Nahdlatul
‘Ulama (NU) yang
mengusung nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah dikenal sebagai organisasi
masyarakat Islam berwatak kebangsaan. Watak kebangsaan tersebut sesungguhnya
telah melekat pada sejarah dan jati dirinya. Ciri khas NU sejauh ini tampaknya memang
hanya dilihat dari manifestasinya dalam bentuk toleransi dalam kehidupan
beragama. Padahal sikap tersebut hanya salah satu ekspresi paham kebangsaan NU.
Lahirnya NU,
bila ditelisik lebih dalam adalah tekad kebulatan para ulama dalam
mempertahankan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan ajaran empat madzhab
dalam Islam, yakni Maliki, Hanbali, Hanafi, dan Syafi’i. Hal itu terkait
merebaknya ajaran pembaharuan Islam yang berkembang di dunia termasuk Indonesia
dengan membawa semangat puritanisasi atau mengembalikan segalanya kepada
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ini sebagai imbas menyusul terbentuknya pemerintahan
baru di Jazirah Arab, yakni Abdul Aziz bin Sa’ud sebagai raja yang menganut
faham Al-Muwahhidun atau yang kini sering disebut sebagai
“Wahabi” yang merupakan pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab.
Muhammad bin
Abdul Wahhab, seorang pembaharu agama (mujaddid) yang lahir di Ayibah
lembah Nejed (1115 – 1201 H/1703 – 1787 M) yang mengaku sebagai penerus ajaran
Salafi Ibnu Taimiyyah dan kemudian mendirikan madzhab Wahabi-Wahabiyyah. Ia pun
mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah karena meneruskan pemikiran Imam
Ahmad bin Hanbal yang diterjemahkan oleh Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus
Salam bin Abdullah bin Taimiyyah al-Harrani atau yang biasa disebut dengan nama
Ibnu Taimiyyah (661 – 728 H/1263 – 1328 M), tapi sebagaimana pendahulunya,
Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya pun layaknya kaum Khawarij yang mudah
mengkafirkan para ulama yang tidak sejalan dengan dia, bahkan sesama madzhab
Hanbali pun ia mengkafirkannya.
Sejak Ibnu
Sa’ud, raja Nejed menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) pada tahun 1924 –
1925, Wahabi sangat dominan di Tanah Haram, madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali yang sebelumnya hidup berdampingan di Tanah Suci itu, tidak
diperkenankan lagi diajarkan dan diamalkan, bahkan tidak sedikit para ulama
yang dibunuh. Suasana yang tidak nyaman ini memaksa para ulama dari seluruh
dunia yang berkumpul di Haramain pindah atau pulang ke negaranya, termasuk para
santri asal Indonesia.
Beberapa
kalangan mengemukakan, Ibnu Sa’ud yang berhasil mengusir penguasa Mekkah
sebelumnya, yakni Syarif Husein pada Oktober 1924. Dr. Deliar Noer dalam
bukunya berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942 menyebutkan,
Ibnu Sa’ud yang berhasil mengusir penguasa Mekkah sebelumnya, yakni Syarif
Husein pada tahun 1924, mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktik
beragama sesuai dengan ajarannya, walaupun pemimpin Wahabi itu tidak melarang
ajaran madzhab di Masjidil Haram. Tindakannya itu sebagian mendapat sambutan
baik di Indonesia, tetapi sebagian ditolak.
Saat KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari (1287 – 1366 H/1871 – 1947 M) masih belajar di Mekkah,
Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah (1266 – 1322 H/1849 – 1905 M), seorang
penggagas gerakan modernisme Islam dari Mesir, sedang giat-giatnya melancarkan
gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Pemikirannya banyak berinspirasi dari Ibnu
Taimiyyah. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Muhammad Abduh itu sangat
mempengaruhi proses perjalanan umat Islam selanjutnya.
Ide-ide
reformasi Islam yang dianjurkan oleh Muhammad Abduh yang dilancarkan dari
Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di
Mekkah, termasuk KH. Hasyim Asy’ari. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama
mengajak umat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktik
keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan
Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali
doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern;
dan keempat, mempertahankan Islam.
Usaha Muhammad
Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan
modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali
tanggungjawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan.
Dengan alasan inilah Muhammad Abduh melancarkan ide agar umat Islam melepaskan
diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para ulama madzhab dan agar
umat Islam meninggalkan segala bentuk praktik thariqat.
Syaikh Ahmad
Khatib bin Abdul Lathif al-Minangkabawi (1276 – 1334 H/1860 – 1916 M), seorang
ulama besar Indonesia yang menjadi imam, khatib dan guru besar di
Masjidil Haram, mendukung beberapa pemikiran Muhammad Abduh, walaupun ia
berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Ahmad Khatib ketika kembali
ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Muhammad Abduh itu. Di antaranya
adalah Muhammad Darwis bin Abu Bakar atau yang lebih dikenal dengan nama KH.
Ahmad Dahlan (1284 – 1341 H/1868 – 1923) yang kemudian mendirikan Muhammadiyah.
Tidak demikian dengan KH. Hasyim Asy’ari. Beliau sebenarnya juga menerima
ide-ide Muhammad Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak
pikiran Muhammad Abduh agar umat Islam melepaskan diri dari keterikatan
madzhab. Beliau berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud
yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits tanpa mempelajari
pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem madzhab. Untuk
menafsirkan Al-Qur’an dan Al-Hadits tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku
para ulama madzhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.
Dalam hal thariqat,
KH. Hasyim Asy’ari tidak menganggap bahwa semua bentuk praktik keagamaan waktu
itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar umat
Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan thariqat. Dalam
perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermadzhab yang diwakili
kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak
bermadzhab (sering disebut kelompok modernis-puritan) itu memang kerap tidak
terelakkan. Puncaknya adalah saat Kongres Al-Islam IV yang diselenggarakan di
Bandung. Kongres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai
kelompok umat Islam, untuk dibawa ke kongres umat Islam di Mekkah.
Kelompok
modernis di Indonesia diwakili oleh :
- Muhammad
Darwis, seorang tokoh pembaharu agama (mujaddid) asal Yogyakarta.
Dia aktif dan rutin mengikuti pemikiran Muhammad Abduh, M. Rasyid
Ridla lewat majalah Al-Manar dan ajaran Wahabi. Dia kemudian dikenal
dengan nama KH. Ahmad Dahlan yang pada 18 Nopember 1912 mendirikan
organisasi keagamaan Muhammadiyah. Walaupun kenyataannya dalam amaliyah
sehari-hari selama hidupnya KH. Ahmad Dahlan lebih dekat kepada madzhab
Syafi’i. Namun sepeninggal beliau terjadi modernisasi total dari para
penerusnya.
- Ahmad
Soorkati (1872 – 1943 M) seorang mujaddid asal Sudan yang kalah
bersaing dalam Jami’at al-Khair di negaranya. Kemudian hijrah ke
Indonesia dan tahun 1914 di Betawi mendirikan organisasi Al-Irsyad.
- Di Bandung
pun muncul mujaddid yang bernama Ahmad Hassan yang juga dikenal
sebagai Hassan Bandung atau Hassan Bangil yang tahun 1927 meneruskan
organisasi Persatuan Islam (PERSIS) yang didirikan pada 12 September 1923
oleh KH. Zam Zam Palembang dan Muhammad Yunus.
- Hadji
Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto (1882 – 1934 M) dengan Sarekat Islam (SI).
