Kamis, 17 November 2016

Qasidah Sayyidina Hassan bin Tsabit Al-Anshoriy RA, Menangisi Wafatnya Rasulullah ﷺ


 
Senin 12 Rabi’ul Awwal, selain mengingatkan kita pada hari lahirnya manusia mulia yang dimuliakan oleh Yang Maha Mulia, juga mengingatkan kita pada peristiwa wafatnya baginda Nabi besar Muhammad .

Beliau dikebumikan pada hari ke-3 setelah wafatnya (dikuburkan pada hari Kamis), riwayat lainnya pada hari Rabu. Karena menunggu para sahabat yang terus berdatangan, maka Imam Ibn Hajar di dalam Fathul Baari bisyarah Shahih Bukhari dan beberapa para muhaddits lainnya menukil riwayat yang tsiqah bahwa Rasul memang mewasiatkan untuk ditunda pemakaman beliau setelah banyaknya para sahabat yang menshalatkan beliau.

Maka disunnahkan apabila yang wafat para ulama atau para shalihin untuk tidak buru-buru menguburkannya, karena demikianlah yang diperbuat atas imam seluruh Nabi dan Rasul yakni Sayyidina Muhammad .

Berbeda dengan orang lain yang dirisaukan akan membuat jenazahnya rusak atau berubah. Maksudnya berubah menjadi kaku atau menjadi busuk atau lainnya maka sunnah untuk segera dikuburkan, tapi jika diketahui seorang shalihin dengan wajah yang cerah saat wafat, atau terlihat keanehan pada jenazah misalnya wangi atau lainnya, maka sunnah ditunda sampai beberapa waktu agar orang lain bisa menshalatkannya sebelum dimakamkan.

Dan hari senin itu dikatakan oleh Sayyidina Hasan bin Tsabit di dalam Sirah Ibn Hisyam, “Adakah hari yang menyedihkan sepanjang masa melebihi hari wafatnya Nabi Muhammad ”. Hari yang merenggut jiwa para sahabat, mereka yang selalu dihibur dan dibimbing oleh Sang Nabi.

Dikatakan oleh Sayyidina Hasan bin Tsabit di dalam syairnya, “laqod ghoyyabu hilman wa ‘ilman wa rohmatan, asyiyyatan allauwhu tsaroo laa yuwassadu.” mereka para sahabat Muhajirin dan Anshor kehilangan sang pembawa kasih sayang Illahi.

Hilman wa ‘ilman wa rahmatan” orang yang sangat lembut, orang yang sangat sopan, orang yang menjadi samudera ilmu.

Disatu sore itu ketika jasad beliau diturunkan ke dalam bumi, direbahkan tubuh seindah-indah tubuh, dibaringkan tanpa berbantalkan sesuatu kecuali tanah. Berkata Sayyidina Hasan bin Tsabit, “Para sahabat terlihat berdiri mematung setelah pemakaman Sang Nabi , mereka melihat pusara Sang Nabi dan satu-persatu meninggalkan pusara, hingga hujan rintik-rintik turun di atas kuburan Sang Nabi .

Berkata Sayyidina Hasan bin Tsabit, “Aku berdiri dengan berdiri yang lama sekali, airmataku terus mengalir dengan derasnya diatas gerimis yang turun, diatas pusara Sang Nabi. Malam pertama kami berpisah dengan Sang Nabi”.

Adapun syair lengkap qasidah Sayyidina Hasan bin Tsabit adalah sebagai berikut:

أطَالَتْ وُقُوفَاتَدْرِفُ الْعَيْنَ جُهْدَ هَا عَلَى طَلَلِ الْقَبْرِ الَّذِي فِيْهِ اَحْمَدُ
Lama kutegak dengan airmata deras mengalir menghadap gundukan tanah yang padanya Ahmad (Muhammad ).

لَقَدْ غَيَّبُواحُلْمًاوَعِلْمًا وَرَحْمَةً عَشِيَّةَ عَلَّوْهُ الْثَرَى لَا يُوَسَّدُ
Sungguh kami dan mereka telah kehilangan orang yang paling berkasih sayang dan lembut, samudera ilmu, dan kelembutan yang ramah, di petang ketika jasad beliau ditumpahkan tanah tanpa bantal.

