semacam itu tidak sesuai dengan konteks pembicaraan hadits ini, juga karena bertentangan dengan kandungan hadits-hadits lainnya. Konteks pembicaraan hadits ini jelas mengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jama’ah adalah mayoritas umar Rasulullah dari segi jumlah.

Penafsiran ini diperkuat pula oleh hadits riwayat al-Imam Abu Dawud di atas. Sebuah hadits dengan kualitas Shahih Masyhur. Hadits riwayat Abu Dawud tersebut diriwayatkan oleh lebih dari sepuluh orang sahabat Rasulullah. Hadits ini memberikan kesaksian akan kebenaran apa yang dipegang teguh oleh mayoritas umat Nabi Muhammad, bukan kebenaran firqah-firqah yang menyempal. Dari segi jumlah, firqah-firqah sempalan 72 golongan yang diklaim Rasulullah akan masuk neraka seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dawud ini, adalah kelompok yang sangat kecil dibanding pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah.

Kemudian di kalangan Ahlussunnah dikenal istilah “Ulama Salaf”. Mereka adalah orang-orang terbaik dari kalangan Ahlussunnah yang hidup pada tiga abad pertama tahun hijriah. Tentang para ulama salaf ini, Rasulullah bersabda:

خَيْرُ القُرُوْنِ قَرْنِيْ ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ (رَوَاهُ التّرمِذِيّ)

“Sebaik-baik abad adalah abad-ku (periode Sahabat Rasulullah), kemudian abad sesudah mereka (periode Tabi’in), dan kemudian abad sesudah mereka (periode Tabi’i at-Tabi’in)”. (HR. at-Tirmidzi).

Pada paruh akhir abad ke tiga dari periode Salaf ini, tepatnya pada sekitar tahun 260 H mulai menyebar berbagai bid’ah dan faham-faham ekstrim dalam masalah akidah. Seperti bid’ah kaum Mu’tazilah, bid’ah kaum Khawarij, bid’ah kaum Musyabbihah, dan berbagai kelompok sempalan lainnya. Kemudian dua Imam agung; yaitu al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (w 324 H) dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi (w 333 H) datang dengan menjelaskan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang telah diyakini para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dali Naqli dan dalil-dalil ‘Aqli, disertai dengan bantahan terhadap kesesatan-kesesatan kaum Mu’tazilah, kaum Musyabbihah, kaum Khawarij, dan kelompok ahli bid’ah lainnya.

Sehingga di kemudian hari nama Ahlussunnah wal Jama’ah dinisbatkan kepada dua Imam agung ini. Karenanya, Ahlussunnah wal Jama’ah dikenal dengan nama al-Asy’ariyyun atau al-Asya’irah; yaitu para pengikut al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan al-Maturidiyyun; yaitu para pengikut al-Imam Abu Manshur al-Maturidi. Penyebutan Ahlusunnah dalam dua kelompok ini (Asy’ariyyah dan Maturidiyyah) tidak menafikan bahwa mereka berada di dalam satu golongan, yaitu al-Jama’ah. Karena jalan yang telah ditempuh oleh al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imam Abu Mansur al-Maturidi di dalam pokok-pokok akidah adalah jalan yang sama.

Perbedaan yang terjadi di antara Asy’ariyyah dan Maturidiyyah adalah hanya dalam masalah-masalah cabang akidah saja (Furu’ al-‘Akidah). Hal ini tidak menjadikan kedua kelompok ini saling menghujat atau saling menyesatkan satu sama lainnya. Contoh perbedaan tersebut, prihal apakah Rasulullah melihat Allah saat peristiwa Mi’raj atau tidak? Sebagian sahabat, seperti ‘Aisyah, ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan bahwa ketika itu Rasulullah tidak melihat Allah. Sedangkan sahabat lainnya, seperti ‘Abdullah ibn ‘Abbas mengatakan bahwa Rasulullah ketika itu melihat Allah dengan mata hatinya. Allah telah memberikan kemampuan kepada hati Rasulullah untuk dapat melihat-Nya. Perbedaan Furu’ al-‘Akidah semacam inilah yang terjadi antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah, sebagaimana perbedaan tersebut terjadi di kalangan sahabat Rasulullah.

Kesimpulannya, kedua kelompok ini masih tetap berada dalam satu ikatan al-Jama’ah. Dan kedua kelompok ini adalah kelompok mayoritas umat Rasulullah yang disebut dengan al-Firqah an-Najiyah, artinya sebagai satu-satunya kelompok yang selamat. Karena itu al-Imam al-Hafizh as-Sayyid Murtadla az-Zabidi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, menuliskan:

إذَا أُطْلِقَ أهْلُ السُّنّةِ وَالجَمَاعَةِ فَالمُرَادُ بِهِمْ الأشَاعِرَةُ وَالمَاتُرِيْدِيَّة

“Jika disebut Ahlussunah wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah”.