Berbagai perkembangan
yang tidak menguntungkan kaum pesantren selama kurun 1920 sampai dengan 1926,
akhirnya mendorong KH. Hasyim Asy’ari untuk melakukan istikharah demi
kemaslahatan umat. Berdasar hasil istikharah itulah beliau memutuskan
hendak mendirikan sebuah Jam’iyyah untuk mewakili dunia pesantren
Indonesia.
Pembentukkan
Komite Hijaz
Salah satu cara
memahami sejarah lahirnya Nahdlatul ‘Ulama (NU) adalah memahami Central
Comite al-Islam (CCI) dan Komite Hijaz. Sebab di antara ketiganya ada benang
merah yang tidak dapat dipisahkan serta mempunyai konteks masing-masing dalam
setiap perkembangannya.
Sebelum
dibentuk CCI, adalah atas usul Bratanata seorang tokoh Sarekat Islam (SI)
membentuk sebuah forum Kongres Al-Islam. Forum ini mempunyai tujuan untuk
mengurangi ketegangan dan bahaya perselisihan khilafiyah. Dengan
demikian diharapkan akan terwujud sebuah persatuan berbagai kelompok
(pemahaman) Islam yang ada dan memperkuat kekuatan Muslim, khususnya di
Indonesia. Kongres Al-Islam pertama dilaksanakan di Cirebon tahun 1921 yang
dipimpin langsung oleh HOS. Tjokroaminoto dan dibantu H. Agus Salim. Lagi-lagi
perdebatan muncul dalam kongres tersebut, yaitu antara kaum modernis
(Muhammadiyah dan Al-Irsyad) yang diwakili oleh Ahmad Soorkatti dan ulama
tradisional oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah (atau KH. Abdul Wahab Chasbullah,
lahir di Jombang tahun 1305 H/1888 M – dan wafat 1391 H/1971 M) dan KH. Raden
Asnawi bin Abdullah Husnin (adapun nama sebelumnya adalah Raden Ahmad Syamsi,
kemudian sesudah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama berganti nama Raden
Haji Ilyas dan nama inilah yang terkenal di Mekkah. Lahir di Kudus pada tahun
1281 H/1861 M – dan wafat 1378 H/1959 M). Yang diperdebatkan adalah persoalan
madzhab, dimana kubu modernis mengecam madzhab sebagai penyebab lumpuhnya dan
bekunya umat Islam. Di pihak lain KH. Abdul Wahab Hasbullah menuduh
Muhammadiyah dan Al-Irsyad mau membuat madzhab sendiri dengan cara menafsirkan
Al-Qur’an sesuka akalnya. Konflik khilafiyah tersebut membuat Kongres
Al-Islam gagal membentuk CCI yang sebenarnya merupakan salah satu tujuan
diadakannya kongres.
Kongres
Al-Islam ke-2 digelar di Garut, Jawa Barat tahun 1922 berhasil ditetapkan CCI.
Namun dalam pertemuan tersebut, ulama tradisional yang biasa diwakili KH. Abdul
Wahab Hasbullah tidak hadir. Ketidakhadiran beliau ternyata tetap tidak bisa
meredakan pertentangan khilafiyah.
Karena kondisi
CCI dalam membawa misi mendamaikan berbagai kelompok Islam tersebut gagal, maka
atas prakarsa Sarekat Islam pada tahun 1924 dibentuklah Central Comitte
Chilafat (CCC), namun tujuannya sudah berbeda dengan CCI. CCC lebih
mengkonsentrasikan kepada persoalan khilafah. SI menunjuk W.
Wondosoedirjo (W. Wondoamiseno) sebagai wakil dari SI. Pada pertemuan tersebut
disepakati bahwa W. Wondoamiseno terpilih sebagai ketua CCC.
Kemudian pada
tanggal 24 – 26 Desember 1924, CCC mengadakan Kongres Al-Islam ke-3 di
Surabaya. Keputusan penting dalam pertemuan tersebut adalah membahas mengenai
utusan CCC ke “Muktamar Dunia Islam” di Kairo dan memutuskan apa saja yang
perlu disampaikan dalam forum internasional tersebut, yaitu : Pertama, masalah khilafah
harus dipegang “Majelis ‘Ulama” dan berpusat di Mekkah. Kedua, utusan yang akan
dikirim adalah KH. Fahruddin (Muhammadiyah), Surjopranoto (SI) dan KH. Abdul
Wahab Hasbullah (atas nama Ketua Perkumpulan Agama di Surabaya) ditambah HOS.
Tjokroaminoto dan Ahmad Soorkatti.
Perlu dicatat
dan ditegaskan di sini bahwa khilafah yang akan dibahas dalam “Muktamar
Dunia Islam” dalam hal ini adalah atas prakarsa para ulama Al-Azhar atas
kecamuk di Jazirah Arab antara Ibnu Sa’ud (Arab), Syarif Husein dan Syarif ‘Ali
(Raja Hijaz) di saat kekhalifahan di Turki (Khalifah Muhammad VI) jatuh dan
dikuasi oleh Kemal Pasya. Karena kondisi inilah pembahasan soal khilafah
di Mesir gagal dan utusan CCC juga batal berangkat sampai batas tidak
ditentukan.
Perubahan
geopolitik yang terjadi saat itu ternyata juga membawa kabar berita tentang
adanya larangan bermadzhab, berziarah dan tatacara beribadah menurut madzhab.
Itu terjadi setelah Ibnu Sa’ud memenangkan perebutan kekuasaan dengan Raja
Hijaz (Syarif ‘Ali). Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Raja Ibnu Sa’ud
menerapkan sebuah kebijakan yang sangat melukai umat Islam, yakni
antipluralitas madzhab dan juga pemusnahan artefak sejarah dan situs-situs
peninggalan peradaban Islam. Termasuk salah satunya adalah rencana pembongkaran
makam Nabi Muhammad SAW di Madinah.
Pada tanggal 21
– 27 Agustus 1925, CCC mengadakan Kongres Al-Islam yang ke-4 di Yogyakarta yang
dipimpin oleh W. Wondoamiseno, KH. Abdul Wahab Hasbullah buru-buru menyampaikan
pendapat mengenai rencana diadakannya “Mu’tamar ‘Alam Islami” (Kongres
Islam Internasional) yang akan dilangsungkan di Mekkah. Sebenarnya saat itu CCC
belum menerima pemberitahuan kapan akan diadakannya muktamar tersebut, namun
KH. Abdul Wahab Hasbullah meminta dengan sangat bahwa wakil CCC yang nanti
berangkat ke Mekkah harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan
bermadzhab. Sistem bermadzhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus
tetap dipertahankan.
Kemudian
datanglah undangan dari Raja Ibnu Sa’ud kepada CCC untuk ikut hadir di Mu’tamar
‘Alam Islami di Mekkah yang akan dilaksanakan bulan Juni 1926 (perlu
digarisbawahi ini berbeda dengan muktamar sebelumnya yang diprakarsai oleh
ulama Al-Azhar).
Sebelum CCC
mengadakan Kongres Al-Islam ke-5 di Bandung pada 5 Februari 1926, KH. Abdul
Wahab Hasbullah merasakan ada gelagat bahwa apa yang diusulkan dalam kongres di
Yogyakarta kurang mendapat perhatian. Beberapa kali upaya mendekati tokoh CCC
dalam membantu misinya memperingatkan Raja Ibnu Sa’ud kurang mendapat respon
baik. Bahkan sebelum kongres di Bandung itu kalangan modernis sudah mengadakan
pertemuan terlebih dahulu (8 – 10 Januari 1926) yang salah satu keputusannya menetapkan
HOS. Tjokroaminoto dari SI dan KH. Mas Manshur dari Muhammadiyah sebagai utusan
untuk menghadiri muktamar di Mekkah.