وَرَاحُوابِحُزْنٍ لَيْسَ فِيْهِمْ نَبِيُّهُمْ وَقَدْ وَهَنَتْ مِنْهُمْ ظُهُورٌ وَأِعْضُدُ
Dan satu persatu mereka pergi dengan penuh kesedihan kehilangan Nabi yang selalu bersama mereka, yang membuat lemas pundak dan lutut mereka.

يُبَكّونَ مَنْ تَبْكِي السّمَوَاتُ يَوْمَهُ وَمَنْ قَدْ بَكَتْهُ الْأِرْضُ فَالنّاسُ اَكْمَدُ
Mereka terus menangis, yang jagad raya menangis di hari itu, dan makhluk mulia yang ditangisi bumi dan orang-orang dalam kebingungan.

وَهَلْ عَدَلَتْ يَوْمًارَزِيّةَ هَالِكٍ رَزِيّةَ يَوْمٍ مَاتَ فِيهِ مُحَمّدُ؟
Dan adakah hari musibah yang seimbang dengan hari musibah dan kesedihan hari wafat padanya Muhammad ?

فَبَكِّي رَسُولَ للهِ يَا عَيْنُ عَبْرَةً وَلَا اِّعْرِفَنَّكِ الدّهْرَ دَمْعُك يُذْمَدُ
Maka tangisilah Rasulullah wahai mata sebagai tanda bukti, agar jangan sampai zaman / masa tidak mengenalmu tentang tetesan airmatamu yang tetap membeku dengan hal ini.

وَمَا لَكِ لَا تَبْكِيْنَ ذَا النِّعْمَةِ الّتِي عَلَى النّاسِ مِنْهَا سَابِغٌ يُتَغَمَّدُ
Dan apa yang menyebabkanmu tetap menahan tangis atas wafatnya sang pembawa kenikmatan pada seluruh manusia menyempurnakan kenikmatan yang padanya ummat ini menikmati limpahannya.

فَجُودِي عَلَيْهِ بِالدّ مُوعِ وَأِعْوِلِي لِفَقْدِ الَّذِي لَا مِثلُهُ الدّهْرَ يُوجَدُ
Maka jangan kikir atas hal ini dengan airmata dan tersedu keras menangis, ketika kehilangan yang tiada akan di jumpai makhluk menyamainya sepanjang zaman.

وَمَا فَقَدَالْمَاُضونَ مِثْلَ مُحَمّدٍ وَلَا مِثْلُهُ حَتىَّ الْقِيَا مَةِ يُفْقَدُ
Tiada kehilangan selamanya, seperti kehilangan Muhammad yang tiada menyamai kehilangannya () hingga kiamat.

مَا بَالُ عَيْنِكَ لَا تَنَامُ كَأَ نّمَا كُحِلَتْ مَآ قِيهَابِكُحْلِ الْاِّ رْمَدِ
Bagaimana pendapatmu jika matamu tidak bisa tertidur, karena terus dipenuhi airmata yang basah dan mengering.

جَزَعًاعَلَى الْمَهْدِيّ اَصْبَحَ ثَاوِيًا يَاخَيْرَ مَنْ وَطِئَ اَلْحَصَى لَا تَبْعَدِ
Guncangan yang mengagetkan hati pada pusara wahai yang semulia mulia makhluk dalam pendaman tanah, (wahai Nabi ) janganlah menjauh.

وَجْهِي يَقِيكَ التُرْبَ لَهْفِي لَيْتَنِي غُيّبْتُ قَبْلَكَ فِي بَقِيْعِ الْغَرْقدِ
Wajahku menatapmu wahai tanah , alangkah beruntungnya jika aku mati dan terpendam sebelummu (wahai Rasul ) dan sudah terkubur di pekuburan Baqi’

بِاَّبِي وَاُمِي مَنْ شَحِدْتُ وَفَاتَهُ فِي يَوْمِ الَا ثُنَيْنِ النَّبِيّ
Demi ayahku dan ibuku, siapa yang menyaksikan sepertiku, wafat beliau di hari senin nabi pembawa hidayah.