Dengan demikian akidah yang benar dan telah diyakni oleh para ulama Salaf terdahulu adalah akidah yang diyakini oleh kelompok al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi tidak datang dengan membuat ajaran baru, tapi keduanya hanyalah merumuskan dan menjelaskan kembali akidah yang diyakini oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

Akidah Ahlussunnah ini adalah akidah yang diyakini oleh ratusan juta umat Islam di seluruh penjuru dunia dari masa ke masa, dan antar generasi ke generasi. Di dalam fiqih mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi, dan orang-orang terkemuka dari madzhab Hanbali. Akidah Ahlussunnah inilah yang diajarkan hingga kini di pondok-pondok pesantren di negara kita, Indonesia. Dan akidah ini pula yang diyakini oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia, di Indonesia, Malaysia, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama al-Azhar yang giat mengajarkan akidah ini), negar-negara Syam (Siria, Yordania, Lebanon, dan Palestina), Maroko, Yaman, Irak, Turki, Dagestan, Checnya, Afganistan, dan negara-negara lainnya.

Kamis, 01 Desember 2016

KENAPA KITA MENYAMBUT MAULID NABI? INILAH HUJJAH-HUJJAHNYA


oleh Al-Asyairah Asy-Syafi'i

SEJARAH PERINGATAN MAULID NABI

Siapakah orang yang pertama menyambut Maulid Nabi?

Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Iraq sekarang), bernama Muzhaffaruddin Al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 Hijriyah.

Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata: “Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang yang berani, pahlawan, 'alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya”.

Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn Al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut Sultan Al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama’ dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama’ dalam bidang ilmu fiqh, ulama’ hadits, ulama’ dalam bidang ilmu kalam, ulama’ ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari, sebelum hari pelaksanaan Maulid Nabi beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para hadirin yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama’ saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua berpandang dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang dibuat untuk pertama kalinya itu.

Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A`yan menceritakan bahawa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya menuju Iraq, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriyah, beliau mendapati Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karena itu, Al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “At-Tanwir fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Sultan Al-Muzhaffar.

Para ulama’, semenjak zaman Sultan Al-Muzhaffar dan zaman selepasnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan Maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti Al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), Al-Hafizh Al-’Iraqi (w. 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar Al-`Asqalani (w. 852 H), Al-Hafizh As-Suyuthi (w. 911 H), Al-Hafizh As-Sakhawi (w. 902 H), Syaikh Ibn Hajar Al-Haitami (w. 974 H), Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H), Al-Imam Al-`Izz ibn `Abd As-Salam (w. 660 H), mantan mufti Mesir yaitu Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i (w. 1354 H), mantan mufti Beirut Libanon yaitu Syaikh Mushthafa Naja (w. 1351 H) dan terdapat banyak lagi para ulama’ besar yang lainnya. Bahkan Al-Imam As-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan Maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi umat Islam di seluruh dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.

Hukum Peringatan Maulid Nabi

Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ yang dirayakan dengan membaca sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat Nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh dengan berkah dan kebaikan kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan tersebut terhindar dari bid`ah-bid`ah sayyi-ah yang dicela oleh syara’. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 7 Hijriyah. Ini berarti perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, para sahabat dan generasi salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah  ﷺ sendiri. Para ulama’ menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi adalah sebagian daripada bid`ah hasanah (yang baik). Artinya bahwa perayaan Maulid Nabi ini merupakan perkara baru tetapi ia selaras dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dan sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya.

Dalil-Dalil Mengenai Peringatan Maulid Nabi

Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits Nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari`at Islam. Rasulullah ﷺ bersabda:

“مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ”. (رواه مسلم في صحيحه)”.

“Barangsiapa yang melakukan (merintis) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala daripada perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya selepasnya, tanpa dikurangkan pahala mereka sedikitpun”. (Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya).

Faedah daripada Hadits tersebut:

Hadits ini memberikan kelonggaran kepada ulama’ umat Nabi Muhammad ﷺ untuk melakukan perkara-perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Athar (peninggalan) maupun Ijma` ulama’. Peringatan Maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satupun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti ia telah mempersempit kelonggaran yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada zaman Nabi.