KH. Abdul Wahab
Hasbullah dari kalangan tradisional yang “disingkirkan” dalam perhelatan itu,
mencoba mengajukan usul-usul atas aspirasi Islam tradisionalis agar Raja Ibnu
Sa’ud menghormati tradisi keagamaan seperti membangun kuburan, membaca do’a
seperti Dalailul Khairat, ajaran madzhab, termasuk tradisi yang
menggurat di Mekkah dan Madinah. Tetapi usul-usul tersebut nampaknya
dikesampingkan oleh kalangan modernis. (Lihat alKisah, No 4/IV/2006, rubrik
Sejarah; Harlah NU; Menghadang Langkah Wahabi; hal 68-72).
Dalam Kongres
CCC di Bandung tersebut KH. Abdul Wahab Hasbullah tidak bisa hadir, karena ayah
beliau tiba-tiba sakit keras. Dengan demikian, maka ketidakhadiran beliau dalam
Kongres CCC tersebut memuluskan pihak-pihak lain yang sedari awal lebih condong
pada kebijakan Raja Ibnu Sa’ud. Dan sejak itu pula hubungan KH. Abdul Wahab Hasbullah
dengan CCC sudah pudar meski September 1926 utusan CCC menyampaikan hasil
muktamar di Mekkah dalam Kongres ke-6 di Surabaya.
Setelah keluar
dari CCC, KH. Abdul Wahab Hasbullah mengambil inisiatif tersendiri dengan
mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior. Musyawarah-musyawarah kecil
itu awalnya hanya melibatkan beberapa tokoh yang datang dari sekitar daerah
Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah sekitarnya, semuanya kebanyakan
dari Surabaya. Pertemuan itu dilakukan di sebuah mushola yang didirikan oleh H.
Moesa yang terletak di Jalan Ampel Masjid (sekarang menjadi Jalan Kalimas
Udik), Kertopaten Surabaya. Para kiai sepakat mendirikan “Komite Merembuk
Hijaz” yang kemudian berganti nama menjadi “Komite Hijaz”, untuk mengantisipasi
gerakan Wahabi yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Sa’ud. Komite ini
diketuai KH. Abdul Wahab Hasbullah. Tugas utamanya mengirimkan utusan ulama
pesantren Indonesia untuk menemui Raja Ibnu Sa’ud di Nejed.
Sebelum utusan
CCC berangkat ke Muktamar ‘Alam Islami di Mekkah pada 2 Maret 1926, pada
16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 dalam sebuah pertemuan
di rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah di Kampung Kawatan –Surabaya, yang dihadiri
sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar di Jawa.
Pertemuan
bersejarah itu dihadiri oleh beberapa ulama yang berpengaruh, di antaranya :
KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Bisri Syansuri (Jombang), KH. Raden Asnawi (Kudus),
KH. Maksum (Lasem, Rembang), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Nahrowi Thahir, KH. Mas
Alwi Abdul Aziz (Malang), KH. Ridlwan Abdullah, KH. Abdullah Ubaid (Surabaya),
KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon), H. Ndoro Munthoha (Madura), KH. Dahlan
Abdul Qohar (Kertosono), KH. Abdullah Faqih (Sedayu, Gresik), dan lain-lain.
(Sumber : Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khittah Nahdlatul ‘Ulama,
Surabaya, Lajnah Ta’lif Wan Nasr, t.t. hal 10-11).
Dalam
kesempatan itu, atas restu KH. Hasyim Asy’ari disepakati juga pembentukan Jam’iyyah
sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam
wal Muslimin (kejayaan Islam dan kaum Muslimin), sebagaimana isyarat yang
diberikan oleh Syaikhuna Kholil Bangkalan yang dikirimkan melalui salah seorang
santrinya, KH. R. As’ad Syamsul Arifin (1314 – 1410 H/1897 – 1990 M) kepada KH.
Hasyim Asy’ari.
Sebagaimana nama-nama organisasi besar pada umumnya, nama Nahdlatul
'Ulama juga lahir dari pemikiran dan proses perdebatan yang intensif. Yang
beredar di benak para ulama waktu itu adalah organisasi apa dan apa pula
namanya yang akan bertindak selaku pemberi mandat kepada delegasi tersebut? Di
sinilah perdebatan sengit seputar nama organisasi berlangsung, seperti
diceritakan Choirul Anam dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010
(Surabaya: Duta Aksara Mulia). Setidaknya ada dua nama atau usulan. Kedua nama
ini secara prinsip sebenarnya sama namun memiliki implikasi yang berbeda.
KH. Abdul Hamid dari Sedayu –Gresik mengusulkan nama
"Nuhudlul 'Ulama" disertai penjelasan bahwa para ulama mulai
bersiap-siap akan bangkit melalui perwadahan formal tersebut. Pendapat ini
disambut oleh KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz dengan sebuah sanggahan. Menurutnya,
kebangkitan bukan lagi mulai atau akan bangkit. Melainkan, kebangkitan itu
berlangsung sejak lama dan bahkan sudah bergerak jauh sebelumnya adanya
tanda-tanda akan terbentuknya Komite Hijaz itu sendiri. Hanya saja, kata KH.
Mas Alwi, kebangkitan atau pergerakan ulama kala itu memang belum terorganisasi
secara rapi.
Lewat argumentasi itu, KH. Mas Alwi mengajukan usul agar Jam'iyyah ulama
itu diberi nama "Nahdlatul 'Ulama" (Kebangkitan 'Ulama), yang
pengertiannya lebih condong pada "gerakan serentak para ulama dalam suatu
pengarahan, atau, gerakan bersama-sama yang terorganisasi". Forum para
kiai itu secara aklamasi menerima usulan KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz. Nama
"Nahdlatul 'Ulama" pun ditetapkan pada hari itu juga, 16 Rajab
1344 H, tanggal bersejarah lahirnya organisasi Nahdlatul 'Ulama (NU)
yang diperingati setiap tahun hingga kini.
Didirikannya Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama adalah bertujuan membina
masyarakat Islam berdasarkan faham Ahlussunnah wal Jama’ah seperti
tertuang dalam Pasal 3 ayat a; b, (Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama
1926, HBNO, Soerabaja, 1344 H), yakni : “Mengadakan perhoeboengan di antara
oelama-oelama yang bermadzhab” dan “memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai
oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli
Soennah wal Djama’ah atau kitab Ahli Bid’ah.”
Dalam forum
ulama yang cukup sederhana itu, H. Hasan Gipo (1869 – 1934) ditunjuk oleh KH.
Abdul Wahab Hasbullah menjadi ketua Tanfidziyah Hoofd Bestuur Nahdlatoel
Oelama (HBNO –Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama) dengan didampingi KH. Muhammad
Hasyim Asy’ari (Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang) sebagai Rois Akbar.
Gagasan KH.
Abdul Wahab Hasbullah menyerahkan jabatan tertinggi kepada Hadhratusy Syaikh
KH. Hasyim Asy’ari sangat brilian. Sebab, selain berkedudukan sebagai ulama
besar yang sangat disegani karena kedalaman ilmunya, KH. Hasyim Asy’ari juga
dikenal sebagai guru hampir semua ulama muda di tanah air. Bahkan bisa
dibilang, sepeninggal KH. Muhammad Kholil Bangkalan (guru besar ulama tanah air
pada awal abad ke-20 M), KH. Hasyim Asy’ari dan Pesantren Tebuireng yang
diasuhnyalah yang menjadi kiblat dunia pesantren di negeri ini, khususnya di
Jawa.