فَظلِلْتُ بَعْدَ وَفَاتِهِ مُتَبَلِّدًا مُتَلَدِّدًا يَا لَيْتَنِي لَمْ اٌولَدِ
Maka kulewati kebingungan dalam kehidupan dalam kehidupanku setelah wafat beliau, kegundahan, wahai alangkah indahnya jika aku tidak pernah dilahirkan.

أِاٌقِيمُ بَعْدَكَ بِالْمَدِينَةِ بَيْنَهُمْ يَالَيْتَنِي صُبِّحْتُ سَمّ الْاَّ سْوَدِ
Apakah aku mampu tinggal di Madinah setelahmu () di antara mereka, alangkah indahnya jika diperbolehkan ku teguk racun yang paling mematikan

وَاللهِ اِّسْمَعُ مَا بَقِيتُ بِهَالِكٍ أِلَّا بَكَيْتُ عَلَى النَّبِي مُحَمَّدِ
Demi Allah (jika kelak) aku mendengar musibah selainnya, kecuali tetap aku akan menangisi Nabi Muhammad .

يَاوَيْحَ أنْصَارِ النَّبِيّ وَرَهْطِهِ بَعْدَ الْمُغَيّبِ فِي سَوَاءِ الْمَلْحَدِ
Wahai kesusahanlah menimpa Anshor Nabi dan kelompoknya (Muhajirin) setelah diturunkan dan hilangnya tidak tampak lagi tubuhmu (wahai Nabi ) di tanah yang terhampar.

ضَاقتْ بِالْاِّ نْصَارِ الْبلَادُ فَأِصْبَحُواسُو­دَاوُجُوهُهُمْ كَلَوْنِ الْاٍ ثْمِدِ
Sempitlah bagi Anshor tempat tinggalnya, mereka berubah wajahnya menjadi suram dan kelam bagai warna penghitam mata.

وَاللهُ أِكْرَمَنَابِهِ وَهَدَى بِهِ أنْصَارَهُ فِي كُلِّ سَاعَةِ مَشْهَدِ
Maka semoga Allah memuliakan kita dengan beliau dan melimpahkan hidayah kepada semua pembela beliau di setiap waktu dan tempat.

صَلّى الْاٍ لَهُ وَمَنْ يَحُفّ بِعَرْ شِهِ وَالطّيّبُونَ عَلَى المُباَرَكِ أحْمَدِ
Shalawat Tuhanku dan yang mengelilingi Arsy-Nya (سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى), dan limpahan shalawat dari hamba-hamba yang penuh kebaikan berlimpah pada Ahmad (Muhammad ) yang dilimpahi keberkahan.

Wallahu alam bishshawaab.

Disarikan oleh Ahmad Ulul Azmi melalui kalam Habibana Munzir bin Fuad al-Musawa pada Jalsatul Itsnain Senin, 9 Maret 2009.

Sumber:  Kalam Ulama

Rabu, 02 November 2016

Hikmah Dibalik Anjuran Mencintai Ulama


Sayyidina Abubakar radhiallahu anhu selalu mengiringi Rasulullah ﷺ berjalan pulang bersama setelah menunaikan shalat Isya berjama'ah, dan mereka berpisah ketika Nabi masuk rumahnya. Dan terkadang berpisah sejenak sangatlah terasa berat bagi Abubakar, beliau duduk di depan pintu rumah Nabi hingga fajar tiba. Rasulullah keluar dari rumah untuk shalat Subuh dan Abubakar berangkat bersama orang terkasihnya lagi, Nabi bertanya, "Kenapa sampai demikian duhai Abubakar?" Dan Abubakar menjawab,

قرة عينى بك يا رسول الله

"Qurratu 'ayni bika ya Rasulullah" (Engkau adalah segala penghias dan pengobat rindu bagi mataku, wahai Rasulullah).