2. Dalil-dalil tentang adanya Bid`ah Hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Bid`ah.

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim di dalam kitab Shahih mereka. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir’aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:

“أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ”.

“Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi)”.

Lalu Rasulullah ﷺ berpuasa dan memerintahkan para sahabat baginda untuk berpuasa.

Faedah daripada Hadits tersebut:

Pengajaran penting yang dapat diambil daripada hadits ini ialah bahwa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan bersyukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Sama ada melakukan perbuatan bersyukur karena memperoleh nikmat atau karena diselamatkan dari bahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca Al-Qur’an dan sebagainya. Bukankah kelahiran Rasulullah ﷺ adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?!

Adakah nikmat yang lebih agung daripada dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung daripada pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibn Hajar Al-`Asqalani.

4. Hadits riwayat Al-Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Bahwa Rasulullah ﷺ ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:
“أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ”.

“Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”. (Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim)

Faedah daripada Hadits tersebut:

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ melakukan puasa pada hari Senin karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu baginda dilahirkan. Ini adalah isyarat daripada Rasulullah ﷺ, artinya jika baginda berpuasa pada hari Senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran baginda sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah ﷺ tersebut untuk kita melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca Al-Qur’an, membaca kisah kelahiran baginda, bersedekah, atau melakukan perbuatan baik dan lainnya. Kemudian, oleh karena puasa pada hari Senin diulangi setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid juga diulangi setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah ﷺ masih diperselisihkan oleh para ulama’ mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka boleh saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi’ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak menjadi masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Al-Hafizh As-Sakhawi seperti yang akan dinyatakan di bawah ini.

Fatwa Beberapa Ulama’ Ahlusunnah Wal Jama`ah:

1. Fatwa As-Syaikh Al-Islam Khatimah Al-Huffazh Amir Al-Mu’minin fi Al-Hadits Al-Imam Ahmad Ibn Hajar Al-`Asqalani. Beliau menyatakan seperti berikut:

“أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً”. وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ”.

“Asal peringatan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukilkan daripada (ulama’) Salafush Shaleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya (keburukan), jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid`ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.

2. Fatwa Al-Imam Al-Hafizh As-Suyuthi. Beliau mengatakan di dalam risalahnya “Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid”. Beliau menyatakan seperti berikut:

“عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ”.

“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, merupakan kumpulan orang-orang beserta bacaan beberapa ayat Al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) yang melakukannya akan memperolehi pahala. Karena perkara seperti itu merupakan perbuatan mengagungkan tentang kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakkan (menzahirkan) akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya (Rasulullah) yang mulia. Orang yang pertama kali melakukan peringatan maulid ini adalah pemerintah Irbil, Sultan Al-Muzhaffar Abu Sa`id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun Al-Jami` Al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.

3. Fatwa Al-Imam Al-Hafizh As-Sakhawi seperti disebutkan di dalam “Al-Ajwibah al-Mardliyyah”, seperti berikut:

“لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ “بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ”. ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ”.

“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorangpun daripada kaum Salafush Shaleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan umat Islam di semua daerah dan kota-kota besar sentiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai-bagai sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih daripada kebiasaannya. Bahkan mereka berkumpul dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara menyeluruh. Dan ini semua telah teruji”. Kemudian As-Sakhawi berkata: “Aku katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan kebaikan bila pun pada siang hari dan waktu malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada siang hari dan waktu malam bulan Rabi’ul Awwal seluruhnya” .

Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama’ terkemuka ini dan merenungkannya dengan hati yang suci bersih, maka kita akan mengetahui bahwa sebenarnya sikap “BENCI” yang timbul daripada sebagian golongan yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasari kepada hawa nafsu semata-mata. Orang-orang seperti itu sama sekali tidak mempedulikan fatwa-fatwa para ulama’ yang shaleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang sangat menghinakan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan peringatan Maulid Nabi ini dengan perayaan hari Natal yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, kerana sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa segan sama sekali berkata:

“إِنَّ الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِ”.

“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.

Golongan yang anti Maulid seperti WAHHABI menganggap bahawa perbuatan bid`ah seperti menyambut Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik (kekufuran). Dengan demikian, menurut mereka, lebih besar dosanya daripada memakan daging babi yang hanya haram saja dan tidak mengandungi unsur syirik (kekufuran).

Jawab:

Na`uzu billah… Sesungguhnya sangat kotor dan jahat perkataan orang seperti ini. Bagaimana ia berani dan tidak mempunyai rasa malu sama sekali mengatakan peringatan Maulid Nabi, yang telah dipersetujui oleh para ulama’ dan orang-orang shaleh dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh para ulama’-ulama’ ahli hadits dan lainnya, dengan perkataan buruk seperti itu?!