Dalam pidato
pembentukan NU, yang kemudian menjadi “Muqaddimah Qanun Asasi NU”, KH.
Hasyim Asy’ari secara tegas mengatakan bahwa “…Pendirian Jam’iyyah Nahdlatul
‘Ulama atau NU adalah mutlak diperlukan untuk memperkuat basis solidaritas
sesama umat Islam guna memerangi keangkara-murkaan”. Sebuah syair pun
dikutip KH. Hasyim Asy’ari yang menunjukkan signifikansi sebuah Jam’iyyah,
yaitu :
“… Berhimpunlah anak-anakku bila genting
datang melanda
Jangan bercerai
berai, sendiri-sendiri
Cawan-cawan
enggan pecah bila bersama
Bila bercerai,
satu-satu pecah berderai…”
Tugas penting
NU yang pertama sebagai organisasi adalah mengutus delegasi ikut Mu’tamar
‘Alam Islami di Mekkah, dan menetapkan utusanSemula utusan para ulama
adalah KH. R. Asnawi Kudus, namun karena beliau ketinggalan kapal dan tidak
jadi berangkat. Sebagai gantinya, NU mengirimkan isi keputusan rapat mereka
lewat telegram kepada Raja Ibnu Sa'ud dengan tambahan permintaan, agar isi
keputusan itu dapat dimasukkan dalam undang-undang Hijaz.
Isi keputusan
rapat NU yang dikirimkan kepada Raja Ibnu Sa’ud :
Segala puji
bagi Allah yang Maha Tunggal, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
junjungan kita Muhammad dan keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Kehadapan yang
Mulia Raja Hijaz dan Nejed serta daerah kekuasaannya, semoga Allah memberikan
pertolongan kepadanya di dalam mengurus segala sesuatunya yang menjadikan
kemaslahatan umat Islam.
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Waba’du, kami dua
orang sebagai delegasi Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama di Surabaya Jawa
Timur merasa memperoleh kehormatan yang besar diperkenankan menghadap Yang
Mulia guna menyampaikan beberapa harapan dan permohonan NU kehadapan Yang
Mulia beberapa hal sebagai berikut :
- Memohon
diberlakukan kemerdekaan bermadzhab di negeri Hijaz pada salah satu dari
madzhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas dasar
kemerdekaan bermadzhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara
imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula
masuknya kitab-kitab yang berdasarkan madzhab tersebut di bidang
tasawuf, aqidah maupun fiqih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan
Imam Ghazali, Imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudah terkenal
kebenarannya.
- Memohon
untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah yang terkenal sebab
tempat-tempat tersebut diwaqafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran
Siti Fathimah dan bangunan Khaezuran dan lain-lainnya berdasarkan firman
Allah “Hanyalah orang yang meramaikan Masjid Allah orang-orang yang
beriman kepada Allah” dan firman-Nya “Dan siapa yang lebih aniaya dari
pada orang yang menghalang-halangi orang lain untuk menyebut nama Allah
dalam masjidnya dan berusaha untuk merobohkannya.”
- Memohon
agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya
musim haji mengenai tarif/ketentuan biaya yang harus diserahkan oleh
jama’ah haji kepada syaikh dan muthawwif dari mulai Jeddah sampai
pulang lagi ke Jeddah. Dengan demikian orang yang akan menunaikan ibadah
haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup buat pulang-perginya dan
agar supaya mereka tidak dimintai lagi lebih dari ketentuan
pemerintah.
- Memohon
agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk
undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang
tersebut.
- Jam’iyyah
Nahdlatul ‘Ulama (NU) memohon balasan surat dari Yang
Mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar
menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Yang
Mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada kedua
delegasi tersebut.
Perkenankanlah
kiranya Yang Mulia menerima rasa terimakasih kami dan penghargaan,
penghormatan serta tulus ikhlas kami yang setinggi-tingginya.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Surabaya, 5
Syawal 1346 H (7 Mei 1928)
Khatib
Awwal
Wahab
Hasbullah
|
Musytasyar
Ahmad Ghanaim al-Mishri
|
|
Namun tidak ada
jawaban atas permintaan itu. Kemudian pada 27 Maret 1928, NU mengumumkan secara
resmi utusan untuk berangkat ke Mekkah, yaitu :
- KH. Abdul
Wahab Hasbullah (Surabaya).
- Syaikh Ahmad
Ghanaim al-Mishri (Mesir), sebagai Mustasyar NU.
Namun yang
berangkat dari Indonesia hanya KH. Abdul Wahab Hasbullah. Misi yang diemban
komite ini adalah menemui Raja Saudi (tanah Hijaz) Ibnu Sa’ud, untuk
menyampaikan pesan ulama pesantren di Indonesia, yang meminta agar raja tetap
memberikan kebebasan berlakunya hukum-hukum ibadah dalam madzhab empat di Tanah
Haram. Mereka sampai di Tanah Suci pada 27 April 1928, dan 10 Mei 1928 M/20
Dzuqaidah 1346 H mereka diterima Raja. Pada kesempatan itu, mereka meminta Raja
Ibnu Sa’ud untuk membuat hukum yang tetap di Hijaz.
Dalam
jawabannya melalui surat tertanggal 28 Dzulhijjah 1347 H/13 Juni 1928 M, nomor
2082, Raja mengatakan, perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban tiap
pemerintahan di negeri itu. Dan dia juga menyatakan akan memperbaiki perjalanan
haji, sejauh perbaikan itu tidak melanggar ketentuan Islam. Dia juga
sependapat, pada umumnya kaum Muslimin bebas dalam menjalankan praktik agama
dan keyakinan mereka, kecuali urusan yang diharamkan Allah, dan tiada suatu
dalil dari Kitab-Nya dan tiada Sunnah Rasulullah SAW, serta tidak ada dalam
madzhabnya orang dulu yang shaleh dan tidak dari sabda salah satu imam empat.
Tentang
keyakinannya, Raja Ibnu Sa’ud mengemukakan, yang diinginkan ialah apa yang
tertera dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Hanya itu kepercayaannya. Dia
menambahkan, hanya mengikuti orang-orang dulu yang shaleh, yang dimulai dari
para sahabat dan diakhiri imam yang empat.
Boleh jadi
respon dari penguasa baru Saudi Arabia itu tak memuaskan Komite Hijaz, atau
para ulama tradisional pada umumnya. Namun, sebuah langkah penting telah
dilakukan dalam rangka memperjuangkan keyakinan yang diikutinya. Dan
kenyataannya, Komite Hijaz yang kemudian menjadi NU telah berkembang, dan
mewarnai kehidupan politik, baik di era penjajahan Belanda, Jepang, zaman
kemerdekaan, sampai sekarang.
Pada saat
menjelang Muktamar ke-2 NU di Surabaya, KH. Ridlwan Abdullah (1301 – 1381
H/1884 – 1962 M) ditugasi oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah selaku ketua panitia
waktu itu untuk membuat lambang NU. Penunjukkan KH. Ridlwan dalam pembuatan
lambang NU ini mengingat beliau memang sudah dikenal pandai menggambar dan
melukis.
|
Adapun secara
singkat deskriptif makna dari gambar atau lambang NU adalah sebagai berikut :
- Tambang melambangkan agama (Berpegang teguhlah kamu sekalian
pada tali Allah dan jangan bercerai berai).
- Posisi tambang melingkari bumi melambangkan persaudaraan
kaum Muslimin seluruh dunia.
- Untaian tambang berjumlah 99 buah melambangkan Asma’ul
Husna.
