Kamis, 17 November 2016

Qasidah Sayyidina Hassan bin Tsabit Al-Anshoriy RA, Menangisi Wafatnya Rasulullah ﷺ


 
Senin 12 Rabi’ul Awwal, selain mengingatkan kita pada hari lahirnya manusia mulia yang dimuliakan oleh Yang Maha Mulia, juga mengingatkan kita pada peristiwa wafatnya baginda Nabi besar Muhammad .

Beliau dikebumikan pada hari ke-3 setelah wafatnya (dikuburkan pada hari Kamis), riwayat lainnya pada hari Rabu. Karena menunggu para sahabat yang terus berdatangan, maka Imam Ibn Hajar di dalam Fathul Baari bisyarah Shahih Bukhari dan beberapa para muhaddits lainnya menukil riwayat yang tsiqah bahwa Rasul memang mewasiatkan untuk ditunda pemakaman beliau setelah banyaknya para sahabat yang menshalatkan beliau.

Maka disunnahkan apabila yang wafat para ulama atau para shalihin untuk tidak buru-buru menguburkannya, karena demikianlah yang diperbuat atas imam seluruh Nabi dan Rasul yakni Sayyidina Muhammad .

Berbeda dengan orang lain yang dirisaukan akan membuat jenazahnya rusak atau berubah. Maksudnya berubah menjadi kaku atau menjadi busuk atau lainnya maka sunnah untuk segera dikuburkan, tapi jika diketahui seorang shalihin dengan wajah yang cerah saat wafat, atau terlihat keanehan pada jenazah misalnya wangi atau lainnya, maka sunnah ditunda sampai beberapa waktu agar orang lain bisa menshalatkannya sebelum dimakamkan.

Dan hari senin itu dikatakan oleh Sayyidina Hasan bin Tsabit di dalam Sirah Ibn Hisyam, “Adakah hari yang menyedihkan sepanjang masa melebihi hari wafatnya Nabi Muhammad ”. Hari yang merenggut jiwa para sahabat, mereka yang selalu dihibur dan dibimbing oleh Sang Nabi.

Dikatakan oleh Sayyidina Hasan bin Tsabit di dalam syairnya, “laqod ghoyyabu hilman wa ‘ilman wa rohmatan, asyiyyatan allauwhu tsaroo laa yuwassadu.” mereka para sahabat Muhajirin dan Anshor kehilangan sang pembawa kasih sayang Illahi.

Hilman wa ‘ilman wa rahmatan” orang yang sangat lembut, orang yang sangat sopan, orang yang menjadi samudera ilmu.

Disatu sore itu ketika jasad beliau diturunkan ke dalam bumi, direbahkan tubuh seindah-indah tubuh, dibaringkan tanpa berbantalkan sesuatu kecuali tanah. Berkata Sayyidina Hasan bin Tsabit, “Para sahabat terlihat berdiri mematung setelah pemakaman Sang Nabi , mereka melihat pusara Sang Nabi dan satu-persatu meninggalkan pusara, hingga hujan rintik-rintik turun di atas kuburan Sang Nabi .

Berkata Sayyidina Hasan bin Tsabit, “Aku berdiri dengan berdiri yang lama sekali, airmataku terus mengalir dengan derasnya diatas gerimis yang turun, diatas pusara Sang Nabi. Malam pertama kami berpisah dengan Sang Nabi”.

Adapun syair lengkap qasidah Sayyidina Hasan bin Tsabit adalah sebagai berikut:

أطَالَتْ وُقُوفَاتَدْرِفُ الْعَيْنَ جُهْدَ هَا عَلَى طَلَلِ الْقَبْرِ الَّذِي فِيْهِ اَحْمَدُ
Lama kutegak dengan airmata deras mengalir menghadap gundukan tanah yang padanya Ahmad (Muhammad ).

لَقَدْ غَيَّبُواحُلْمًاوَعِلْمًا وَرَحْمَةً عَشِيَّةَ عَلَّوْهُ الْثَرَى لَا يُوَسَّدُ
Sungguh kami dan mereka telah kehilangan orang yang paling berkasih sayang dan lembut, samudera ilmu, dan kelembutan yang ramah, di petang ketika jasad beliau ditumpahkan tanah tanpa bantal.

وَرَاحُوابِحُزْنٍ لَيْسَ فِيْهِمْ نَبِيُّهُمْ وَقَدْ وَهَنَتْ مِنْهُمْ ظُهُورٌ وَأِعْضُدُ
Dan satu persatu mereka pergi dengan penuh kesedihan kehilangan Nabi yang selalu bersama mereka, yang membuat lemas pundak dan lutut mereka.

يُبَكّونَ مَنْ تَبْكِي السّمَوَاتُ يَوْمَهُ وَمَنْ قَدْ بَكَتْهُ الْأِرْضُ فَالنّاسُ اَكْمَدُ
Mereka terus menangis, yang jagad raya menangis di hari itu, dan makhluk mulia yang ditangisi bumi dan orang-orang dalam kebingungan.

وَهَلْ عَدَلَتْ يَوْمًارَزِيّةَ هَالِكٍ رَزِيّةَ يَوْمٍ مَاتَ فِيهِ مُحَمّدُ؟
Dan adakah hari musibah yang seimbang dengan hari musibah dan kesedihan hari wafat padanya Muhammad ?

فَبَكِّي رَسُولَ للهِ يَا عَيْنُ عَبْرَةً وَلَا اِّعْرِفَنَّكِ الدّهْرَ دَمْعُك يُذْمَدُ
Maka tangisilah Rasulullah wahai mata sebagai tanda bukti, agar jangan sampai zaman / masa tidak mengenalmu tentang tetesan airmatamu yang tetap membeku dengan hal ini.