Orang seperti ini benar-benar tidak mengetahui kejahilan dirinya sendiri. Apakah dia merasakan dia telah mencapai derajat seperti Al-Hafizh Ibn Hajar Al-`Asqalani, Al-Hafizh As-Suyuthi atau Al-Hafizh As-Sakhawi atau mereka merasa lebih `alim dari ulama’-ulama’ tersebut?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan tegas hukumnya haram di dalam Al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada unsur pengharamannya dari nash-nash syari’at agama?! Ini berarti, bahwa golongan seperti mereka yang mengharamkan maulid ini tidak mengetahui Maratib al-Ahkam (tingkatan-tingkatan hukum). Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah (harus), mana yang haram dengan nash (dalil Al-Qur’an) dan mana yang haram dengan istinbath (mengeluarkan hukum). Tentunya orang-orang ”BODOH” seperti ini sama sekali tidak layak untuk diikuti dan dijadikan ikutan dalam mengamalkan agama ISLAM ini.

Pembacaan Kitab-kitab Maulid

Di antara rangkaian acara peringatan Maulid Nabi adalah membaca kisah-kisah tentang kelahiran Rasulullah ﷺ. Al-Hafizh As-Sakhawi menyatakan seperti berikut:

“وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ تَصَانِيْفِهِمْ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْهَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ– وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَكَّةَ-، وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّـبُوَّةِ لِلْبَيْهَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَةِ النَّـبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا هُوَ أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ إِنْكَارُهُ، وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالتِّلاَوَةِ وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّـبَوِيَّةِ وَالزُّهْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ”.

“Adapun pembacaan kisah kelahiran Nabi maka sepatutnya yang dibaca itu hanya yang disebutkan oleh para ulama’ ahli hadits di dalam kitab-kitab mereka yang khusus menceritakan tentang kisah kelahiran Nabi, seperti Al-Maurid Al-Haniyy karangan Al-‘Iraqi (Aku juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau tidak khusus -dengan karya-karya tentang maulid saja- tetapi juga dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang mengandungi tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dala-il an-Nubuwwah karangan Al-Baihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudhah Nabi. Karena kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus mengeluarkan riwayat-riwayat dan kisah-kisah yang lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan, justru sebaliknya orang yang mengetahui kebathilannya wajib mengingkari dan melarangnya untuk dibaca. Padahal sebenarnya tidak boleh ada pembacaan kisah-kisah maulid dalam peringatan Maulid Nabi, melainkan cukup membaca beberapa ayat Al-Qur’an, memberi makan dan sedekah, didendangkan bait-bait Mada-ih Nabawiyyah (pujian-pujian terhadap Nabi) dan syair-syair yang mengajak kepada hidup zuhud (tidak loba kepada dunia), mendorong hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.

Kesesatan faham WAHHABI yang Anti Maulid:

Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata:

“Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya. Seandainya hal itu merupakan perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.

Jawab:

Baik, Rasulullah ﷺ tidak melakukannya, adakah baginda melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak semestinya menjadi sesuatu yang haram. Tetapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah ﷺ. Disebabkan itu Allah ta`ala berfirman:

“وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا”. (الحشر: 7)

“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (Surah Al-Hasyr: 7)

Dalam firman Allah ta`ala di atas disebutkan “Apa yang dilarang oleh Rasulullah atas kalian, maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini berarti bahwa perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah ﷺ tetapi bukan sesuatu yang ditinggalkannya. Sesuatu perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan mengharamkannya.

Lalu kita katakan kepada mereka:

“Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu itu boleh (harus) atau sunnah, harus ada nash daripada Rasulullah ﷺ secara langsung yang khusus menjelaskannya?”

Apakah untuk mengetahui boleh (harus) atau sunnahnya perkara maulid harus ada nash khusus daripada Rasulullah ﷺ yang menyatakan tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah menyatakan atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash syari`at, baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas, artinya tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan terus muncul dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus dibicarakan oleh Rasulullah secara langsung, lalu dimanakah kedudukan ijtihad (hukum yang dikeluarkan oleh mujtahid berpandukan Al-Qur'an dan Al-Hadits) dan apakah fungsi ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits-hadits yang memberikan pemahaman umum?! Misalnya firman Allah ta`ala:

“وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ”. (الحج: 77)

“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung”. (Surah Al-Hajj: 77)

Adakah setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh Rasulullah ﷺ supaya ia dihukumkan bahwa kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak demikian. Dalam masalah ini Rasulullah ﷺ hanya memberikan kaedah-kaedah atau garis panduan saja. Karena itulah dalam setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebutkan dengan Jawami` al-Kalim artinya bahwa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah ﷺ bersabda:

“مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ”. (رواه الإمام مسلم في صحيحه)

“Barangsiapa yang melakukan (merintis perkara baru) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim di dalam Shahih-nya).