- Bintang sembilan melambangkan jumlah Walisongo.
- Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan
Nabi Muhammad SAW.
- Empat bintang kecil di samping kiri dan kanan melambangkan Khulafaur
Rasyidin, dan empat bintang kecil di bagian bawah melambangkan
madzhab empat.
|
Sesudah Muktamar
IV di Semarang (1348 H/1929 M), H. Hasan Gipo digantikan KH. Noor (Sawah Pulo,
Surabaya) yang didampingi KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar HBNO
dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Khatib ‘Am. (Sumber : surat
permintaan pengakuan pengajuan pendirian NO pada 5 September 1929 oleh kuasa
Nahdlatoel Oelama yakni KH. Said bin Shalih). Lima bulan kemudian, tepatnya 6
Februari 1930 Pemerintah Hindia Belanda baru merespons permintaan tersebut dan
masuk dalam besluit (Surat Keputusan) Goebernoer-Djendral (GD) Nomor
IX.23.1930. dalam statuten itu juga berisi Anggaran Dasar NO yang terdiri 12
pasal yang ditulis dengan dwi bahasa; Belanda dan Indonesia. Yang mengesahkan
Badan Hukum NO atas nama GD Hindia-Nederland adalah GR. ERDBINK. Dokumen
penting ini sekarang tersimpan di Universitas Leiden, Belanda.
KH. Abdul Wahab
Hasbullah dalam rangkaian sejarah tersebut menjadi benang merah antara CCI,
CCC, Komite Hijaz dan NU. Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa ide besar
beliau aktif di berbagai organisasi tersebut adalah dalam rangka memperjuangkan
madzhab (tradisi bermadzhab) yang sudah menjadi bagian dari tradisi keilmuwan
para ulama. Konsistensi perjuangan beliau sangat nampak, dimana di saat CCI
perdebatan khilafiyah berusaha untuk mempertahankannya, meski diejek dan
diserang oleh mereka kaum modern. Demikian pula pada saat di CCC, usulan kepada
Raja Ibnu Sa’ud mengenai pemeliharaan tradisi bermadzhab sangat kuat
diperjuangkan. Meski pada akhirnya gagasan tersebut tidak laku di kalangan CCC,
maka melalui Komite Hijaz (NU) lah usulan tersebut bisa terwujud. Beberapa
tahun kemudian usulan tersebut mendapat jawaban yang jelas dari Raja Ibnu
Sa’ud. Itulah yang sesungguhnya diperjuangkan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah,
bukan untuk perjuangan politik, dukung mendukung raja yang berkuasa di Jazirah
Arab. Jika toh sepakat dengan khilafah (kongres dunia di Mesir), maka
itu dipandang sebagai upaya melanjutkan khilafah Turki yang selama ini
mempertahankan tradisi bermadzhab.
Peran KH.
Hasyim Asy’ari dalam pengembangan NU juga sangat penting. Untuk menegaskan
prisip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun
Asasi (Prinsip Dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad
Ahlussunnah wal Jama’ah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam
Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir
dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. Dalam biografi KH.
Hasyim Asy’ari yang ditulis Drs. Lathiful Khuluq MA menyebutkan, pada
kenyataannya KH. Hasyim Asy’ari bisa dipandang sebagai arsiteknya. Tokoh itu
yang menulis aturan-aturan dasar organisasi NU yang masih terus dipakai sebagai
dasar ideologi sampai kini.
KH. Hasyim
Asy'ari tidak saja berperan utama dalam mengeluarkan fatwa-fatwa hukum mengenai
berbagai masalah keagamaan yang diperdebatkan banyak ulama, tetapi juga
berperan dalam mempromosikan NU sebagai organisasi nasional.
Penjelasan sejarah ini menggambarkan kesan bahwa pendirian NU tak
ubahnya seperti mewadahi suatu barang yang sudah ada. NU hanyalah sebagai
penegasan formal dari mekanisme informal para ulama yang sepaham, serta
pemegang tradisi dan cita-cita yang sehaluan.
Gerakan-Gerakan
Ulama Pesantren Sebelum Didirikannya Nahdlatul ‘Ulama
Dalam hal ini
usaha-usaha ke-organisasian kalangan pesantren yang berpuncak pada pendirian Jam’iyyah
Nahdlatul ‘Ulama, antara lain:
- Tashwirul
Afkar (Potret
Pemikiran) atau dikenal juga dengan nama Nahdlatul Fikri
(Kebangkitan Pikiran), adalah wahana kaum pesantren pertama yang
terorganisir, gerakannya berupa kajian, diskusi, persemaian ide, sekolah,
kursus, penerbitan dan kegiatan-kegiatan keilmuan Islam. Didirikan di
Kawatan Surabaya tahun 1914 oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Mas
Manshur. Ketuanya KH. Ahmad Dahlan Surabaya. Karena beda pendapat dalam
masalah khilafiyah, duet kiai muda progressif (KH. Abdul Wahab
Hasbullah dan KH. Mas Manshur) itu pecah, dan akhirnya KH. Mas Manshur
memilih bergabung dengan Muhammadiyah yang telah lebih dulu berdiri.
- Nahdlatul
Wathan (Kebangkitan
Negeri), didirikan tahun 1916 di Surabaya, sebagai wadah pergerakan
sosial-politik kaum pesantren, usaha yang dilakukan masih terbatas pada
pendidikan yang bersifat nasionalis moderat. Ketuanya KH. Mas Alwi bin
Abdul Aziz.
- Nahdlatut
Tujjar (Kebangkitan
Saudagar), didirikan tahun 1917 di Cukir –Jombang, merupakan perkumpulan
ekonomi berbentuk koperasi, walaupun namanya kebangkitan pedagang, tetapi
fokus gerakannya di bidang pertanian dan perdagangan hasil tani saja.
- Syubbanul
Wathan (Pemuda
Tanah Air), sebuah organisasi kepemudaan berbasis pesantren, didirikan
tahun 1920 dan berpusat di Surabaya. Setelah berdirinya NU organisasi
pemuda ini kemudian berubah nama menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO).
Salah satu tokohnya yaitu KH. Muhammad Yusuf Hasyim (1347 – 1428 H/1929 –
2007 M). Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal
organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada
Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H
atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen)
pemuda NU. Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur
kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Machfudz
Siddiq, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Dachlan.
Tahun 1924,
kelompok diskusi Tashwirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan
mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratusy
Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, awalnya tak langsung
memberikan respons, tetapi setelah melihat perkembangan, dan setelah melakukan
shalat istikharah, akhirnya KH. Hasyim Asy'ari dengan isyarat
persetujuan dari gurunya, yaitu Syaikhuna Kholil Bangkalan (1235 – 1343 H/1820
– 1925 M), beliau memberikan restu dengan didirikannya NU pada tahun 1926.
Sayangnya, sebelum NU terbentuk, Syaikh Kholil sudah meninggal dunia terlebih
dahulu.
Peran
Nahdlatul ‘Ulama Masa Awal Didirikan
Selama 10 tahun
pertama, NU disibukkan urusan-urusan internal, termasuk memperluas pengaruhnya
dan menarik pemimpin-pemimpin pesantren untuk bergabung. Ketika itu KH. Hasyim
Asy'ari dan kiai lainnya seperti KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Bisri
Syansuri (1303 – 1400 H/1886 – 1980 M) membentuk sebuah tim untuk mengadakan
pendekatan kepada para pemimpin pesantren, dan mengajak partisipasi mereka.
Dalam
perjalanannya, NU memainkan peranan yang cukup besar bagi bangsa Indonesia.