وَمَا لَكِ لَا تَبْكِيْنَ ذَا النِّعْمَةِ الّتِي عَلَى النّاسِ مِنْهَا سَابِغٌ يُتَغَمَّدُ
Dan apa yang menyebabkanmu tetap menahan tangis atas wafatnya sang pembawa kenikmatan pada seluruh manusia menyempurnakan kenikmatan yang padanya ummat ini menikmati limpahannya.

فَجُودِي عَلَيْهِ بِالدّ مُوعِ وَأِعْوِلِي لِفَقْدِ الَّذِي لَا مِثلُهُ الدّهْرَ يُوجَدُ
Maka jangan kikir atas hal ini dengan airmata dan tersedu keras menangis, ketika kehilangan yang tiada akan di jumpai makhluk menyamainya sepanjang zaman.

وَمَا فَقَدَالْمَاُضونَ مِثْلَ مُحَمّدٍ وَلَا مِثْلُهُ حَتىَّ الْقِيَا مَةِ يُفْقَدُ
Tiada kehilangan selamanya, seperti kehilangan Muhammad yang tiada menyamai kehilangannya () hingga kiamat.

مَا بَالُ عَيْنِكَ لَا تَنَامُ كَأَ نّمَا كُحِلَتْ مَآ قِيهَابِكُحْلِ الْاِّ رْمَدِ
Bagaimana pendapatmu jika matamu tidak bisa tertidur, karena terus dipenuhi airmata yang basah dan mengering.

جَزَعًاعَلَى الْمَهْدِيّ اَصْبَحَ ثَاوِيًا يَاخَيْرَ مَنْ وَطِئَ اَلْحَصَى لَا تَبْعَدِ
Guncangan yang mengagetkan hati pada pusara wahai yang semulia mulia makhluk dalam pendaman tanah, (wahai Nabi ) janganlah menjauh.

وَجْهِي يَقِيكَ التُرْبَ لَهْفِي لَيْتَنِي غُيّبْتُ قَبْلَكَ فِي بَقِيْعِ الْغَرْقدِ
Wajahku menatapmu wahai tanah , alangkah beruntungnya jika aku mati dan terpendam sebelummu (wahai Rasul ) dan sudah terkubur di pekuburan Baqi’

بِاَّبِي وَاُمِي مَنْ شَحِدْتُ وَفَاتَهُ فِي يَوْمِ الَا ثُنَيْنِ النَّبِيّ
Demi ayahku dan ibuku, siapa yang menyaksikan sepertiku, wafat beliau di hari senin nabi pembawa hidayah.

فَظلِلْتُ بَعْدَ وَفَاتِهِ مُتَبَلِّدًا مُتَلَدِّدًا يَا لَيْتَنِي لَمْ اٌولَدِ
Maka kulewati kebingungan dalam kehidupan dalam kehidupanku setelah wafat beliau, kegundahan, wahai alangkah indahnya jika aku tidak pernah dilahirkan.

أِاٌقِيمُ بَعْدَكَ بِالْمَدِينَةِ بَيْنَهُمْ يَالَيْتَنِي صُبِّحْتُ سَمّ الْاَّ سْوَدِ
Apakah aku mampu tinggal di Madinah setelahmu () di antara mereka, alangkah indahnya jika diperbolehkan ku teguk racun yang paling mematikan

وَاللهِ اِّسْمَعُ مَا بَقِيتُ بِهَالِكٍ أِلَّا بَكَيْتُ عَلَى النَّبِي مُحَمَّدِ
Demi Allah (jika kelak) aku mendengar musibah selainnya, kecuali tetap aku akan menangisi Nabi Muhammad .

يَاوَيْحَ أنْصَارِ النَّبِيّ وَرَهْطِهِ بَعْدَ الْمُغَيّبِ فِي سَوَاءِ الْمَلْحَدِ
Wahai kesusahanlah menimpa Anshor Nabi dan kelompoknya (Muhajirin) setelah diturunkan dan hilangnya tidak tampak lagi tubuhmu (wahai Nabi ) di tanah yang terhampar.

ضَاقتْ بِالْاِّ نْصَارِ الْبلَادُ فَأِصْبَحُواسُو­دَاوُجُوهُهُمْ كَلَوْنِ الْاٍ ثْمِدِ
Sempitlah bagi Anshor tempat tinggalnya, mereka berubah wajahnya menjadi suram dan kelam bagai warna penghitam mata.

وَاللهُ أِكْرَمَنَابِهِ وَهَدَى بِهِ أنْصَارَهُ فِي كُلِّ سَاعَةِ مَشْهَدِ
Maka semoga Allah memuliakan kita dengan beliau dan melimpahkan hidayah kepada semua pembela beliau di setiap waktu dan tempat.

صَلّى الْاٍ لَهُ وَمَنْ يَحُفّ بِعَرْ شِهِ وَالطّيّبُونَ عَلَى المُباَرَكِ أحْمَدِ
Shalawat Tuhanku dan yang mengelilingi Arsy-Nya (سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى), dan limpahan shalawat dari hamba-hamba yang penuh kebaikan berlimpah pada Ahmad (Muhammad ) yang dilimpahi keberkahan.

Wallahu alam bishshawaab.

Disarikan oleh Ahmad Ulul Azmi melalui kalam Habibana Munzir bin Fuad al-Musawa pada Jalsatul Itsnain Senin, 9 Maret 2009.

Sumber:  Kalam Ulama