Dan di dalam hadits shahih yang lainnya, Rasulullah ﷺ bersabda:

“مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ”. (رواه مسلم)

“Barangsiapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang “bukan daripada sebagian syari`atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari`at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksudkan dengan sabda Rasulullah ﷺ di dalam hadits di atas: “Ma laisa minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya, maka perkara tersebut pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma laisa minhu”, tapi mungkin akan berkata: “Man ahdatsa fi amrina hadza syai`an fa huwa mardud” (Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini, maka ia pasti tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini bertentangan dengan hadits yang driwayatkan oleh Al-Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu hadits: “Man sanna fi al-Islam sunnatan hasanatan….”.

Padahal hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim ini mengandungi isyarat anjuran bagi kita untuk membuat sesuatu perkara yang baru, yang baik, dan yang selaras dengan syari`at Islam. Dengan demikian tidak semua perkara yang baru itu adalah sesat dan ia tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan melihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara`. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika ia menyalahi, maka tentu ia tidak boleh dilakukan. Karena itulah Al-Hafizh Ibn Hajar Al-‘Asqalani menyatakan seperti berikut:

“وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ”.

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah (yang dicela) menurut tahqiq (penelitian) para ulama’ adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara` berarti ia termasuk bid`ah hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara` maka berarti termasuk bid’ah yang buruk (yang dicela)”.

Bolehkah dengan keagungan Islam dan kelonggaran kaedah-kaedahnya, jika dikatakan bahwa setiap perkara baru itu adalah sesat?

2. Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata: “Peringatan maulid itu sering dimasuki oleh perkara-perkara haram dan maksiat”.

Jawab:

Apakah karena alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram secara mutlak?! Pendekatannya, apakah seseorang itu haram baginya untuk masuk ke pasar, dengan alasan di pasar banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti membuka aurat, menggunjingkan orang, menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak demikian. Maka demikian pula dengan peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah yang harus diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum maulid itu sendiri. Karena itulah Al-Hafizh Ibn Hajar Al-`Asqalani telah menyatakan bahwa:

“أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً”.

“Asal peringatan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salafush Shaleh pada tiga abad pertama, tetapi meskipun demikian peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya. Barangsiapa dalam memperingati maulid serta berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah bid`ah hasanah”.

Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata:

“Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar. Hal itu adalah perbuatan mubazir. Mengapa tidak digunakan saja untuk keperluan umat yang lebih penting?”.

Jawab:

Laa hawla walaa quwwata illa billah… Perkara yang telah dianggap baik oleh para ulama’ disebutnya sebagai mubazir?! Orang yang berbuat baik, bersedekah, ia anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan mubazir?! Mengapa orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka buruk (suudzdzann) terhadap umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya?! Mengapa mereka selalu saja beranggapan bahwa peringatan maulid tidak ada unsur kebaikannya sama sekali untuk umat ini?! Bukankah peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah ﷺ dalam berdakwah sehingga membangkitkan semangat kita untuk berdakwah seperti yang telah dicontohkan baginda?! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita kepada Rasulullah ﷺ dan menjadikan kita banyak bershalawat kepada baginda?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar seperti ini bagi orang yang beriman tidak boleh diukur dengan harta.

4. Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata:

“Peringatan Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Tujuan beliau saat itu adalah membangkitkan semangat umat untuk berjihad. Berarti orang yang melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh karenanya peringatan maulid tidak perlu”.

Jawab:

Kenyataan seperti ini sangat pelik. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn Al-Jauzi, Ibn Kathir, Al-Hafizh As-Sakhawi, Al-Hafizh As-Suyuthi dan lainnya telah bersepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan Al-Muzhaffar, bukan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Orang yang mengatakan bahwa Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “fitnah yang jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahwa Sultan Shalahuddin membuat maulid untuk tujuan membangkitkan semangat umat untuk berjihad dalam perang salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini berarti telah menyimpang, adalah perkataan yang sesat lagi menyesatkan.