Bagi kita yang tak pernah tahu bagaimana rupa Rasulullah ﷺ cukuplah berkumpul dan menatap para auliya atau ulama. Imam Hasan Al-Bashri berkata:

سأل رجل الحسن البصري فقال يا إمام دلني على عمل يقربني الى الله ويدخلني الجنه . قال احب احد أولياءه عسى الله ان يتطلع إلى قلبه فيجد اسمك مكتوب فيه فيدخلك معه الجنه

Seseorang bertanya kepada Imam Hasan Al-Bashri, "Wahai Imam Hasan katakan amalan apa yang bisa membuat aku dekat dengan Allah dan menyelamatkan diriku di tempat terbaik di Yaumil Akhir (jannah)?", dan Imam Hasan menjawab "Cintailah para auliya atau ulama (orang yang dekat dengan Allah) dan berharap ketika Allah menatap hati para kekasihnya itu dan di sana tertulis namamu, dan itu akan membuat Allah membiarkan engkau bersama mereka di tempat terbaik-Nya."
Insyaa Allah, aamiin.

Mencintai Ulama dan Anjuran Untuk Memuliakannya

Kuncup cinta tak boleh layu. Deburan asmara mesti menggebu. Rasa cinta adalah fitrah. Cinta ulama mengais berkah. Penting bagi kita semua untuk menggali pembahasan tentang mencintai ulama dan memuliakannya. Hal ini agar kita lebih mampu mendekatkan diri pada Sang Maha Kuasa melalui jalan ilmu. Jalannya orang-orang yang diridhai oleh Allah SWT.

Siapa Ulama?

Ulama adalah orang-orang yang berjuang di jalan Agama melalui ilmu. Mereka adalah orang-orang yang mewarisi Nabi dalam menjaga dan mensyiarkan ilmu agama. Mensyiarkan pengetahuan pada umat agar tetap berpegang pada kebenaran di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ulama berperan mendidik dan mengajarkan ilmu-ilmu kepada umat agar mereka berilmu dalam beramal. Sebab keimanan, ucapan, dan perbuatan apabila dilakukan tanpa disertai dengan ilmu maka semuanya malah bisa menjadi pedang yang menghunus, baik terhadap orang lain maupun diri sendiri. Pemahaman dalam urusan agama harus menjadi pendalaman yang mendarah daging. Apalagi ketika kita dihadapkan pada berbagai kewajiban yang menuntut kita untuk mengetahui ilmunya.

Mengapa Harus Mencintai dan Memuliakan Ulama?

Allah SWT berfirman:

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِماً بِالْقِسْطِ

“Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. (Juga menyatakan yang demikian itu) para malaikat dan orang-orang yang berilmu.” (QS.  Ali-Imran: 18).

Dalam ayat di atas, Allah SWT memulai dengan menyebut Nama-Nya yang Agung. Setelah itu dilanjutkan dengan menyebut malaikat lantas kemudian pada para ahli ilmu. Hal ini menunjukan kemuliaan dan keutamaan para ahli ilmu di sisi Allah SWT. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mencintai para ulama sebagai bagian dari ahli ilmu.

Rasulullah ﷺ bersabda:

وقال صلى الله عليه وسلم: أكرموا العلماء فإنهم عند الله كرماء مكرمون

“Hendaknya kamu semua memuliakan ulama, karena mereka itu orang-orang yang mulia menurut Allah dan dimuliakan.” (Kitab Lubabul Hadits)

وقال صلى الله عليه وسلم: فَضْلُ العَالِمِ عَلىَ العَابِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ عَلىَ سَائِرِ الكَوَاكِبِ

Nabi ﷺ bersabda: “Keutamaan seorang alim atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan di malam purnama atas seluruh bintang-bintang.” (Kitab Lubabul Hadits)

فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أُمَّتِي :وفي رواية للحارث بن أبي أسامة عن أبي سعيد الخدري عنه صلى الله عليه وسلم

Dalam satu riwayat Al-Harits bin Abu Usanah dari Sa’id Al-Khudri ra. dari Nabi ﷺ bersabda: “Keutamaan seorang alim atas ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas umatku.” (Kitab Tanqihul Qaul)

وقال صلى الله عليه وسلم: من نظر إلى وجه العالم نظرة ففرح بها خلق الله تعالى من تلك النظرة ملكا يستغفر له إلى يوم القيامة

Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa memandang wajah orang alim dengan satu pandangan lalu ia merasa senang dengannya, maka Allah Ta’ala menciptakan malaikat dari pandangan itu dan memohonkan ampun kepadanya sampai hari Kiamat.” (Kitab Lubabul Hadits)

وقال النبي صلى الله عليه وسلم: من أكرم عالما فقد أكرمني، ومن أكرمني فقد أكرم الله، ومن أكرم الله فمأواه الجنة

Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa memuliakan orang alim maka ia memuliakan aku, barangsiapa memuliakan aku maka ia memuliakan Allah, dan barangsiapa memuliakan Allah maka tempat kembalinya adalah surga.” (Kitab Lubabul Hadits)

رواه الخطيب البغدادي عن جابر  .أكْرِمُوا العُلَمَاءَ فإنَّهُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، فَمَنْ أكرَمَهُمْ فَقَدْ أَكْرَمَ الله وَرَسُولَهُ  :وقال صلى الله عليه وسلم

Nabi ﷺ bersabda: “Hendaknya kamu semua memuliakan para ulama, karena mereka itu adalah pewaris para Nabi, maka barangsiapa memuliakan mereka berarti memuliakan Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al-Khatib Al-Baghdadi dari Jabir ra, Kitab Tanqihul Qaul)

وقال النبي صلى الله عليه وسلم: نَوْمُ العَالِمِ أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ الجَاهِلِ

Nabi ﷺ bersabda: “Tidurnya orang alim itu lebih utama daripada ibadah orang bodoh.” (Kitab Lubabul Hadits)

وقال النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ زَارَ عَالِمًا فَكَأَنَمَّا زَارَنِي، وَمَنْ صَافَحَ عَالِمًا فَكَأَنَّما صَافَحَنِي، وَمَنْ جَالَسَ عَالِمًا فَكَأَنَّما جَالَسَنِي في الدُّنْيَا، وَمَنْ جَالَسَنِي في الدُّنْيَا أَجْلَسْتُهُ مَعِيْ يَوْمَ القِيَامَةِ

Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa mengunjungi orang alim maka ia seperti mengunjungi aku, barangsiapa berjabat tangan kepada orang alim ia seperti berjabat tangan denganku, barangsiapa duduk bersama orang alim maka ia seperti duduk denganku di dunia, dan barangsiapa yang duduk bersamaku di dunia maka aku mendudukkanya pada hari Kiamat bersamaku.” (Kitab Lubabul Hadits)

وعن أنس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: مَنْ زَارَ عَالِما فَقَدْ زَارَنِي، وَمَنْ زَارَنِي وَجَبَتْ له شَفَاعَتي، وكانَ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ أَجْرُ شَهِيدٍ


Dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa mengunjungi orang alim berarti ia mengunjungi aku, barangsiapa mengunjungi aku maka ia wajib memperoleh syafa’atku, dan setiap langkah memperoleh pahala orang mati syahid.” (Kitab Tanqihul Qaul)

وعن أبي هريرة قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: مَنْ زَارَ عَالِما ضَمِنْتُ لَهُ عَلى الله الجَنَّةَ

Dari Abu Harairah ra, saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa mengunjungi orang alim, maka aku menjamin kepadanya dimasukkan surga oleh Allah”. (Kitab Tanqihul Qaul)

فقيه واحد متورع أشد على الشيطان من ألف عابد مجتهد جاهل ورع :وقال صلى الله عليه و

Nabi ﷺ bersabda: “Seorang alim fiqih yang perwira (wara’) adalah lebih berat bagi syaitan daripada seribu orang ahli ibadah yang tekun yang bodoh lagi perwira.” (Kitab Tanqihul Qaul)