Pada masa-masa awal setelah didirikan saja, NU sudah melakukan berbagai upaya
untuk memajukan masyarakat Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
mengembangkan perekonomian masyarakat dengan mendirikan koperasi pada tahun
1929 di Surabaya. Koperasi ini sangat berperan dalam penjualan barang dan
mengorganisis barter dalam masyarakat. Koperasi yang didirikan NU ini semakin
berkembang hingga akhirnya pada tahun 1937 jangkauannya semakin luas dan
dibentuklah Syirkah Mu’awanah.
NU juga mulai
memajukan bidang pendidikan dengan mendirikan banyak madrasah dan pesantren.
Metode pengajaran dan kurikulum yang digunakan sebagian besar merupakan
perpaduan dari pengetahuan agama dan pengetahuan umum. NU juga mendirikan
Lembaga Ma’arif pada tahun 1938 guna mengkoordinasi kerjasama dalam
kegiatan pendidikan.
Polemik yang
terjadi di antara kaum modernis dan kaum tradisional yang mengakibatkan
perpecahan umat Islam di Indonesia telah lama mengundang keprihatinan KH.
Hasyim Asy’ari. Pada tahun 1935 saat Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, beliau
mengungkapkan:
“...sampailah kepadaku suatu berita, bahwa di
antara kamu semuanya sampai kepada masa kini, berkobarlah api fitnah dan
pertentangan-pertentangan.
...Wahai ulama-ulama yang telah ta’ashshub
kepada setengah madzhab atau setengah qaul (pendapat) ! Tinggalkanlah ta’ashshubmu
dalam soal-soal furu’ (ranting-ranting) itu ! Yang ulama sendiri dalam hal
demikian mempunyai dua pendapat. Satu pendapat ialah bahwa setiap orang yang
berijtihad adalah benar ! Dan satu pendapat lagi : Yang benar hanyalah
satu, dan yang salah dapat pahala juga !
Tinggalkanlah ta’ashshub itu dan
lepaskanlah diri daripada hawa nafsu yang merusak itu. Dan belalah agama Islam,
berijtihadlah menolak orang-orang yang menghina Al-Qur’an dan
sifat-sifat Tuhan.
Berjuanglah menolak orang yang mendakwahi ilmu
yang sesat dan kepercayaan yang merusak. Dan berjihadlah menghadapi orang-orang
demikian adalah wajib ! Alangkah baiknya jika tenagamu engkau sediakan buat
itu.
Wahai seluruh insan !
Di hadapanmu sekarang berdirilah orang-orang
kafir yang mengingkari Tuhan. Mereka telah memenuhi segala pelosok negeri ini.
Siapakah di antara kamu yang bersedia tampil ke muka untuk berbahas dengan
mereka dan berusaha menuntun mereka kepada jalan yang benar ?
Wahai sekalian ulama !
Kejurusan inilah pergunakan ijtihadmu
dan dalam lapangan inilah kalau kamu hendak berta’ashshub !
Adapun ta’ashshub kamu pada
ranting-ranting agama, dan mendorongkan orang supaya memegang satu madzhab atau
satu qaul, tidaklah disukai Allah Ta’ala ! Dan tidaklah diridhai oleh
Rasulullah SAW. Apatah lagi jika yang mendorongmu berlaku demikian, hanyalah
semata-mata ta’ashshub, berebut-rebutan, dan berdengki-dengkian.
Sekiranya Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Ahmad, Ibnu Hajar, dan Ramli masih hidup, niscaya mereka akan
sangat menolak perbuatanmu ini.
...Bagaimana perasaanmu !
Kamu berkeras membicarakan furu’, yang
dipertikaikan oleh ulama, tetapi tidak engkau ingkari perbuatan haram yang
dilakukan orang, yang ijma’ sekalian ulama atas haramnya, sebagaimana
zina (pelacuran), riba (rente), minum-minuman keras dan lain-lain. Tidak ada
cemburumu melihat yang demikian itu. Kamu hanya cemburu pada Syafi’i dan Ibnu
Hajar. Sehingga yang demikian itu menyebabkan pecahnya persatuan kalimahmu dan
terputusnya hubungan kasih sayang di antara kamu, sehingga orang bodohlah yang
menguasai kamu, sehingga jatuhlah haibah kebesaranmu di hadapan orang
awam orang yang rendah budi, yang membicarakan cacat-cela kehormatanmu dengan
tidak patut. Sehingga binasalah orang-orang itu karena perkataan mereka
membicarakan kamu. Karena dagingmu telah bercampur racun, sebab kamu ulama. Dan
kamu telah rusak binasa karena berbuat dosa yang besar !”
Kepada ulama
kaum modernis, beliau mengimbau :
“Wahai ulama-ulama ! Kalau kamu lihat orang
berbuat suatu amalan berdasarkan qaul imam-imam yang boleh ditaqlidi
(dituruti), meskipun qaul itu hukumnya marjuh (tidak kuat alasannya),
maka jika kamu tidak setuju, janganlah kamu cerca mereka, namun beri
petunjuklah dengan halus ! Dan jika mereka tidak sudi mengikuti kamu, janganlah
mereka dimusuhi. Kalau kamu berbuat demikian, samalah kamu dengan orang yang
membangun sebuah istana, dengan menghancurkan lebih dahulu sebuah kota.”
Beliau
melanjutkan :
“Janganlah kamu jadikan semuanya itu menjadi
sebab buat bercerai-berai, berpecah-belah, bertengkar-tengkar, dan
bermusuh-musuhan karena sesungguhnya yang demikian itu adalah melanggar hukum
Tuhan dan dosa yang amat besar.
Itulah yang menyebabkan runtuh-leburnya
bangunan suatu bangsa, sehingga tertutuplah di hadapannya setiap pintu kepada
kebajikan. Itulah sebabnya maka dilarang Allah, hamba-Nya yang beriman dari
bertengkar-tengkaran...
Tuhan berfirman, ‘Dan janganlah kamu
bertengkar-tengkaran sehingga gagallah kamu dan hilanglah semangat kekuatanmu.’
...Belum jugakah tiba masanya kita insaf ?
Belum jugakah tiba masanya kita akan sadar dari kemabukan ini ? Dan bangun dari
kelalaian kita ? Belum jugakah kita mengerti bahwa kemenangan kita semua
tergantung kepada bantu-membantu dan persatuan yang padu di antara kita ? Atau
akan kita lanjutkan jugakah perpecahan ini, hina menghinakan, pecah memecah,
munafik, pepat di luar pancung di dalam, rasa benci memenuhi hati, rasa dengki
merusak kawan, dan sesat pusaka lama !
Padahal agama kita hanya satu belaka, Islam !
Madzhab kita hanya satu belaka, Syafi’i ! Daerah kita satu belaka, Jawa
(Indonesia –pen) ! Dan kita semuanya adalah Ahlussunnah wal Jama’ah
belaka.” (Maksudnya dalam persatuan umat Islam Indonesia jangan abaikan madzhab
mayoritas, yaitu Imam Syafi’i).
(KH. Hasyim Asy’ari dengan penerjemah Buya
Hamka, Al-Mawaa’izh Syaikh Hasyim Asy’ari, Panji Masyarakat 15 Agustus
1959, hlm. 5-6).
Kepedulian KH.
Hasyim Asy'ari yang mengajak umat Islam untuk bersatu, menarik hati kalangan
modernis seperti KH. Mas Manshur dari Muhammadiyah dan Wondoamiseno dari
Sarekat Islam yang diundang ke Muktamar NU. Mereka kemudian merealisasikan
ajakan KH. Hasyim Asy’ari itu untuk bekerja sama dengan kalangan tradisionalis,
yang kemudian membentuk badan federasi bagi organisasi-organisasi Islam untuk
mengkoordinasikan kegiatan, dan menyatukan mereka menghadapi ancaman dan
kepentingan bersama.