Tujuan mereka yang berkata demikian adalah hendak mengharamkan maulid, atau paling tidak hendak mengatakan tidak perlu menyambutnya. Kita katakan kepada mereka: Apakah jika orang yang hendak berjuang harus bergabung dengan bala tentara Sultan Shalahuddin? Apakah menurut mereka yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara Sultan Shalahuddin saja? Dan apakah di dalam berjuang harus mengikuti cara dan strategi Sultan Shalahuddin saja, dan jika tidak, ia berarti tidak dipanggil berjuang namanya?! Hal yang sangat mengherankan ialah kenapa bagi sebagian mereka yang mengharamkan maulid ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan tertentu, kemudian mereka mengatakan maulid boleh, istighatsah (meminta pertolongan) boleh, bahkan ikut-ikutan tawassul (memohon do'a agar didatangkan kebaikan), tetapi kemudiannya terhadap orang lain, mereka mengharamkannya?! Hasbunallah.

Para ahli sejarah yang telah kita sebutkan di atas, tidak ada seorangpun daripada mereka yang mengisyaratkan bahwa tujuan maulid adalah untuk membangkitkan semangat umat untuk berjihad di dalam perang di jalan Allah. Lalu dari manakah muncul pemikiran seperti ini?!

Tidak lain dan tidak bukan, pemikiran tersebut hanya muncul daripada hawa nafsu semata-mata. Benar, mereka selalu mencari-cari kesalahan sekecil apapun untuk mengungkapkan “kebencian” dan “sinis” mereka terhadap peringatan Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka mengatakan bahwa peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya membangkitkan semangat untuk berjihad?! Apa dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada. Al-Hafizh Ibn Hajar, Al-Hafizh As-Suyuthi, Al-Hafizh As-Sakhawi dan para ulama’ lainnya yang telah menjelaskan tentang kebolehan peringatan Maulid Nabi, sama sekali tidak mengaitkannya dengan tujuan membangkitkan semangat untuk berjihad. Kemudian dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid tidak menyebut perihal jihad sama sekali, bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini kita tahu betapa rapuhnya dan tidak didasari perkataan mereka itu apabila berkaitan dengan hukum, istinbath dan istidhal. Semoga Allah merahmati para ulama’ kita. Sesungguhnya mereka adalah cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai ikutan bagi kita semua menuju jalan yang diridhai Allah. Aamiin ya Rabb.

https://pondokhabib.wordpress.com/kenapa-kita-menyambut-maulid-nabi-inilah-hujjah-hujjahnya

Kamis, 17 November 2016

Qasidah Sayyidina Hassan bin Tsabit Al-Anshoriy RA, Menangisi Wafatnya Rasulullah ﷺ


 
Senin 12 Rabi’ul Awwal, selain mengingatkan kita pada hari lahirnya manusia mulia yang dimuliakan oleh Yang Maha Mulia, juga mengingatkan kita pada peristiwa wafatnya baginda Nabi besar Muhammad .

Beliau dikebumikan pada hari ke-3 setelah wafatnya (dikuburkan pada hari Kamis), riwayat lainnya pada hari Rabu. Karena menunggu para sahabat yang terus berdatangan, maka Imam Ibn Hajar di dalam Fathul Baari bisyarah Shahih Bukhari dan beberapa para muhaddits lainnya menukil riwayat yang tsiqah bahwa Rasul memang mewasiatkan untuk ditunda pemakaman beliau setelah banyaknya para sahabat yang menshalatkan beliau.

Maka disunnahkan apabila yang wafat para ulama atau para shalihin untuk tidak buru-buru menguburkannya, karena demikianlah yang diperbuat atas imam seluruh Nabi dan Rasul yakni Sayyidina Muhammad .

Berbeda dengan orang lain yang dirisaukan akan membuat jenazahnya rusak atau berubah. Maksudnya berubah menjadi kaku atau menjadi busuk atau lainnya maka sunnah untuk segera dikuburkan, tapi jika diketahui seorang shalihin dengan wajah yang cerah saat wafat, atau terlihat keanehan pada jenazah misalnya wangi atau lainnya, maka sunnah ditunda sampai beberapa waktu agar orang lain bisa menshalatkannya sebelum dimakamkan.

Dan hari senin itu dikatakan oleh Sayyidina Hasan bin Tsabit di dalam Sirah Ibn Hisyam, “Adakah hari yang menyedihkan sepanjang masa melebihi hari wafatnya Nabi Muhammad ”. Hari yang merenggut jiwa para sahabat, mereka yang selalu dihibur dan dibimbing oleh Sang Nabi.

Dikatakan oleh Sayyidina Hasan bin Tsabit di dalam syairnya, “laqod ghoyyabu hilman wa ‘ilman wa rohmatan, asyiyyatan allauwhu tsaroo laa yuwassadu.” mereka para sahabat Muhajirin dan Anshor kehilangan sang pembawa kasih sayang Illahi.

Hilman wa ‘ilman wa rahmatan” orang yang sangat lembut, orang yang sangat sopan, orang yang menjadi samudera ilmu.

Disatu sore itu ketika jasad beliau diturunkan ke dalam bumi, direbahkan tubuh seindah-indah tubuh, dibaringkan tanpa berbantalkan sesuatu kecuali tanah. Berkata Sayyidina Hasan bin Tsabit, “Para sahabat terlihat berdiri mematung setelah pemakaman Sang Nabi , mereka melihat pusara Sang Nabi dan satu-persatu meninggalkan pusara, hingga hujan rintik-rintik turun di atas kuburan Sang Nabi .

Berkata Sayyidina Hasan bin Tsabit, “Aku berdiri dengan berdiri yang lama sekali, airmataku terus mengalir dengan derasnya diatas gerimis yang turun, diatas pusara Sang Nabi. Malam pertama kami berpisah dengan Sang Nabi”.

Adapun syair lengkap qasidah Sayyidina Hasan bin Tsabit adalah sebagai berikut:

أطَالَتْ وُقُوفَاتَدْرِفُ الْعَيْنَ جُهْدَ هَا عَلَى طَلَلِ الْقَبْرِ الَّذِي فِيْهِ اَحْمَدُ
Lama kutegak dengan airmata deras mengalir menghadap gundukan tanah yang padanya Ahmad (Muhammad ).

لَقَدْ غَيَّبُواحُلْمًاوَعِلْمًا وَرَحْمَةً عَشِيَّةَ عَلَّوْهُ الْثَرَى لَا يُوَسَّدُ
Sungguh kami dan mereka telah kehilangan orang yang paling berkasih sayang dan lembut, samudera ilmu, dan kelembutan yang ramah, di petang ketika jasad beliau ditumpahkan tanah tanpa bantal.

وَرَاحُوابِحُزْنٍ لَيْسَ فِيْهِمْ نَبِيُّهُمْ وَقَدْ وَهَنَتْ مِنْهُمْ ظُهُورٌ وَأِعْضُدُ
Dan satu persatu mereka pergi dengan penuh kesedihan kehilangan Nabi yang selalu bersama mereka, yang membuat lemas pundak dan lutut mereka.

يُبَكّونَ مَنْ تَبْكِي السّمَوَاتُ يَوْمَهُ وَمَنْ قَدْ بَكَتْهُ الْأِرْضُ فَالنّاسُ اَكْمَدُ
Mereka terus menangis, yang jagad raya menangis di hari itu, dan makhluk mulia yang ditangisi bumi dan orang-orang dalam kebingungan.

وَهَلْ عَدَلَتْ يَوْمًارَزِيّةَ هَالِكٍ رَزِيّةَ يَوْمٍ مَاتَ فِيهِ مُحَمّدُ؟
Dan adakah hari musibah yang seimbang dengan hari musibah dan kesedihan hari wafat padanya Muhammad ?

فَبَكِّي رَسُولَ للهِ يَا عَيْنُ عَبْرَةً وَلَا اِّعْرِفَنَّكِ الدّهْرَ دَمْعُك يُذْمَدُ
Maka tangisilah Rasulullah wahai mata sebagai tanda bukti, agar jangan sampai zaman / masa tidak mengenalmu tentang tetesan airmatamu yang tetap membeku dengan hal ini.

وَمَا لَكِ لَا تَبْكِيْنَ ذَا النِّعْمَةِ الّتِي عَلَى النّاسِ مِنْهَا سَابِغٌ يُتَغَمَّدُ
Dan apa yang menyebabkanmu tetap menahan tangis atas wafatnya sang pembawa kenikmatan pada seluruh manusia menyempurnakan kenikmatan yang padanya ummat ini menikmati limpahannya.

فَجُودِي عَلَيْهِ بِالدّ مُوعِ وَأِعْوِلِي لِفَقْدِ الَّذِي لَا مِثلُهُ الدّهْرَ يُوجَدُ
Maka jangan kikir atas hal ini dengan airmata dan tersedu keras menangis, ketika kehilangan yang tiada akan di jumpai makhluk menyamainya sepanjang zaman.

وَمَا فَقَدَالْمَاُضونَ مِثْلَ مُحَمّدٍ وَلَا مِثْلُهُ حَتىَّ الْقِيَا مَةِ يُفْقَدُ
Tiada kehilangan selamanya, seperti kehilangan Muhammad yang tiada menyamai kehilangannya () hingga kiamat.

مَا بَالُ عَيْنِكَ لَا تَنَامُ كَأَ نّمَا كُحِلَتْ مَآ قِيهَابِكُحْلِ الْاِّ رْمَدِ
Bagaimana pendapatmu jika matamu tidak bisa tertidur, karena terus dipenuhi airmata yang basah dan mengering.

جَزَعًاعَلَى الْمَهْدِيّ اَصْبَحَ ثَاوِيًا يَاخَيْرَ مَنْ وَطِئَ اَلْحَصَى لَا تَبْعَدِ
Guncangan yang mengagetkan hati pada pusara wahai yang semulia mulia makhluk dalam pendaman tanah, (wahai Nabi ) janganlah menjauh.

وَجْهِي يَقِيكَ التُرْبَ لَهْفِي لَيْتَنِي غُيّبْتُ قَبْلَكَ فِي بَقِيْعِ الْغَرْقدِ
Wajahku menatapmu wahai tanah , alangkah beruntungnya jika aku mati dan terpendam sebelummu (wahai Rasul ) dan sudah terkubur di pekuburan Baqi’

بِاَّبِي وَاُمِي مَنْ شَحِدْتُ وَفَاتَهُ فِي يَوْمِ الَا ثُنَيْنِ النَّبِيّ
Demi ayahku dan ibuku, siapa yang menyaksikan sepertiku, wafat beliau di hari senin nabi pembawa hidayah.

فَظلِلْتُ بَعْدَ وَفَاتِهِ مُتَبَلِّدًا مُتَلَدِّدًا يَا لَيْتَنِي لَمْ اٌولَدِ
Maka kulewati kebingungan dalam kehidupan dalam kehidupanku setelah wafat beliau, kegundahan, wahai alangkah indahnya jika aku tidak pernah dilahirkan.

أِاٌقِيمُ بَعْدَكَ بِالْمَدِينَةِ بَيْنَهُمْ يَالَيْتَنِي صُبِّحْتُ سَمّ الْاَّ سْوَدِ
Apakah aku mampu tinggal di Madinah setelahmu () di antara mereka, alangkah indahnya jika diperbolehkan ku teguk racun yang paling mematikan

وَاللهِ اِّسْمَعُ مَا بَقِيتُ بِهَالِكٍ أِلَّا بَكَيْتُ عَلَى النَّبِي مُحَمَّدِ
Demi Allah (jika kelak) aku mendengar musibah selainnya, kecuali tetap aku akan menangisi Nabi Muhammad .

يَاوَيْحَ أنْصَارِ النَّبِيّ وَرَهْطِهِ بَعْدَ الْمُغَيّبِ فِي سَوَاءِ الْمَلْحَدِ
Wahai kesusahanlah menimpa Anshor Nabi dan kelompoknya (Muhajirin) setelah diturunkan dan hilangnya tidak tampak lagi tubuhmu (wahai Nabi ) di tanah yang terhampar.

ضَاقتْ بِالْاِّ نْصَارِ الْبلَادُ فَأِصْبَحُواسُو­دَاوُجُوهُهُمْ كَلَوْنِ الْاٍ ثْمِدِ
Sempitlah bagi Anshor tempat tinggalnya, mereka berubah wajahnya menjadi suram dan kelam bagai warna penghitam mata.

وَاللهُ أِكْرَمَنَابِهِ وَهَدَى بِهِ أنْصَارَهُ فِي كُلِّ سَاعَةِ مَشْهَدِ
Maka semoga Allah memuliakan kita dengan beliau dan melimpahkan hidayah kepada semua pembela beliau di setiap waktu dan tempat.

صَلّى الْاٍ لَهُ وَمَنْ يَحُفّ بِعَرْ شِهِ وَالطّيّبُونَ عَلَى المُباَرَكِ أحْمَدِ
Shalawat Tuhanku dan yang mengelilingi Arsy-Nya (سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى), dan limpahan shalawat dari hamba-hamba yang penuh kebaikan berlimpah pada Ahmad (Muhammad ) yang dilimpahi keberkahan.

Wallahu alam bishshawaab.

Disarikan oleh Ahmad Ulul Azmi melalui kalam Habibana Munzir bin Fuad al-Musawa pada Jalsatul Itsnain Senin, 9 Maret 2009.

Sumber:  Kalam Ulama