Sungguh hina apabila kita menemukan orang-orang yang membenci ulama. Hal ini menyedihkan karena merupakan pelecehan terhadap agama. Sebab, agama senantiasa diperjuangkan oleh ilmu-ilmu yang disyiarkan oleh ulama. Lantas apabila ada orang yang menghinakan ulama itu berarti ia sungguh-sungguh telah melecehkan agama. Bukan hanya itu, orang yang melecehkan ulama seolah sedang menentang Nabi ﷺ. Sebab Nabi ﷺ jelas-jelas memerintahkan kita selaku umatnya agar memuliakan ulama, bukan malah menghinakannya. Naudzubillah. Semoga kita dijadikan orang-orang yang selalu dekat dengan ulama. Mencintai dan memuliakannya dengan penuh keikhlasan. Serta dijadikan orang yang senantiasa tidak bosan untuk mengambil ilmu dari mereka. Agar kita menjadi orang-orang yang diangkat derajatnya dan didekatkan dengan Allah SWT.

Mari kita mencintai para ulama, sebab para ulama adalah warasatul anbiya. Hujjatul Islam Imam Ghazali ra bukanlah dari keturunan ulama, tetapi orang tuanya yang sangat ta'dzim, mahabba, wa takrimah kepada ulama-ulama dan berdo'a kepada Allah semoga anaknya menjadi ulama, dan alhamdulillah anak-anaknya menjadi ulama yang terkenal.

Semoga kelak keturunan kita menjadi ulama yang istiqomah, bertaqwa, warai, tawadhu, roja, khauf, mahabba kepada Allah. Aamiin.

Ulama Pewaris Nabi

Rasulullah ﷺ bersabda:

إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi, Abu Dawud)

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّو

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)

Periwayat Terbanyak

Sahabat Rasulullah yang paling banyak meriwayatkan hadits ialah:
Abu Hurairah 5374 hadits, Ibnu Umar 2630 hadits, Anas bin Malik 2286 hadits, Aisyah 2210 hadits, Ibnu ‘Abbas 1660 hadits, Jabir bin ‘Abdullah 1540 hadits, Abu Sa’id Al-Khudri 1170 hadist, Ibnu Mas’ud 848 hadits, Ibnu ‘Amr bin Ash 700 hadits, Abu Dzarr Al- Ghifari 281 hadits, Abu Darda’ 179 hadits (Talqih Fahum Ahli Al-Atsar karya Ibn Jauzi)

Nabi ﷺ bersabda:

 خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat) kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya (tabiu’t tabi’in).” (Hadits Bukhari; Muslim)

Imam Malik rahimahullah telah berkata:

 كُلُّ خَيْرٍ فِي إتِباَعِ مَنْ سَلَف وَ كُلُّ شَرٍّ فِي إبْتِداَعِ مَنْ خَلَفِ

“Setiap kebaikan adalah apa-apa yang mengikuti para pendahulu (salaf), dan setiap kejelekan adalah apa-apa yang diada-adakan orang kemudian (khalaf)” dan “Tidak akan baik akhir dari umat ini kecuali kembali berdasarkan perbaikan yang dilakukan oleh generasi pertama."

Rasulullah ﷺ bersabda: “Akan senantiasa ada di antara umatku sekelompok orang yang tampil membela kebenaran, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka sehingga datang (hari Kiamat) ketetapan Allah, sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian.” (Hadits Muslim)

Permasalahannya umat Islam banyak pula yang merasa lebih pandai dan mengabaikan nasehat para ulama alias meninggalkan para ulama.

Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar Al‐Bantani rahimahullah di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi Bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits tentang larangan meninggalkan para ulama.

Rasulullah ﷺ bersabda:

سَيَأْتِيْ زَمَانٌ عَلَى اُمَّتِيْ يَفِرُّوْنَ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَالْفُقَهَاءِ فَيَبْتَلِيْهِمُ اللهُ تَعَالَى بِثَلاَثِ بَلِيَّاتٍ: اُوْلاَهَا يَرْفَعُ بَرَكَةَ مِنْ كَسْبِهِمْ وَالثَّانِيَةُ يُسَلِّطُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا ظَالِمًا وَالثَّالِثَةُ يَخْرُجُ مِنَ الدُّنْيَا بِغَيْرِ اِيْمَانٍ

“Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama dan fuqaha, maka Allah Ta'ala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, yaitu:
1. Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka,
2. Allah menjadikan penguasa yang dzalim untuk mereka dan
3. Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman."

Dekat dengan Ulama dan Patuh terhadap Hukama

عليكم بمجالسة العلماء واستماع كلام الحكماء فإنّ الله تعالى يحي القلب الميت بنور الحكمة كما يحي الأرض الميتة بماء المطر

“Hendaklah kalian berkumpul dengan para ulama’ dan mendengarkan perkataan hukama, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan bumi yang tandus dengan air hujan.”

Hikmah adalah suatu ilmu yang bermanfaat, sedangkan hukama adalah para ahli hikmah. Berdasarkan hadits ini, hukama adalah ahli hikmah yang mengetahui Dzat Allah, senantiasa berada dalam kebenaran, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Adapun ulama adalah orang alim (shaleh) yang mengamalkan ilmunya.

Ath-Thabrani juga telah meriwayatkan dari Abu Hanifah sebagai berikut:

جالسواالكبراء وسائلواالعلماء وخالطواالحكماء

“Hendaklah kalian berkumpul (bergaul) dengan para kubara, dan bertanyalah kepada para ulama serta dekatlah kalian dengan para hukama.”

Dalam riwayat yang lain:

جالس العلماء وصاحب الحكماء وخالط الكبراء

“Hendaklah kamu berkumpul dengan para ulama, bersahabat dengan para hukama dan dekat dengan para kubara.”

Mengenai bertanya kepada para ulama, hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)

Dan mengenai berkumpul bersama para ulama atau hukama, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28)

Ulama dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu:
a. Ulama, yaitu orang yang alim (pengetahuannya luas) tentang hukum-hukum Allah dan mereka itu berhak memberikan petunjuk (nasihat).
b. Hukama adalah orang-orang yang mengetahui Dzat Allah SWT. Dekat dengan mereka dapat membuat watak menjadi terdidik, karena dari hati mereka bersinar cahaya ma'rifat (mengenali Dzat Allah lebih dekat lagi dan rahasia-rahasia yang lain) dan dari jiwa mereka terpantul sinar keagungan Ilahi.
c. Kubara, yaitu orang-orang yang dianugerahi ma'rifat terhadap hukum-hukum Allah dan terhadap Dzat Allah.

Berkumpul dengan orang yang alim (mengetahui tentang Allah) dapat mendidik tingkah laku menjadi lebih baik. Hal ini tidak lain karena pengaruh kebiasaan-kebiasaan mereka yang tentunya lebih baik daripada lisan. Jadi, kebiasaan seseorang yang dapat bermanfaat bagimu, tentu akan bermanfaat pula ucapannya. Begitu juga sebaliknya.

As-Sahwardi pernah meninjau ke sebagian masjid Al-Khaif di Mina seraya memandangi wajah orang-orang yang berada di dalamnya. Lalu beliau ditanya oleh seseorang (yang berada di sana), “Mengapa tuan memandang wajah-wajah orang itu?” Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan beberapa orang yang apabila memandang kepada orang lain maka orang yang dipandangnya itu akan merasa damai (bahagia) dan saya pun sedang mencari orang yang seperti itu.”

Hal ini sebagaimana Rasulullah ﷺ telah bersabda:

سيأتي زمان على أمتي يفرّون من العلماء والفقهاء فيبتليهم الله بثلاث بليّات ألاها يرفع الله البركة من كسبهم والثانية يسلّط الله تعالى صلطانا ظالما والثالثة يخرجون من الدنيا بغير إيمان

“Akan datang suatu masa pada umatku, mereka lari (jauh) dari ulama dan fuqaha (orang-orang yang paham mengenai agama), maka Allah akan menurunkan tiga macam adzab kepada mereka;
Pertama, Allah mencabut keberkahan dari usaha mereka.
Kedua, Allah memberikan kekuasaan kepada pemimpin yang kejam (di dunia).
Ketiga, mereka keluar dari dunia ini (mati) tanpa membawa iman.”

(Diterjemahkan dari kitab Nasha-ihul Ibad karangan Syaikh Nawawi Al-Bantani dengan sedikit tambahan)

Wallahu 'alam bishshawab

Sumber dari: Ngaji.web.id