Organisasi itu
didirikan pada 18-21 September 1937, dengan nama MIAI (Majelis al-Islam A’la
Indonesia). KH. Hasyim Asy'ari menjadi Ketua Dewan. Tigabelas organisasi
tergabung dalam organisasi itu, dan semua bersatu menghadapi politik Belanda,
seperti menolak undang-undang perkawinan dan kewajiban militer bagi umat Islam.
Melalui MIAI – yang akhirnya (terpaksa) diakui oleh pemerintah Hindia Belanda –
itulah, perjuangan melindungi umat Islam, khususnya warga nahdliyyin dilakukan.
Peran
Nahdlatul ‘Ulama Pada Masa Jepang
Peran NU tidak
berhenti sampai di situ, sejak kedatangan Jepang, peran NU semakin
diperhitungkan. Jepang yang kala itu sedang membutuhkan basis massa untuk
membantu Jepang dalam Perang Pasifik, akhirnya Jepang melakukan mobilisasi
terhadap rakyat pedesaan di Indonesia. Sementara kaum ulama dan kiai diberikan
jabatan resmi agar mau membantu Jepang. Misalnya saja dengan menjadikan KH.
Hasyim Asy’ari sebagai ketua Shumubu (Kepala Kantor Urusan Agama).
Selain itu puluhan ribu anggota NU juga dilatih secara militer dalam PETA
(Pembela Tanah Air).
Pada 24 Oktober
1943, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dibentuk oleh Jepang sebagai
pengganti MIAI. Terbentuknya organisasi itu karena Jepang khawatir karakter
antikolonial MIAI akan berubah menjadi anti-Jepang. Masyumi dan MIAI memiliki
tujuan yang sama, yaitu mempersatukan umat Islam. Akhirnya dinamika politik
telah terjadi di masa itu, yang telah melibatkan NU dalam Masyumi. Sebagian
besar tokoh NU dijadikan pengurus, seperti KH. Hasyim Asy’ari yang diangkat
sebagai ketua pertama Masyumi, dan juga KH. Abdul Wahab Hasbullah yang diangkat
sebagai Penasehat Dewan Pelaksana.
Peran
dan Perjuangan Nahdlatul ‘Ulama Dalam Merebut Kemerdekaan
Indonesia
Selain motif
agama, NU lahir karena dorongan untuk Negara Indonesia merdeka. Para ulama
berusaha membangunkan semangat Nasionalisme melalui berbagai kegiatan keagamaan
dan pendidikan, yang maksud dan tujuannya untuk melepaskan belenggu penjajah
yang telah berhasil mencengkeram tanah air Indonesia selama hampir tiga
setengah abad.
Nahdlatul
Wathan tempat/wadah
para pemuda NU dijadikan markas penggemblengan pemuda-pemuda. Mereka dididik
untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air, setiap akan dimulai
kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dulu menyanyikan lagu
perjuangan dalam bahasa Arab, yang telah digubah oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah
dalam bentuk sya’ir seperti berikut ini :
Wahai bangsaku wahai bangsaku
Cinta tanah air bagian dari iman
Cintailah tanah air ini wahai bangsaku
Jangan kalian menjadi orang terjajah
Sungguh kesempurnaan itu harus
Dibuktikan dengan perbuatan
Dan bukanlah kesempurnaan itu hanya
Berupa ucapan
………………..
Wahai bangsaku yang berfikir jernih
Dan halus perasaan
Kobarkan semangat
Jangan jadi pembosan.
Selain itu dari
rahim NU lahir laskar-laskar perjuangan fisik, di kalangan pemuda muncul laskar
Hizbullah (Tentara Allah) dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang
pemuda kelahiran Barus -Sumatra Utara (1327 – 1382 H/1909 – 1963 M), dan di
kalangan orang tua ada laskar Sabilillah (Jalan menuju Allah) yang
dikomandoi KH. Masykur (1320 – 1412 H/1902 – 1992 M). Sementara para kiai sepuh
berada di barisan Mujahiddin yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab
Hasbullah.
Tokoh NU juga
terlibat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehingga terlibat
langsung dalam perumusan pernyataan kemerdekaan. Kebijakan Jepang tersebut mau
tak mau menarik sejumlah anggota NU ke ranah politik.
Ketika Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk tanggal 29
April 1945, KH. Wahid Hasyim duduk sebagai salah seorang anggotanya. Begitu
juga KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masykur, dan KH. Zainul Arifin.
KH. Abdul Wahid
Hasyim (1332 – 1372 H/1914 – 1953 M) bergabung sebagai anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), ia tercatat sebagai salah seorang
perumus dasar Negara dan turut serta sebagai penandatangan Piagam Jakarta
bersama delapan orang lainnya.
Di saat Belanda
datang lagi dengan membonceng tentara Sekutu sambil mengultimatum agar pejuang
Indonesia menyerah, NU mengeluarkan fatwa Jihad fi sabilillah yang
dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad Nahdlatul ‘Ulama itu mampu
membakar semangat perjuangan kaum Muslimin. Mereka tidak gentar menghadapi
kematian, karena perang tersebut dihukumi perang sabil (perang agama).
Resolusi jihad
ini juga terbukti dengan penentangan NU terhadap beberapa perjanjian dan
konsesi diplomatik yang diadakan pemerintah seperti Perjanjian Renville
(1946), Perjanjian Linggarjati (1948) dan juga Konferensi Meja Bundar atau KMB
(1949).
Seperti
diketahui, fatwa itu dikeluarkan Rais Akbar PB NU KH. Hasyim Asy’ari dalam pertemuan
ulama dan konsul-konsul NU se-Jawa serta Madura di Kantor PB Ansor Nahdlatoel
Oelama di Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, pada 22 Oktober 1945. Ketika itu KH.
Abdul Wahab Hasbullah menjadi Khatib ‘Am PB NU yang bertugas mengawal
implementasi dan pelaksanaan di lapangan.
Ada tiga poin
penting dalam Resolusi Jihad itu :
- Setiap
Muslim – tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang
merintangi kemerdekaan Indonesia.
- Pejuang
yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada.
- Warga
Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan
nasional, maka harus dihukum mati.
Jadi umat Islam
wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita
berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan
dibolehkannya Qashar Shalat). Di luar radius itu dianggap fardhu kifayah
(kewajiban kolektif, bukan fardhu ‘ain, kewajiban individu). Fatwa jihad
yang ditulis dengan huruf pegon itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio.
Fatwa itulah
yang memotivasi arek-arek Suroboyo untuk bertempur habis-habisan pada 10
November guna mengusir Belanda yang membonceng NICA (Sekutu). Saking heroiknya,
10 November kemudian dinyatakan sebagai Hari Pahlawan.
Peran
Nahdlatul ‘Ulama Dalam Politik Negara
Dalam
perkembangannya, setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 3 November 1945,
pemerintah mengeluarkan Maklumat No. X yang berisi anjuran tentang berdirinya
partai-partai politik. Atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang
pada masa penjajahan Jepang merupakan federasi dari organisasi-organisasi
Islam, mengadakan kongresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada
kongres tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi
dari Badan Federasi menjadi satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia
dengan Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama sebagai tulang punggungnya. Bahkan NU
adalah modal pokok bagi eksistensi Masyumi, telah dibuktikan oleh NU pada
Muktamar NU ke-16 di Purwokerto tahun 1946 yang memerintahkan semua warga NU
untuk beramai-ramai menjadi anggota Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam yang
tergabung dalam Ansor NU juga diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam
Gabungan Pemuda Islam Indonesia (GPII).
