Kamis, 29 September 2016

Riwayat Kantor PBNU Dari Masa Ke Masa


Sejak dibentuk pada 31 Januari 1926, para pendiri NU telah mempersiapkan sedemikian rupa segala perangkat untuk menunjang berjalannya laju organisasi, termasuk di antaranya kantor pusat NU.

Dalam perjalanan sejarah NU, keberadaan kantor NU ini sangatlah penting, sebab selain menjadi tempat untuk menyimpan berbagai arsip serta menjalankan rapat penting, kantor ini menjadi simbol eksistensi NU.

Dengan kata lain, bagaimanapun keadaannya kantor ini harus tetap ada. Ini dibuktikan, ketika beberapa kali Pengurus Besar Nahdlatul 'Ulama (PBNU) terpaksa memindahkan kantornya, karena terjadi peperangan di Surabaya atau saat terjadi gangguan keamanan akibat pemberontakan PKI/FDR di Madiun tahun 1948.

Berikut sekilas riwayat kantor pusat NU dari awal didirikan hingga sekarang:

1. Surabaya

Lengkapnya di Jalan Sasak Nomor 23 (ada pula yang menyebut Nomor 66, sesuai alamat Majalah Berita Nahdlatoel Oelama) Surabaya. Di lokasi bangunan yang berdekatan dengan Masjid Ampel inilah, kantor pusat pertama PBNU berdiri, yang kala itu masih disebut HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama).

Lokasi ini tentu berbeda dengan alamat Jalan Bubutan VI Nomor 2 Surabaya, yang di beberapa sumber menyebutkan sebagai kantor HBNO pertama. Meski mengandung nilai sejarah yang tinggi baik bagi NU maupun Indonesia termasuk ketika dicetuskan Resolusi Jihad 1945, Kantor Jalan Bubutan bukanlah kantor HBNO, melainkan Kantor Pemuda Ansor.

2. Pasuruan

Kedatangan Pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda ke Surabaya, yang kemudian disusul dengan meletusnya Perang Surabaya 10 November 1945, memaksa para pimpinan NU untuk memindahkan kantornya ke daerah lain, yang sekiranya lebih aman.

Saat itu, KH. Muhammad Dahlan dari Konsul NU Jawa Timur, diperintahkan untuk memindahkan kantor pusat NU ke Jalan Pengadangan 3, Kabupaten Pasuruan. Dipilihnya Pasuruan selain lokasinya yang dekat dengan Surabaya, juga didukung banyaknya pesantren dan tokoh NU yang ada di sana.

Sementara itu, di berbagai daerah, para anggota NU diakitifeer, bergabung bersama Hizbullah dan Sabilillah ikut mengangkat senjata melawan musuh. Kaum perempuan dari Muslimat pun seakan tak mau kalah, mereka berjuang di garis belakang, dan bahkan ada yang ikut memanggul senjata.

3. Madiun

Untuk kedua kalinya, Kantor NU terpaksa harus ikut hijrah dari Pasuruan ke Madiun. Seperti yang dipaparkan KH. Saifuddin Zuhri dalam buku Berangkat Dari Pesantren: “Karena gangguan militer Belanda, akhirnya (NU) hijrah buat kali kedua dari Pasuruan ke Madiun, bertempat di Jalan Dr Sutomo 9 Madiun.”

Gangguan militer yang dimaksud, yakni Agresi Militer Belanda pertama yang terjadi pada tahun 1947. Zaman itu lazim disebut sebagai zaman darurat atau zaman Renville. Kepindahan Kantor NU pusat ini, juga diikuti beberapa banom seperti PB Muslimat NU. Namun, hanya setahun setelah pindah ke Madiun, menyusul terjadinya pemberontakan PKI/FDR di Madiun ditambah dengan Agresi Militer Belanda kedua, PBNU memindahkan kantornya kembali ke Surabaya.

4. Jakarta

Setelah melewati berbagai masa sulit, bangsa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya. Ibukota negara yang sempat dipindah ke Yogyakarta, kini kembali lagi ke Jakarta.

Tahun 1950, kantor pusat NU berpindah ke Jakarta. Selain faktor ibukota, menurut KH. Saifuddin Zuhri, hal ini juga dikarenakan banyaknya tokoh-tokoh PBNU yang berjuang (menjadi menteri dan lain sebagainya) di Jakarta.

Di Jakarta, Kantor PBNU terletak di Jalan Menteng Raya 24, kira-kira 300 m sebelah Timur Stasiun Gambir. Setelah beberapa tahun, kantor pusat NU kemudian dipindahkan ke Jalan Kramat Raya Nomor 164, yang masih bertahan hingga sekarang.

Pada 2012 lalu, untuk meningkatkan kinerja organisasi PBNU membangun gedung baru di Jalan Taman Amir Hamzah Nomor 5, Menteng, Jakarta Pusat. Gedung empat lantai ini sekarang menjadi lokasi utama kampus Universitas Nahdlatul 'Ulama (UNU) Indonesia, serta sejumlah lembaga dan badan otonom NU.

Foto: Gedung PBNU sekarang yang terdiri dari 9 lantai di Jalan Kramat Raya Nomor 164, Jakarta.

Review Sejarah Lahirnya Nahdlatul 'Ulama



Nahdlatul ‘Ulama (NU) yang mengusung nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah dikenal sebagai organisasi masyarakat Islam berwatak kebangsaan. Watak kebangsaan tersebut sesungguhnya telah melekat pada sejarah dan jati dirinya. Ciri khas NU sejauh ini tampaknya memang hanya dilihat dari manifestasinya dalam bentuk toleransi dalam kehidupan beragama. Padahal sikap tersebut hanya salah satu ekspresi paham kebangsaan NU.

Lahirnya NU, bila ditelisik lebih dalam adalah tekad kebulatan para ulama dalam mempertahankan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan ajaran empat madzhab dalam Islam, yakni Maliki, Hanbali, Hanafi, dan Syafi’i. Hal itu terkait merebaknya ajaran pembaharuan Islam yang berkembang di dunia termasuk Indonesia dengan membawa semangat puritanisasi atau mengembalikan segalanya kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ini sebagai imbas menyusul terbentuknya pemerintahan baru di Jazirah Arab, yakni Abdul Aziz bin Sa’ud sebagai raja yang menganut faham Al-Muwahhidun atau yang kini sering disebut sebagai “Wahabi” yang merupakan pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab.

Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang pembaharu agama (mujaddid) yang lahir di Ayibah lembah Nejed (1115 – 1201 H/1703 – 1787 M) yang mengaku sebagai penerus ajaran Salafi Ibnu Taimiyyah dan kemudian mendirikan madzhab Wahabi-Wahabiyyah. Ia pun mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah karena meneruskan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang diterjemahkan oleh Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyyah al-Harrani atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyyah (661 – 728 H/1263 – 1328 M), tapi sebagaimana pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya pun layaknya kaum Khawarij yang mudah mengkafirkan para ulama yang tidak sejalan dengan dia, bahkan sesama madzhab Hanbali pun ia mengkafirkannya.

Sejak Ibnu Sa’ud, raja Nejed menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) pada tahun 1924 – 1925, Wahabi sangat dominan di Tanah Haram, madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali yang sebelumnya hidup berdampingan di Tanah Suci itu, tidak diperkenankan lagi diajarkan dan diamalkan, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh. Suasana yang tidak nyaman ini memaksa para ulama dari seluruh dunia yang berkumpul di Haramain pindah atau pulang ke negaranya, termasuk para santri asal Indonesia.

Beberapa kalangan mengemukakan, Ibnu Sa’ud yang berhasil mengusir penguasa Mekkah sebelumnya, yakni Syarif Husein pada Oktober 1924. Dr. Deliar Noer dalam bukunya berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942 menyebutkan, Ibnu Sa’ud yang berhasil mengusir penguasa Mekkah sebelumnya, yakni Syarif Husein pada tahun 1924, mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktik beragama sesuai dengan ajarannya, walaupun pemimpin Wahabi itu tidak melarang ajaran madzhab di Masjidil Haram. Tindakannya itu sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian ditolak.

Saat KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (1287 – 1366 H/1871 – 1947 M) masih belajar di Mekkah, Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah (1266 – 1322 H/1849 – 1905 M), seorang penggagas gerakan modernisme Islam dari Mesir, sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Pemikirannya banyak berinspirasi dari Ibnu Taimiyyah. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Muhammad Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan umat Islam selanjutnya.

Ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Muhammad Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah, termasuk KH. Hasyim Asy’ari. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak umat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktik keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam.

Usaha Muhammad Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggungjawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Muhammad Abduh melancarkan ide agar umat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para ulama madzhab dan agar umat Islam meninggalkan segala bentuk praktik thariqat.

Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif al-Minangkabawi (1276 – 1334 H/1860 – 1916 M), seorang ulama besar Indonesia yang menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, mendukung beberapa pemikiran Muhammad Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Ahmad Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Muhammad Abduh itu. Di antaranya adalah Muhammad Darwis bin Abu Bakar atau yang lebih dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan (1284 – 1341 H/1868 – 1923) yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan KH. Hasyim Asy’ari. Beliau sebenarnya juga menerima ide-ide Muhammad Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Muhammad Abduh agar umat Islam melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Beliau berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem madzhab. Untuk menafsirkan Al-Qur’an dan Al-Hadits tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama madzhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.

Dalam hal thariqat, KH. Hasyim Asy’ari tidak menganggap bahwa semua bentuk praktik keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar umat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan thariqat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermadzhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermadzhab (sering disebut kelompok modernis-puritan) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Kongres Al-Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Kongres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok umat Islam, untuk dibawa ke kongres umat Islam di Mekkah.

Kelompok modernis di Indonesia diwakili oleh :
  1. Muhammad Darwis, seorang tokoh pembaharu agama (mujaddid) asal Yogyakarta. Dia aktif dan rutin mengikuti pemikiran Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridla lewat majalah Al-Manar dan ajaran Wahabi. Dia kemudian dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan yang pada 18 Nopember 1912 mendirikan organisasi keagamaan Muhammadiyah. Walaupun kenyataannya dalam amaliyah sehari-hari selama hidupnya KH. Ahmad Dahlan lebih dekat kepada madzhab Syafi’i. Namun sepeninggal beliau terjadi modernisasi total dari para penerusnya.
  2. Ahmad Soorkati (1872 – 1943 M) seorang mujaddid asal Sudan yang kalah bersaing dalam Jami’at al-Khair di negaranya. Kemudian hijrah ke Indonesia dan tahun 1914 di Betawi mendirikan organisasi Al-Irsyad.
  3. Di Bandung pun muncul mujaddid yang bernama Ahmad Hassan yang juga dikenal sebagai Hassan Bandung atau Hassan Bangil yang tahun 1927 meneruskan organisasi Persatuan Islam (PERSIS) yang didirikan pada 12 September 1923 oleh KH. Zam Zam Palembang dan Muhammad Yunus.
  4. Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto (1882 – 1934 M) dengan Sarekat Islam (SI).
Berbagai perkembangan yang tidak menguntungkan kaum pesantren selama kurun 1920 sampai dengan 1926, akhirnya mendorong KH. Hasyim Asy’ari untuk melakukan istikharah demi kemaslahatan umat. Berdasar hasil istikharah itulah beliau memutuskan hendak mendirikan sebuah Jam’iyyah untuk mewakili dunia pesantren Indonesia.

Pembentukkan Komite Hijaz

Salah satu cara memahami sejarah lahirnya Nahdlatul ‘Ulama (NU) adalah memahami Central Comite al-Islam (CCI) dan Komite Hijaz. Sebab di antara ketiganya ada benang merah yang tidak dapat dipisahkan serta mempunyai konteks masing-masing dalam setiap perkembangannya.

Sebelum dibentuk CCI, adalah atas usul Bratanata seorang tokoh Sarekat Islam (SI) membentuk sebuah forum Kongres Al-Islam. Forum ini mempunyai tujuan untuk mengurangi ketegangan dan bahaya perselisihan khilafiyah. Dengan demikian diharapkan akan terwujud sebuah persatuan berbagai kelompok (pemahaman) Islam yang ada dan memperkuat kekuatan Muslim, khususnya di Indonesia. Kongres Al-Islam pertama dilaksanakan di Cirebon tahun 1921 yang dipimpin langsung oleh HOS. Tjokroaminoto dan dibantu H. Agus Salim. Lagi-lagi perdebatan muncul dalam kongres tersebut, yaitu antara kaum modernis (Muhammadiyah dan Al-Irsyad) yang diwakili oleh Ahmad Soorkatti dan ulama tradisional oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah (atau KH. Abdul Wahab Chasbullah, lahir di Jombang tahun 1305 H/1888 M – dan wafat 1391 H/1971 M) dan KH. Raden Asnawi bin Abdullah Husnin (adapun nama sebelumnya adalah Raden Ahmad Syamsi, kemudian sesudah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama berganti nama Raden Haji Ilyas dan nama inilah yang terkenal di Mekkah. Lahir di Kudus pada tahun 1281 H/1861 M – dan wafat 1378 H/1959 M). Yang diperdebatkan adalah persoalan madzhab, dimana kubu modernis mengecam madzhab sebagai penyebab lumpuhnya dan bekunya umat Islam. Di pihak lain KH. Abdul Wahab Hasbullah menuduh Muhammadiyah dan Al-Irsyad mau membuat madzhab sendiri dengan cara menafsirkan Al-Qur’an sesuka akalnya. Konflik khilafiyah tersebut membuat Kongres Al-Islam gagal membentuk CCI yang sebenarnya merupakan salah satu tujuan diadakannya kongres.

Kongres Al-Islam ke-2 digelar di Garut, Jawa Barat tahun 1922 berhasil ditetapkan CCI. Namun dalam pertemuan tersebut, ulama tradisional yang biasa diwakili KH. Abdul Wahab Hasbullah tidak hadir. Ketidakhadiran beliau ternyata tetap tidak bisa meredakan pertentangan khilafiyah.

Karena kondisi CCI dalam membawa misi mendamaikan berbagai kelompok Islam tersebut gagal, maka atas prakarsa Sarekat Islam pada tahun 1924 dibentuklah Central Comitte Chilafat (CCC), namun tujuannya sudah berbeda dengan CCI. CCC lebih mengkonsentrasikan kepada persoalan khilafah. SI menunjuk W. Wondosoedirjo (W. Wondoamiseno) sebagai wakil dari SI. Pada pertemuan tersebut disepakati bahwa W. Wondoamiseno terpilih sebagai ketua CCC.

Kemudian pada tanggal 24 – 26 Desember 1924, CCC mengadakan Kongres Al-Islam ke-3 di Surabaya. Keputusan penting dalam pertemuan tersebut adalah membahas mengenai utusan CCC ke “Muktamar Dunia Islam” di Kairo dan memutuskan apa saja yang perlu disampaikan dalam forum internasional tersebut, yaitu : Pertama, masalah khilafah harus dipegang “Majelis ‘Ulama” dan berpusat di Mekkah. Kedua, utusan yang akan dikirim adalah KH. Fahruddin (Muhammadiyah), Surjopranoto (SI) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (atas nama Ketua Perkumpulan Agama di Surabaya) ditambah HOS. Tjokroaminoto dan Ahmad Soorkatti.

Perlu dicatat dan ditegaskan di sini bahwa khilafah yang akan dibahas dalam “Muktamar Dunia Islam” dalam hal ini adalah atas prakarsa para ulama Al-Azhar atas kecamuk di Jazirah Arab antara Ibnu Sa’ud (Arab), Syarif Husein dan Syarif ‘Ali (Raja Hijaz) di saat kekhalifahan di Turki (Khalifah Muhammad VI) jatuh dan dikuasi oleh Kemal Pasya. Karena kondisi inilah pembahasan soal khilafah di Mesir gagal dan utusan CCC juga batal berangkat sampai batas tidak ditentukan.

Perubahan geopolitik yang terjadi saat itu ternyata juga membawa kabar berita tentang adanya larangan bermadzhab, berziarah dan tatacara beribadah menurut madzhab. Itu terjadi setelah Ibnu Sa’ud memenangkan perebutan kekuasaan dengan Raja Hijaz (Syarif ‘Ali). Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Raja Ibnu Sa’ud menerapkan sebuah kebijakan yang sangat melukai umat Islam, yakni antipluralitas madzhab dan juga pemusnahan artefak sejarah dan situs-situs peninggalan peradaban Islam. Termasuk salah satunya adalah rencana pembongkaran makam Nabi Muhammad SAW di Madinah.

Pada tanggal 21 – 27 Agustus 1925, CCC mengadakan Kongres Al-Islam yang ke-4 di Yogyakarta yang dipimpin oleh W. Wondoamiseno, KH. Abdul Wahab Hasbullah buru-buru menyampaikan pendapat mengenai rencana diadakannya “Mu’tamar ‘Alam Islami” (Kongres Islam Internasional) yang akan dilangsungkan di Mekkah. Sebenarnya saat itu CCC belum menerima pemberitahuan kapan akan diadakannya muktamar tersebut, namun KH. Abdul Wahab Hasbullah meminta dengan sangat bahwa wakil CCC yang nanti berangkat ke Mekkah harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermadzhab. Sistem bermadzhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus tetap dipertahankan.

Kemudian datanglah undangan dari Raja Ibnu Sa’ud kepada CCC untuk ikut hadir di Mu’tamar ‘Alam Islami di Mekkah yang akan dilaksanakan bulan Juni 1926 (perlu digarisbawahi ini berbeda dengan muktamar sebelumnya yang diprakarsai oleh ulama Al-Azhar).

Sebelum CCC mengadakan Kongres Al-Islam ke-5 di Bandung pada 5 Februari 1926, KH. Abdul Wahab Hasbullah merasakan ada gelagat bahwa apa yang diusulkan dalam kongres di Yogyakarta kurang mendapat perhatian. Beberapa kali upaya mendekati tokoh CCC dalam membantu misinya memperingatkan Raja Ibnu Sa’ud kurang mendapat respon baik. Bahkan sebelum kongres di Bandung itu kalangan modernis sudah mengadakan pertemuan terlebih dahulu (8 – 10 Januari 1926) yang salah satu keputusannya menetapkan HOS. Tjokroaminoto dari SI dan KH. Mas Manshur dari Muhammadiyah sebagai utusan untuk menghadiri muktamar di Mekkah.

KH. Abdul Wahab Hasbullah dari kalangan tradisional yang “disingkirkan” dalam perhelatan itu, mencoba mengajukan usul-usul atas aspirasi Islam tradisionalis agar Raja Ibnu Sa’ud menghormati tradisi keagamaan seperti membangun kuburan, membaca do’a seperti Dalailul Khairat, ajaran madzhab, termasuk tradisi yang menggurat di Mekkah dan Madinah. Tetapi usul-usul tersebut nampaknya dikesampingkan oleh kalangan modernis. (Lihat alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU; Menghadang Langkah Wahabi; hal 68-72).

Dalam Kongres CCC di Bandung tersebut KH. Abdul Wahab Hasbullah tidak bisa hadir, karena ayah beliau tiba-tiba sakit keras. Dengan demikian, maka ketidakhadiran beliau dalam Kongres CCC tersebut memuluskan pihak-pihak lain yang sedari awal lebih condong pada kebijakan Raja Ibnu Sa’ud. Dan sejak itu pula hubungan KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan CCC sudah pudar meski September 1926 utusan CCC menyampaikan hasil muktamar di Mekkah dalam Kongres ke-6 di Surabaya.

Setelah keluar dari CCC, KH. Abdul Wahab Hasbullah mengambil inisiatif tersendiri dengan mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior. Musyawarah-musyawarah kecil itu awalnya hanya melibatkan beberapa tokoh yang datang dari sekitar daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah sekitarnya, semuanya kebanyakan dari Surabaya. Pertemuan itu dilakukan di sebuah mushola yang didirikan oleh H. Moesa yang terletak di Jalan Ampel Masjid (sekarang menjadi Jalan Kalimas Udik), Kertopaten Surabaya. Para kiai sepakat mendirikan “Komite Merembuk Hijaz” yang kemudian berganti nama menjadi “Komite Hijaz”, untuk mengantisipasi gerakan Wahabi yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Sa’ud. Komite ini diketuai KH. Abdul Wahab Hasbullah. Tugas utamanya mengirimkan utusan ulama pesantren Indonesia untuk menemui Raja Ibnu Sa’ud di Nejed.

Sebelum utusan CCC berangkat ke Muktamar ‘Alam Islami di Mekkah pada 2 Maret 1926, pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 dalam sebuah pertemuan di rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah di Kampung Kawatan –Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar di Jawa.

Pertemuan bersejarah itu dihadiri oleh beberapa ulama yang berpengaruh, di antaranya : KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Bisri Syansuri (Jombang), KH. Raden Asnawi (Kudus), KH. Maksum (Lasem, Rembang), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Nahrowi Thahir, KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Malang), KH. Ridlwan Abdullah, KH. Abdullah Ubaid (Surabaya), KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon), H. Ndoro Munthoha (Madura), KH. Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH. Abdullah Faqih (Sedayu, Gresik), dan lain-lain. (Sumber : Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khittah Nahdlatul ‘Ulama, Surabaya, Lajnah Ta’lif Wan Nasr, t.t. hal 10-11).

Dalam kesempatan itu, atas restu KH. Hasyim Asy’ari disepakati juga pembentukan Jam’iyyah sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal Muslimin (kejayaan Islam dan kaum Muslimin), sebagaimana isyarat yang diberikan oleh Syaikhuna Kholil Bangkalan yang dikirimkan melalui salah seorang santrinya, KH. R. As’ad Syamsul Arifin (1314 – 1410 H/1897 – 1990 M) kepada KH. Hasyim Asy’ari.

Sebagaimana nama-nama organisasi besar pada umumnya, nama Nahdlatul 'Ulama juga lahir dari pemikiran dan proses perdebatan yang intensif. Yang beredar di benak para ulama waktu itu adalah organisasi apa dan apa pula namanya yang akan bertindak selaku pemberi mandat kepada delegasi tersebut? Di sinilah perdebatan sengit seputar nama organisasi berlangsung, seperti diceritakan Choirul Anam dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010 (Surabaya: Duta Aksara Mulia). Setidaknya ada dua nama atau usulan. Kedua nama ini secara prinsip sebenarnya sama namun memiliki implikasi yang berbeda.

KH. Abdul Hamid dari Sedayu Gresik mengusulkan nama "Nuhudlul 'Ulama" disertai penjelasan bahwa para ulama mulai bersiap-siap akan bangkit melalui perwadahan formal tersebut. Pendapat ini disambut oleh KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz dengan sebuah sanggahan. Menurutnya, kebangkitan bukan lagi mulai atau akan bangkit. Melainkan, kebangkitan itu berlangsung sejak lama dan bahkan sudah bergerak jauh sebelumnya adanya tanda-tanda akan terbentuknya Komite Hijaz itu sendiri. Hanya saja, kata KH. Mas Alwi, kebangkitan atau pergerakan ulama kala itu memang belum terorganisasi secara rapi.

Lewat argumentasi itu, KH. Mas Alwi mengajukan usul agar Jam'iyyah ulama itu diberi nama "Nahdlatul 'Ulama" (Kebangkitan 'Ulama), yang pengertiannya lebih condong pada "gerakan serentak para ulama dalam suatu pengarahan, atau, gerakan bersama-sama yang terorganisasi". Forum para kiai itu secara aklamasi menerima usulan KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz. Nama "Nahdlatul 'Ulama" pun ditetapkan pada hari itu juga, 16 Rajab 1344 H, tanggal bersejarah lahirnya organisasi Nahdlatul 'Ulama (NU) yang diperingati setiap tahun hingga kini.

Didirikannya Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama adalah bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan faham Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tertuang dalam Pasal 3 ayat a; b, (Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama 1926, HBNO, Soerabaja, 1344 H), yakni : “Mengadakan perhoeboengan di antara oelama-oelama yang bermadzhab” dan “memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab Ahli Bid’ah.”

Dalam forum ulama yang cukup sederhana itu, H. Hasan Gipo (1869 – 1934) ditunjuk oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah menjadi ketua Tanfidziyah Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO –Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama) dengan didampingi KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang) sebagai Rois Akbar.

Gagasan KH. Abdul Wahab Hasbullah menyerahkan jabatan tertinggi kepada Hadhratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sangat brilian. Sebab, selain berkedudukan sebagai ulama besar yang sangat disegani karena kedalaman ilmunya, KH. Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai guru hampir semua ulama muda di tanah air. Bahkan bisa dibilang, sepeninggal KH. Muhammad Kholil Bangkalan (guru besar ulama tanah air pada awal abad ke-20 M), KH. Hasyim Asy’ari dan Pesantren Tebuireng yang diasuhnyalah yang menjadi kiblat dunia pesantren di negeri ini, khususnya di Jawa.

Dalam pidato pembentukan NU, yang kemudian menjadi “Muqaddimah Qanun Asasi NU”, KH. Hasyim Asy’ari secara tegas mengatakan bahwa “…Pendirian Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama atau NU adalah mutlak diperlukan untuk memperkuat basis solidaritas sesama umat Islam guna memerangi keangkara-murkaan”. Sebuah syair pun dikutip KH. Hasyim Asy’ari yang menunjukkan signifikansi sebuah Jam’iyyah, yaitu :
“… Berhimpunlah anak-anakku bila genting datang melanda
Jangan bercerai berai, sendiri-sendiri
Cawan-cawan enggan pecah bila bersama
Bila bercerai, satu-satu pecah berderai…”

Tugas penting NU yang pertama sebagai organisasi adalah mengutus delegasi ikut Mu’tamar ‘Alam Islami di Mekkah, dan menetapkan utusanSemula utusan para ulama adalah KH. R. Asnawi Kudus, namun karena beliau ketinggalan kapal dan tidak jadi berangkat. Sebagai gantinya, NU mengirimkan isi keputusan rapat mereka lewat telegram kepada Raja Ibnu Sa'ud dengan tambahan permintaan, agar isi keputusan itu dapat dimasukkan dalam undang-undang Hijaz.

Isi keputusan rapat NU yang dikirimkan kepada Raja Ibnu Sa’ud :

Segala puji bagi Allah yang Maha Tunggal, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Muhammad dan keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Kehadapan yang Mulia Raja Hijaz dan Nejed serta daerah kekuasaannya, semoga Allah memberikan pertolongan kepadanya di dalam mengurus segala sesuatunya yang menjadikan kemaslahatan umat Islam.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Waba’du, kami dua orang sebagai delegasi Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama di Surabaya Jawa Timur merasa memperoleh kehormatan yang besar diperkenankan menghadap Yang Mulia guna menyampaikan beberapa harapan dan permohonan NU kehadapan Yang Mulia beberapa hal sebagai berikut :
  1. Memohon diberlakukan kemerdekaan bermadzhab di negeri Hijaz pada salah satu dari madzhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermadzhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan madzhab tersebut di bidang tasawuf, aqidah maupun fiqih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, Imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudah terkenal kebenarannya.
  2. Memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut diwaqafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fathimah dan bangunan Khaezuran dan lain-lainnya berdasarkan firman Allah “Hanyalah orang yang meramaikan Masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah” dan firman-Nya “Dan siapa yang lebih aniaya dari pada orang yang menghalang-halangi orang lain untuk menyebut nama Allah dalam masjidnya dan berusaha untuk merobohkannya.”
  3. Memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji mengenai tarif/ketentuan biaya yang harus diserahkan oleh jama’ah haji kepada syaikh dan muthawwif dari mulai Jeddah sampai pulang lagi ke Jeddah. Dengan demikian orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup buat pulang-perginya dan agar supaya mereka tidak dimintai lagi lebih dari ketentuan pemerintah. 
  4.  Memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.
  5. Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama (NU) memohon balasan surat dari Yang Mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Yang Mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada kedua delegasi tersebut.
Perkenankanlah kiranya Yang Mulia menerima rasa terimakasih kami dan penghargaan, penghormatan serta tulus ikhlas kami yang setinggi-tingginya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surabaya, 5 Syawal 1346 H (7 Mei 1928)

Khatib Awwal

Wahab Hasbullah
Musytasyar

Ahmad Ghanaim al-Mishri

Namun tidak ada jawaban atas permintaan itu. Kemudian pada 27 Maret 1928, NU mengumumkan secara resmi utusan untuk berangkat ke Mekkah, yaitu :
  • KH. Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya).
  • Syaikh Ahmad Ghanaim al-Mishri (Mesir), sebagai Mustasyar NU.

Namun yang berangkat dari Indonesia hanya KH. Abdul Wahab Hasbullah. Misi yang diemban komite ini adalah menemui Raja Saudi (tanah Hijaz) Ibnu Sa’ud, untuk menyampaikan pesan ulama pesantren di Indonesia, yang meminta agar raja tetap memberikan kebebasan berlakunya hukum-hukum ibadah dalam madzhab empat di Tanah Haram. Mereka sampai di Tanah Suci pada 27 April 1928, dan 10 Mei 1928 M/20 Dzuqaidah 1346 H mereka diterima Raja. Pada kesempatan itu, mereka meminta Raja Ibnu Sa’ud untuk membuat hukum yang tetap di Hijaz.

Dalam jawabannya melalui surat tertanggal 28 Dzulhijjah 1347 H/13 Juni 1928 M, nomor 2082, Raja mengatakan, perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban tiap pemerintahan di negeri itu. Dan dia juga menyatakan akan memperbaiki perjalanan haji, sejauh perbaikan itu tidak melanggar ketentuan Islam. Dia juga sependapat, pada umumnya kaum Muslimin bebas dalam menjalankan praktik agama dan keyakinan mereka, kecuali urusan yang diharamkan Allah, dan tiada suatu dalil dari Kitab-Nya dan tiada Sunnah Rasulullah SAW, serta tidak ada dalam madzhabnya orang dulu yang shaleh dan tidak dari sabda salah satu imam empat.

Tentang keyakinannya, Raja Ibnu Sa’ud mengemukakan, yang diinginkan ialah apa yang tertera dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Hanya itu kepercayaannya. Dia menambahkan, hanya mengikuti orang-orang dulu yang shaleh, yang dimulai dari para sahabat dan diakhiri imam yang empat.

Boleh jadi respon dari penguasa baru Saudi Arabia itu tak memuaskan Komite Hijaz, atau para ulama tradisional pada umumnya. Namun, sebuah langkah penting telah dilakukan dalam rangka memperjuangkan keyakinan yang diikutinya. Dan kenyataannya, Komite Hijaz yang kemudian menjadi NU telah berkembang, dan mewarnai kehidupan politik, baik di era penjajahan Belanda, Jepang, zaman kemerdekaan, sampai sekarang.

Pada saat menjelang Muktamar ke-2 NU di Surabaya, KH. Ridlwan Abdullah (1301 – 1381 H/1884 – 1962 M) ditugasi oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah selaku ketua panitia waktu itu untuk membuat lambang NU. Penunjukkan KH. Ridlwan dalam pembuatan lambang NU ini mengingat beliau memang sudah dikenal pandai menggambar dan melukis.


 
Hasil gambar untuk lambang nu 1926
Adapun secara singkat deskriptif makna dari gambar atau lambang NU adalah sebagai berikut :
  • Tambang melambangkan agama (Berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah dan jangan bercerai berai).
  • Posisi tambang melingkari bumi melambangkan persaudaraan kaum Muslimin seluruh dunia.
  • Untaian tambang berjumlah 99 buah melambangkan Asma’ul Husna.
  • Bintang sembilan melambangkan jumlah Walisongo.
  • Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Muhammad SAW.
  • Empat bintang kecil di samping kiri dan kanan melambangkan Khulafaur Rasyidin, dan empat bintang kecil di bagian bawah melambangkan madzhab empat.

Sesudah Muktamar IV di Semarang (1348 H/1929 M), H. Hasan Gipo digantikan KH. Noor (Sawah Pulo, Surabaya) yang didampingi KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar HBNO dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Khatib ‘Am. (Sumber : surat permintaan pengakuan pengajuan pendirian NO pada 5 September 1929 oleh kuasa Nahdlatoel Oelama yakni KH. Said bin Shalih). Lima bulan kemudian, tepatnya 6 Februari 1930 Pemerintah Hindia Belanda baru merespons permintaan tersebut dan masuk dalam besluit (Surat Keputusan) Goebernoer-Djendral (GD) Nomor IX.23.1930. dalam statuten itu juga berisi Anggaran Dasar NO yang terdiri 12 pasal yang ditulis dengan dwi bahasa; Belanda dan Indonesia. Yang mengesahkan Badan Hukum NO atas nama GD Hindia-Nederland adalah GR. ERDBINK. Dokumen penting ini sekarang tersimpan di Universitas Leiden, Belanda.

KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam rangkaian sejarah tersebut menjadi benang merah antara CCI, CCC, Komite Hijaz dan NU. Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa ide besar beliau aktif di berbagai organisasi tersebut adalah dalam rangka memperjuangkan madzhab (tradisi bermadzhab) yang sudah menjadi bagian dari tradisi keilmuwan para ulama. Konsistensi perjuangan beliau sangat nampak, dimana di saat CCI perdebatan khilafiyah berusaha untuk mempertahankannya, meski diejek dan diserang oleh mereka kaum modern. Demikian pula pada saat di CCC, usulan kepada Raja Ibnu Sa’ud mengenai pemeliharaan tradisi bermadzhab sangat kuat diperjuangkan. Meski pada akhirnya gagasan tersebut tidak laku di kalangan CCC, maka melalui Komite Hijaz (NU) lah usulan tersebut bisa terwujud. Beberapa tahun kemudian usulan tersebut mendapat jawaban yang jelas dari Raja Ibnu Sa’ud. Itulah yang sesungguhnya diperjuangkan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, bukan untuk perjuangan politik, dukung mendukung raja yang berkuasa di Jazirah Arab. Jika toh sepakat dengan khilafah (kongres dunia di Mesir), maka itu dipandang sebagai upaya melanjutkan khilafah Turki yang selama ini mempertahankan tradisi bermadzhab.

Peran KH. Hasyim Asy’ari dalam pengembangan NU juga sangat penting. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (Prinsip Dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. Dalam biografi KH. Hasyim Asy’ari yang ditulis Drs. Lathiful Khuluq MA menyebutkan, pada kenyataannya KH. Hasyim Asy’ari bisa dipandang sebagai arsiteknya. Tokoh itu yang menulis aturan-aturan dasar organisasi NU yang masih terus dipakai sebagai dasar ideologi sampai kini.

KH. Hasyim Asy'ari tidak saja berperan utama dalam mengeluarkan fatwa-fatwa hukum mengenai berbagai masalah keagamaan yang diperdebatkan banyak ulama, tetapi juga berperan dalam mempromosikan NU sebagai organisasi nasional.

Penjelasan sejarah ini menggambarkan kesan bahwa pendirian NU tak ubahnya seperti mewadahi suatu barang yang sudah ada. NU hanyalah sebagai penegasan formal dari mekanisme informal para ulama yang sepaham, serta pemegang tradisi dan cita-cita yang sehaluan.

Gerakan-Gerakan Ulama Pesantren Sebelum Didirikannya Nahdlatul ‘Ulama

Dalam hal ini usaha-usaha ke-organisasian kalangan pesantren yang berpuncak pada pendirian Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, antara lain:
  1. Tashwirul Afkar (Potret Pemikiran) atau dikenal juga dengan nama Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pikiran), adalah wahana kaum pesantren pertama yang terorganisir, gerakannya berupa kajian, diskusi, persemaian ide, sekolah, kursus, penerbitan dan kegiatan-kegiatan keilmuan Islam. Didirikan di Kawatan Surabaya tahun 1914 oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Mas Manshur. Ketuanya KH. Ahmad Dahlan Surabaya. Karena beda pendapat dalam masalah khilafiyah, duet kiai muda progressif (KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Mas Manshur) itu pecah, dan akhirnya KH. Mas Manshur memilih bergabung dengan Muhammadiyah yang telah lebih dulu berdiri.
  2. Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Negeri), didirikan tahun 1916 di Surabaya, sebagai wadah pergerakan sosial-politik kaum pesantren, usaha yang dilakukan masih terbatas pada pendidikan yang bersifat nasionalis moderat. Ketuanya KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz.
  3. Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Saudagar), didirikan tahun 1917 di Cukir –Jombang, merupakan perkumpulan ekonomi berbentuk koperasi, walaupun namanya kebangkitan pedagang, tetapi fokus gerakannya di bidang pertanian dan perdagangan hasil tani saja.
  4. Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air), sebuah organisasi kepemudaan berbasis pesantren, didirikan tahun 1920 dan berpusat di Surabaya. Setelah berdirinya NU organisasi pemuda ini kemudian berubah nama menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO). Salah satu tokohnya yaitu KH. Muhammad Yusuf Hasyim (1347 – 1428 H/1929 – 2007 M). Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU. Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Machfudz Siddiq, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Dachlan.
Tahun 1924, kelompok diskusi Tashwirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, awalnya tak langsung memberikan respons, tetapi setelah melihat perkembangan, dan setelah melakukan shalat istikharah, akhirnya KH. Hasyim Asy'ari dengan isyarat persetujuan dari gurunya, yaitu Syaikhuna Kholil Bangkalan (1235 – 1343 H/1820 – 1925 M), beliau memberikan restu dengan didirikannya NU pada tahun 1926. Sayangnya, sebelum NU terbentuk, Syaikh Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.

Peran Nahdlatul ‘Ulama Masa Awal Didirikan

Selama 10 tahun pertama, NU disibukkan urusan-urusan internal, termasuk memperluas pengaruhnya dan menarik pemimpin-pemimpin pesantren untuk bergabung. Ketika itu KH. Hasyim Asy'ari dan kiai lainnya seperti KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri (1303 – 1400 H/1886 – 1980 M) membentuk sebuah tim untuk mengadakan pendekatan kepada para pemimpin pesantren, dan mengajak partisipasi mereka.

Dalam perjalanannya, NU memainkan peranan yang cukup besar bagi bangsa Indonesia. Pada masa-masa awal setelah didirikan saja, NU sudah melakukan berbagai upaya untuk memajukan masyarakat Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengembangkan perekonomian masyarakat dengan mendirikan koperasi pada tahun 1929 di Surabaya. Koperasi ini sangat berperan dalam penjualan barang dan mengorganisis barter dalam masyarakat. Koperasi yang didirikan NU ini semakin berkembang hingga akhirnya pada tahun 1937 jangkauannya semakin luas dan dibentuklah Syirkah Mu’awanah.

NU juga mulai memajukan bidang pendidikan dengan mendirikan banyak madrasah dan pesantren. Metode pengajaran dan kurikulum yang digunakan sebagian besar merupakan perpaduan dari pengetahuan agama dan pengetahuan umum. NU juga mendirikan Lembaga Ma’arif pada tahun 1938 guna mengkoordinasi kerjasama dalam kegiatan pendidikan.

Polemik yang terjadi di antara kaum modernis dan kaum tradisional yang mengakibatkan perpecahan umat Islam di Indonesia telah lama mengundang keprihatinan KH. Hasyim Asy’ari. Pada tahun 1935 saat Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, beliau mengungkapkan:
“...sampailah kepadaku suatu berita, bahwa di antara kamu semuanya sampai kepada masa kini, berkobarlah api fitnah dan pertentangan-pertentangan.
...Wahai ulama-ulama yang telah ta’ashshub kepada setengah madzhab atau setengah qaul (pendapat) ! Tinggalkanlah ta’ashshubmu dalam soal-soal furu’ (ranting-ranting) itu ! Yang ulama sendiri dalam hal demikian mempunyai dua pendapat. Satu pendapat ialah bahwa setiap orang yang berijtihad adalah benar ! Dan satu pendapat lagi : Yang benar hanyalah satu, dan yang salah dapat pahala juga !
Tinggalkanlah ta’ashshub itu dan lepaskanlah diri daripada hawa nafsu yang merusak itu. Dan belalah agama Islam, berijtihadlah menolak orang-orang yang menghina Al-Qur’an dan sifat-sifat Tuhan.
Berjuanglah menolak orang yang mendakwahi ilmu yang sesat dan kepercayaan yang merusak. Dan berjihadlah menghadapi orang-orang demikian adalah wajib ! Alangkah baiknya jika tenagamu engkau sediakan buat itu.
Wahai seluruh insan !
Di hadapanmu sekarang berdirilah orang-orang kafir yang mengingkari Tuhan. Mereka telah memenuhi segala pelosok negeri ini. Siapakah di antara kamu yang bersedia tampil ke muka untuk berbahas dengan mereka dan berusaha menuntun mereka kepada jalan yang benar ?
Wahai sekalian ulama !
Kejurusan inilah pergunakan ijtihadmu dan dalam lapangan inilah kalau kamu hendak berta’ashshub !
Adapun ta’ashshub kamu pada ranting-ranting agama, dan mendorongkan orang supaya memegang satu madzhab atau satu qaul, tidaklah disukai Allah Ta’ala ! Dan tidaklah diridhai oleh Rasulullah SAW. Apatah lagi jika yang mendorongmu berlaku demikian, hanyalah semata-mata ta’ashshub, berebut-rebutan, dan berdengki-dengkian.
Sekiranya Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Hajar, dan Ramli masih hidup, niscaya mereka akan sangat menolak perbuatanmu ini.
...Bagaimana perasaanmu !
Kamu berkeras membicarakan furu’, yang dipertikaikan oleh ulama, tetapi tidak engkau ingkari perbuatan haram yang dilakukan orang, yang ijma’ sekalian ulama atas haramnya, sebagaimana zina (pelacuran), riba (rente), minum-minuman keras dan lain-lain. Tidak ada cemburumu melihat yang demikian itu. Kamu hanya cemburu pada Syafi’i dan Ibnu Hajar. Sehingga yang demikian itu menyebabkan pecahnya persatuan kalimahmu dan terputusnya hubungan kasih sayang di antara kamu, sehingga orang bodohlah yang menguasai kamu, sehingga jatuhlah haibah kebesaranmu di hadapan orang awam orang yang rendah budi, yang membicarakan cacat-cela kehormatanmu dengan tidak patut. Sehingga binasalah orang-orang itu karena perkataan mereka membicarakan kamu. Karena dagingmu telah bercampur racun, sebab kamu ulama. Dan kamu telah rusak binasa karena berbuat dosa yang besar !”
Kepada ulama kaum modernis, beliau mengimbau :
“Wahai ulama-ulama ! Kalau kamu lihat orang berbuat suatu amalan berdasarkan qaul imam-imam yang boleh ditaqlidi (dituruti), meskipun qaul itu hukumnya marjuh (tidak kuat alasannya), maka jika kamu tidak setuju, janganlah kamu cerca mereka, namun beri petunjuklah dengan halus ! Dan jika mereka tidak sudi mengikuti kamu, janganlah mereka dimusuhi. Kalau kamu berbuat demikian, samalah kamu dengan orang yang membangun sebuah istana, dengan menghancurkan lebih dahulu sebuah kota.”
Beliau melanjutkan :
“Janganlah kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat bercerai-berai, berpecah-belah, bertengkar-tengkar, dan bermusuh-musuhan karena sesungguhnya yang demikian itu adalah melanggar hukum Tuhan dan dosa yang amat besar.
Itulah yang menyebabkan runtuh-leburnya bangunan suatu bangsa, sehingga tertutuplah di hadapannya setiap pintu kepada kebajikan. Itulah sebabnya maka dilarang Allah, hamba-Nya yang beriman dari bertengkar-tengkaran...
Tuhan berfirman, ‘Dan janganlah kamu bertengkar-tengkaran sehingga gagallah kamu dan hilanglah semangat kekuatanmu.’
...Belum jugakah tiba masanya kita insaf ? Belum jugakah tiba masanya kita akan sadar dari kemabukan ini ? Dan bangun dari kelalaian kita ? Belum jugakah kita mengerti bahwa kemenangan kita semua tergantung kepada bantu-membantu dan persatuan yang padu di antara kita ? Atau akan kita lanjutkan jugakah perpecahan ini, hina menghinakan, pecah memecah, munafik, pepat di luar pancung di dalam, rasa benci memenuhi hati, rasa dengki merusak kawan, dan sesat pusaka lama !
Padahal agama kita hanya satu belaka, Islam ! Madzhab kita hanya satu belaka, Syafi’i ! Daerah kita satu belaka, Jawa (Indonesia –pen) ! Dan kita semuanya adalah Ahlussunnah wal Jama’ah belaka.” (Maksudnya dalam persatuan umat Islam Indonesia jangan abaikan madzhab mayoritas, yaitu Imam Syafi’i).
(KH. Hasyim Asy’ari dengan penerjemah Buya Hamka, Al-Mawaa’izh Syaikh Hasyim Asy’ari, Panji Masyarakat 15 Agustus 1959, hlm. 5-6).

Kepedulian KH. Hasyim Asy'ari yang mengajak umat Islam untuk bersatu, menarik hati kalangan modernis seperti KH. Mas Manshur dari Muhammadiyah dan Wondoamiseno dari Sarekat Islam yang diundang ke Muktamar NU. Mereka kemudian merealisasikan ajakan KH. Hasyim Asy’ari itu untuk bekerja sama dengan kalangan tradisionalis, yang kemudian membentuk badan federasi bagi organisasi-organisasi Islam untuk mengkoordinasikan kegiatan, dan menyatukan mereka menghadapi ancaman dan kepentingan bersama.

Organisasi itu didirikan pada 18-21 September 1937, dengan nama MIAI (Majelis al-Islam A’la Indonesia). KH. Hasyim Asy'ari menjadi Ketua Dewan. Tigabelas organisasi tergabung dalam organisasi itu, dan semua bersatu menghadapi politik Belanda, seperti menolak undang-undang perkawinan dan kewajiban militer bagi umat Islam. Melalui MIAI – yang akhirnya (terpaksa) diakui oleh pemerintah Hindia Belanda – itulah, perjuangan melindungi umat Islam, khususnya warga nahdliyyin dilakukan.

Peran Nahdlatul ‘Ulama Pada Masa Jepang

Peran NU tidak berhenti sampai di situ, sejak kedatangan Jepang, peran NU semakin diperhitungkan. Jepang yang kala itu sedang membutuhkan basis massa untuk membantu Jepang dalam Perang Pasifik, akhirnya Jepang melakukan mobilisasi terhadap rakyat pedesaan di Indonesia. Sementara kaum ulama dan kiai diberikan jabatan resmi agar mau membantu Jepang. Misalnya saja dengan menjadikan KH. Hasyim Asy’ari sebagai ketua Shumubu (Kepala Kantor Urusan Agama). Selain itu puluhan ribu anggota NU juga dilatih secara militer dalam PETA (Pembela Tanah Air).

Pada 24 Oktober 1943, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dibentuk oleh Jepang sebagai pengganti MIAI. Terbentuknya organisasi itu karena Jepang khawatir karakter antikolonial MIAI akan berubah menjadi anti-Jepang. Masyumi dan MIAI memiliki tujuan yang sama, yaitu mempersatukan umat Islam. Akhirnya dinamika politik telah terjadi di masa itu, yang telah melibatkan NU dalam Masyumi. Sebagian besar tokoh NU dijadikan pengurus, seperti KH. Hasyim Asy’ari yang diangkat sebagai ketua pertama Masyumi, dan juga KH. Abdul Wahab Hasbullah yang diangkat sebagai Penasehat Dewan Pelaksana.

Peran dan Perjuangan Nahdlatul ‘Ulama Dalam Merebut Kemerdekaan Indonesia

Selain motif agama, NU lahir karena dorongan untuk Negara Indonesia merdeka. Para ulama berusaha membangunkan semangat Nasionalisme melalui berbagai kegiatan keagamaan dan pendidikan, yang maksud dan tujuannya untuk melepaskan belenggu penjajah yang telah berhasil mencengkeram tanah air Indonesia selama hampir tiga setengah abad.

Nahdlatul Wathan tempat/wadah para pemuda NU dijadikan markas penggemblengan pemuda-pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air, setiap akan dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dulu  menyanyikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab, yang telah digubah oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam bentuk sya’ir seperti berikut ini :
Wahai bangsaku wahai bangsaku
Cinta tanah air bagian dari iman
Cintailah tanah air ini wahai bangsaku
Jangan kalian menjadi orang terjajah
Sungguh kesempurnaan itu harus
Dibuktikan dengan perbuatan
Dan bukanlah kesempurnaan itu hanya
Berupa ucapan
………………..
Wahai bangsaku yang berfikir jernih
Dan halus perasaan
Kobarkan semangat
Jangan jadi pembosan.

Selain itu dari rahim NU lahir laskar-laskar perjuangan fisik, di kalangan pemuda muncul laskar Hizbullah (Tentara Allah) dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran Barus -Sumatra Utara (1327 – 1382 H/1909 – 1963 M), dan di kalangan orang tua ada laskar Sabilillah (Jalan menuju Allah) yang dikomandoi KH. Masykur (1320 – 1412 H/1902 – 1992 M). Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahiddin yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah.

Tokoh NU juga terlibat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehingga terlibat langsung dalam perumusan pernyataan kemerdekaan. Kebijakan Jepang tersebut mau tak mau menarik sejumlah anggota NU ke ranah politik.

Ketika Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk tanggal 29 April 1945, KH. Wahid Hasyim duduk sebagai salah seorang anggotanya. Begitu juga  KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masykur, dan KH. Zainul Arifin.

KH. Abdul Wahid Hasyim (1332 – 1372 H/1914 – 1953 M) bergabung sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), ia tercatat sebagai salah seorang perumus dasar Negara dan turut serta sebagai penandatangan Piagam Jakarta bersama delapan orang lainnya.

Di saat Belanda datang lagi dengan membonceng tentara Sekutu sambil mengultimatum agar pejuang Indonesia menyerah, NU mengeluarkan fatwa Jihad fi sabilillah yang dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad Nahdlatul ‘Ulama itu mampu membakar semangat perjuangan kaum Muslimin. Mereka tidak gentar menghadapi kematian, karena perang tersebut dihukumi perang sabil (perang agama).

Resolusi jihad ini juga terbukti dengan penentangan NU terhadap beberapa perjanjian dan konsesi diplomatik yang diadakan pemerintah seperti Perjanjian Renville (1946), Perjanjian Linggarjati (1948) dan juga Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949).

Seperti diketahui, fatwa itu dikeluarkan Rais Akbar PB NU KH. Hasyim Asy’ari dalam pertemuan ulama dan konsul-konsul NU se-Jawa serta Madura di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama di Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, pada 22 Oktober 1945. Ketika itu KH. Abdul Wahab Hasbullah menjadi Khatib ‘Am PB NU yang bertugas mengawal implementasi dan pelaksanaan di lapangan.

Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu :
  1. Setiap Muslim – tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia.
  2. Pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada.
  3. Warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.
Jadi umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya Qashar Shalat). Di luar radius itu dianggap fardhu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardhu ‘ain, kewajiban individu). Fatwa jihad yang ditulis dengan huruf pegon itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio.

Fatwa itulah yang memotivasi arek-arek Suroboyo untuk bertempur habis-habisan pada 10 November guna mengusir Belanda yang membonceng NICA (Sekutu). Saking heroiknya, 10 November kemudian dinyatakan sebagai Hari Pahlawan.

Peran Nahdlatul ‘Ulama Dalam Politik Negara

Dalam perkembangannya, setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 3 November 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat No. X yang berisi anjuran tentang berdirinya partai-partai politik. Atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang merupakan federasi dari organisasi-organisasi Islam, mengadakan kongresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada kongres tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi dari Badan Federasi menjadi satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia dengan Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama sebagai tulang punggungnya. Bahkan NU adalah modal pokok bagi eksistensi Masyumi, telah dibuktikan oleh NU pada Muktamar NU ke-16 di Purwokerto tahun 1946 yang memerintahkan semua warga NU untuk beramai-ramai menjadi anggota Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor NU juga diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam Gabungan Pemuda Islam Indonesia (GPII).

Bergabungnya NU dalam Masyumi menjadi pengalaman berharga bagi NU. Ia mulai mengalami liku-liku politik, sesuatu yang baru bagi NU. Menurut NU, politik dapat dijadikan media untuk memperluas peran ulama.

Tokoh NU, KH. Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ketua Umum Majelis Syuro (Dewan Penasehat Keagamaan). Sementara tiga tokoh NU lainnya menduduki jabatan menteri sebagai wakil Masyumi, yakni KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Masykur, dan KH. Fathurrahman Kafrawi (1318 – 1389 H/1901 – 1969 M). Tokoh lainnya yang juga berkiprah di pemerintahan adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung.

Majelis Syuro ini memiliki peran yang sangat penting dalam tubuh Masyumi, antara lain yang tercantum dalam Anggaran Rumah Tangga di bawah ini:
  1. Majelis Syuro berhak mengusulkan hal-hal yang bersangkut paut dengan politik kepada pimpinan partai.
  2. Dalam soal politik yang bersangkut paut dengan masalah hukum agama, maka pimpinan partai meminta fatwa dari Majelis Syuro.
  3. Keputusan Majelis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat pimpinan partai .
Jika muktamar/ dewan partai berpendapat lain daripada keputusan Majelis Syuro, maka pimpinan partai dapat mengirimkan utusan untuk berunding dengan Majelis Syuro dan hasil perundingan itu merupakan keputusan tertinggi.
Namun adanya dualisme kepemimpinan dalam Masyumi, yakni Majelis Syuro dan Tanfidziyah menjadi sumber kericuhan. Hal itu karena para anggota Dewan Legislatif merasa tersingkir dari pembuatan keputusan. Karena itu, para pemimpin NU mulai mempertanyakan peran mereka dalam Masyumi dan manfaat yang diperoleh darinya.

Pada Muktamar NU ke-17 di Madiun, pada 25 Mei 1947, KH. Abdul Wahid Hasyim mendirikan Biro Politik NU untuk bernegosiasi kepemimpinan Partai Masyumi dan untuk memperkuat kekuatan tawar-menawar NU. Dua bulan setelah pembentukan biro itu, KH. Hasyim Asy'ari meninggal dunia, sehingga NU kehilangan figur yang disegani, tidak hanya kalangan tradisional, tetapi juga modernis, dan figur yang selalu menyerukan persatuan dan kesatuan umat.

Pada Muktamar Partai Masyumi ke-4 di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15-19 Desember 1949, telah diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Majelis Syuro yang semula menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi Penasehat yang tidak mempunyai hak veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus dilaksanakan.

Hubungan antara Masyumi dengan NU berubah pada 1952, yang mana NU mengambil keputusan pada Muktamar NU di Palembang, tanggal 28 April – 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri.

Keputusan untuk keluar dari Masyumi yang diambil oleh NU ini dibarengi dengan penyampaian beberapa amanat kepada pengurus, yakni:
  1. Pelaksanaan keputusan tersebut agar jangan sampai menimbulkan kegoncangan di kalangan umat Islam,
  2. Pelaksanaan keputusan tersebut dilakukan dengan perundingan terlebih dahulu dengan Masyumi, dan
  3. Keputusan ini dijalankan dalam gubungan yang lebih luas yang berkenan adanya keinginana untuk membentuk dewan pimpinan umat Islam yang nilainya lebih tinggi, dimana partai-partai dan organisasi-organisasi Islam baik yang sudah maupun belum tergabung dalam Masyumi dapat berkumpul dan berjuang bersama-sama.
Pasca meninggalkan Masyumi dan menjadi sebuah partai politik, NU dihadapkan pada kekurangan tenaga terampil. Untuk mengatasi hal ini, maka direktrutlah beberapa tokoh yang dianggap mumpuni seperti H. Jamaluddin Malik, KH. Idham Chalid (1339 – 1431 H/1921 – 2010 M), dan beberapa tokoh lainnya.

Selain itu NU juga mengambil langkah untuk membentuk sebuah fraksi tersendiri di parlemen. Parlemen tersebut beranggotakan 8 orang anggota NU, yakni: KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. M. Ilyas (1329 – 1390 H/1911 – 1970 M), M. Sholeh Suryaningprojo, M. Ali Prataningkusumo, H.A.A. Achsien, KH. Idham Chalid, H.A.S. Bachmid, KH. Zainul Arifin (yang kemudian digantikan oleh KH. Saifuddin Zuhri).

Selanjutnya NU memainkan peranannya dalam membentuk kabinet. Sebagai partai politik yang terbilang baru, NU berusaha memperkuat posisi umat Islam di parlemen dan kabinet.

Peran dan Perjuangan Nahdlatul ‘Ulama Masa Orde Baru

Pada tahun 1973, partai-partai politik bergabung dalam dua wadah fusi. Partai Islam disatukan dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan anggotanya yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Wadah lainnya berisi PNI, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Parkindo, Partai Katolik, dan Partai Murba, wadah kedua ini dinamakan Partai Demokrasi Indonesia.

Ketika berada dalam PPP, NU mendapat kehormatan layaknya di Masyumi. Semangat persaudaraan dalam tubuh PPP awalnya sangat kuat, namun pada hal itu tidak berlangsung lama, sebab ketika adanya pengajuan RUU Perkawinan, KH. Bisri Syansuri sebagai wakil NU menolak adanya RUU tersebut. Menurut Kiai Bisri, RUU tersebut berisi pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum perkawinan dalam Islam.

KH. Bisri Syansuri memiliki wibawa yang sangat besar dan sifatnya cenderung keras, sehingga ketika terjadi pertikaian di tubuh PPP, ia dapat dengan segera mengendalikan para pimpinan PPP. Sepeninggal KH. Bisri Syansuri, anggota-anggota NU seringkali mengalami pertikaian dengan anggota dari partai lainnya.

Pada Muktamar NU ke-26 di Semarang tanggal 6-11 Juni 1979, NU menyatakan akan kembali menjadi Jam’iyyah seperti tahun 1926. Keputusan ini diambil NU tidak lain karena menganggap bahwa pada saat itu NU sudah memiliki wadah dalam berpolitik yakni PPP, sehingga NU dapat kembali menjadi organisasi keagamaan lagi. Selain itu perjalanan politik NU yang seringkali mengalami kekecewaan membuat organisasi ini semakin terdorong untuk kembali ke Khittah 1926. Meski memutuskan untuk kembali menjadi organisasi keagamaan, tetapi anggota-anggota NU dapat ikut serta dalam politik secara perseorangan.

Asas Pancasila dan NKRI sebagai Bentuk Final bagi Bangsa Indonesia

Pada Muktamar ke-27 di Situbondo (1984), NU membuat keputusan bahwa “Nahdlatul ‘Ulama berasaskan Pancasila. Nahdlatul ‘Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyyah Islamiyyah beraqidah Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti salah satu dari empat madzhab yaitu: Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.”

Wallahu ‘alamu bisshawab 


Sumber Rujukan :