Bergabungnya NU
dalam Masyumi menjadi pengalaman berharga bagi NU. Ia mulai mengalami liku-liku
politik, sesuatu yang baru bagi NU. Menurut NU, politik dapat dijadikan media
untuk memperluas peran ulama.
Tokoh NU, KH.
Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ketua Umum Majelis Syuro (Dewan
Penasehat Keagamaan). Sementara tiga tokoh NU lainnya menduduki jabatan menteri
sebagai wakil Masyumi, yakni KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Masykur, dan KH.
Fathurrahman Kafrawi (1318 – 1389 H/1901 – 1969 M). Tokoh lainnya yang juga
berkiprah di pemerintahan adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai anggota
Dewan Pertimbangan Agung.
Majelis Syuro
ini memiliki peran yang sangat penting dalam tubuh Masyumi, antara lain yang
tercantum dalam Anggaran Rumah Tangga di bawah ini:
- Majelis Syuro
berhak mengusulkan hal-hal yang bersangkut paut dengan politik kepada
pimpinan partai.
- Dalam soal
politik yang bersangkut paut dengan masalah hukum agama, maka pimpinan
partai meminta fatwa dari Majelis Syuro.
- Keputusan
Majelis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat pimpinan
partai .
Jika muktamar/
dewan partai berpendapat lain daripada keputusan Majelis Syuro, maka
pimpinan partai dapat mengirimkan utusan untuk berunding dengan Majelis Syuro
dan hasil perundingan itu merupakan keputusan tertinggi.
Namun adanya
dualisme kepemimpinan dalam Masyumi, yakni Majelis Syuro dan Tanfidziyah
menjadi sumber kericuhan. Hal itu karena para anggota Dewan Legislatif merasa
tersingkir dari pembuatan keputusan. Karena itu, para pemimpin NU mulai
mempertanyakan peran mereka dalam Masyumi dan manfaat yang diperoleh darinya.
Pada Muktamar
NU ke-17 di Madiun, pada 25 Mei 1947, KH. Abdul Wahid Hasyim mendirikan Biro
Politik NU untuk bernegosiasi kepemimpinan Partai Masyumi dan untuk memperkuat
kekuatan tawar-menawar NU. Dua bulan setelah pembentukan biro itu, KH. Hasyim
Asy'ari meninggal dunia, sehingga NU kehilangan figur yang disegani, tidak
hanya kalangan tradisional, tetapi juga modernis, dan figur yang selalu
menyerukan persatuan dan kesatuan umat.
Pada Muktamar
Partai Masyumi ke-4 di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15-19 Desember
1949, telah diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Majelis Syuro yang semula menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi
Penasehat yang tidak mempunyai hak veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus
dilaksanakan.
Hubungan antara
Masyumi dengan NU berubah pada 1952, yang mana NU mengambil keputusan pada
Muktamar NU di Palembang, tanggal 28 April – 1 Mei 1952 untuk keluar dari
Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri.
Keputusan untuk
keluar dari Masyumi yang diambil oleh NU ini dibarengi dengan penyampaian
beberapa amanat kepada pengurus, yakni:
- Pelaksanaan
keputusan tersebut agar jangan sampai menimbulkan kegoncangan di kalangan
umat Islam,
- Pelaksanaan
keputusan tersebut dilakukan dengan perundingan terlebih dahulu dengan
Masyumi, dan
- Keputusan
ini dijalankan dalam gubungan yang lebih luas yang berkenan adanya
keinginana untuk membentuk dewan pimpinan umat Islam yang nilainya lebih
tinggi, dimana partai-partai dan organisasi-organisasi Islam baik yang
sudah maupun belum tergabung dalam Masyumi dapat berkumpul dan berjuang
bersama-sama.
Pasca
meninggalkan Masyumi dan menjadi sebuah partai politik, NU dihadapkan pada
kekurangan tenaga terampil. Untuk mengatasi hal ini, maka direktrutlah beberapa
tokoh yang dianggap mumpuni seperti H. Jamaluddin Malik, KH. Idham Chalid (1339
– 1431 H/1921 – 2010 M), dan beberapa tokoh lainnya.
Selain itu NU
juga mengambil langkah untuk membentuk sebuah fraksi tersendiri di parlemen.
Parlemen tersebut beranggotakan 8 orang anggota NU, yakni: KH. Abdul Wahab
Hasbullah, KH. M. Ilyas (1329 – 1390 H/1911 – 1970 M), M. Sholeh
Suryaningprojo, M. Ali Prataningkusumo, H.A.A. Achsien, KH. Idham Chalid,
H.A.S. Bachmid, KH. Zainul Arifin (yang kemudian digantikan oleh KH. Saifuddin
Zuhri).
Selanjutnya NU
memainkan peranannya dalam membentuk kabinet. Sebagai partai politik yang
terbilang baru, NU berusaha memperkuat posisi umat Islam di parlemen dan
kabinet.
Peran
dan Perjuangan Nahdlatul ‘Ulama Masa Orde Baru
Pada tahun
1973, partai-partai politik bergabung dalam dua wadah fusi. Partai Islam
disatukan dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan anggotanya
yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Wadah lainnya berisi PNI, IPKI (Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Parkindo, Partai Katolik, dan Partai Murba,
wadah kedua ini dinamakan Partai Demokrasi Indonesia.
Ketika berada
dalam PPP, NU mendapat kehormatan layaknya di Masyumi. Semangat persaudaraan
dalam tubuh PPP awalnya sangat kuat, namun pada hal itu tidak berlangsung lama,
sebab ketika adanya pengajuan RUU Perkawinan, KH. Bisri Syansuri sebagai wakil
NU menolak adanya RUU tersebut. Menurut Kiai Bisri, RUU tersebut berisi
pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum perkawinan dalam Islam.
KH. Bisri
Syansuri memiliki wibawa yang sangat besar dan sifatnya cenderung keras,
sehingga ketika terjadi pertikaian di tubuh PPP, ia dapat dengan segera
mengendalikan para pimpinan PPP. Sepeninggal KH. Bisri Syansuri, anggota-anggota
NU seringkali mengalami pertikaian dengan anggota dari partai lainnya.
Pada Muktamar
NU ke-26 di Semarang tanggal 6-11 Juni 1979, NU menyatakan akan kembali menjadi
Jam’iyyah seperti tahun 1926. Keputusan ini diambil NU tidak lain karena
menganggap bahwa pada saat itu NU sudah memiliki wadah dalam berpolitik yakni
PPP, sehingga NU dapat kembali menjadi organisasi keagamaan lagi. Selain itu
perjalanan politik NU yang seringkali mengalami kekecewaan membuat organisasi
ini semakin terdorong untuk kembali ke Khittah 1926. Meski memutuskan
untuk kembali menjadi organisasi keagamaan, tetapi anggota-anggota NU dapat
ikut serta dalam politik secara perseorangan.
Asas
Pancasila dan NKRI sebagai Bentuk Final bagi Bangsa Indonesia
Pada Muktamar
ke-27 di Situbondo (1984), NU membuat keputusan bahwa “Nahdlatul ‘Ulama
berasaskan Pancasila. Nahdlatul ‘Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyyah
Islamiyyah beraqidah Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti salah satu
dari empat madzhab yaitu: Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.”
Wallahu ‘alamu
bisshawab
Sumber Rujukan
: