Kamis, 01 Desember 2016

KENAPA KITA MENYAMBUT MAULID NABI? INILAH HUJJAH-HUJJAHNYA


oleh Al-Asyairah Asy-Syafi'i

SEJARAH PERINGATAN MAULID NABI

Siapakah orang yang pertama menyambut Maulid Nabi?

Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Iraq sekarang), bernama Muzhaffaruddin Al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 Hijriyah.

Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata: “Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang yang berani, pahlawan, 'alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya”.

Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn Al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut Sultan Al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama’ dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama’ dalam bidang ilmu fiqh, ulama’ hadits, ulama’ dalam bidang ilmu kalam, ulama’ ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari, sebelum hari pelaksanaan Maulid Nabi beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para hadirin yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama’ saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua berpandang dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang dibuat untuk pertama kalinya itu.

Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A`yan menceritakan bahawa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya menuju Iraq, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriyah, beliau mendapati Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karena itu, Al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “At-Tanwir fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Sultan Al-Muzhaffar.

Para ulama’, semenjak zaman Sultan Al-Muzhaffar dan zaman selepasnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan Maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti Al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), Al-Hafizh Al-’Iraqi (w. 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar Al-`Asqalani (w. 852 H), Al-Hafizh As-Suyuthi (w. 911 H), Al-Hafizh As-Sakhawi (w. 902 H), Syaikh Ibn Hajar Al-Haitami (w. 974 H), Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H), Al-Imam Al-`Izz ibn `Abd As-Salam (w. 660 H), mantan mufti Mesir yaitu Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i (w. 1354 H), mantan mufti Beirut Libanon yaitu Syaikh Mushthafa Naja (w. 1351 H) dan terdapat banyak lagi para ulama’ besar yang lainnya. Bahkan Al-Imam As-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan Maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi umat Islam di seluruh dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.

Hukum Peringatan Maulid Nabi

Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ yang dirayakan dengan membaca sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat Nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh dengan berkah dan kebaikan kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan tersebut terhindar dari bid`ah-bid`ah sayyi-ah yang dicela oleh syara’. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 7 Hijriyah. Ini berarti perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, para sahabat dan generasi salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah  ﷺ sendiri. Para ulama’ menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi adalah sebagian daripada bid`ah hasanah (yang baik). Artinya bahwa perayaan Maulid Nabi ini merupakan perkara baru tetapi ia selaras dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dan sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya.

Dalil-Dalil Mengenai Peringatan Maulid Nabi

Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits Nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari`at Islam. Rasulullah ﷺ bersabda:

“مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ”. (رواه مسلم في صحيحه)”.

“Barangsiapa yang melakukan (merintis) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala daripada perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya selepasnya, tanpa dikurangkan pahala mereka sedikitpun”. (Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya).

Faedah daripada Hadits tersebut:

Hadits ini memberikan kelonggaran kepada ulama’ umat Nabi Muhammad ﷺ untuk melakukan perkara-perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Athar (peninggalan) maupun Ijma` ulama’. Peringatan Maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satupun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti ia telah mempersempit kelonggaran yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada zaman Nabi.

2. Dalil-dalil tentang adanya Bid`ah Hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Bid`ah.

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim di dalam kitab Shahih mereka. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir’aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:

“أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ”.

“Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi)”.

Lalu Rasulullah ﷺ berpuasa dan memerintahkan para sahabat baginda untuk berpuasa.

Faedah daripada Hadits tersebut:

Pengajaran penting yang dapat diambil daripada hadits ini ialah bahwa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan bersyukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Sama ada melakukan perbuatan bersyukur karena memperoleh nikmat atau karena diselamatkan dari bahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca Al-Qur’an dan sebagainya. Bukankah kelahiran Rasulullah ﷺ adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?!

Adakah nikmat yang lebih agung daripada dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung daripada pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibn Hajar Al-`Asqalani.

4. Hadits riwayat Al-Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Bahwa Rasulullah ﷺ ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:
“أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ”.

“Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”. (Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim)

Faedah daripada Hadits tersebut:

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ melakukan puasa pada hari Senin karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu baginda dilahirkan. Ini adalah isyarat daripada Rasulullah ﷺ, artinya jika baginda berpuasa pada hari Senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran baginda sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah ﷺ tersebut untuk kita melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca Al-Qur’an, membaca kisah kelahiran baginda, bersedekah, atau melakukan perbuatan baik dan lainnya. Kemudian, oleh karena puasa pada hari Senin diulangi setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid juga diulangi setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah ﷺ masih diperselisihkan oleh para ulama’ mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka boleh saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi’ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak menjadi masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Al-Hafizh As-Sakhawi seperti yang akan dinyatakan di bawah ini.

Fatwa Beberapa Ulama’ Ahlusunnah Wal Jama`ah:

1. Fatwa As-Syaikh Al-Islam Khatimah Al-Huffazh Amir Al-Mu’minin fi Al-Hadits Al-Imam Ahmad Ibn Hajar Al-`Asqalani. Beliau menyatakan seperti berikut:

“أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً”. وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ”.

“Asal peringatan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukilkan daripada (ulama’) Salafush Shaleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya (keburukan), jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid`ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.

2. Fatwa Al-Imam Al-Hafizh As-Suyuthi. Beliau mengatakan di dalam risalahnya “Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid”. Beliau menyatakan seperti berikut:

“عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ”.

“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, merupakan kumpulan orang-orang beserta bacaan beberapa ayat Al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) yang melakukannya akan memperolehi pahala. Karena perkara seperti itu merupakan perbuatan mengagungkan tentang kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakkan (menzahirkan) akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya (Rasulullah) yang mulia. Orang yang pertama kali melakukan peringatan maulid ini adalah pemerintah Irbil, Sultan Al-Muzhaffar Abu Sa`id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun Al-Jami` Al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.

3. Fatwa Al-Imam Al-Hafizh As-Sakhawi seperti disebutkan di dalam “Al-Ajwibah al-Mardliyyah”, seperti berikut:

“لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ “بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ”. ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ”.

“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorangpun daripada kaum Salafush Shaleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan umat Islam di semua daerah dan kota-kota besar sentiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai-bagai sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih daripada kebiasaannya. Bahkan mereka berkumpul dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara menyeluruh. Dan ini semua telah teruji”. Kemudian As-Sakhawi berkata: “Aku katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan kebaikan bila pun pada siang hari dan waktu malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada siang hari dan waktu malam bulan Rabi’ul Awwal seluruhnya” .

Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama’ terkemuka ini dan merenungkannya dengan hati yang suci bersih, maka kita akan mengetahui bahwa sebenarnya sikap “BENCI” yang timbul daripada sebagian golongan yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasari kepada hawa nafsu semata-mata. Orang-orang seperti itu sama sekali tidak mempedulikan fatwa-fatwa para ulama’ yang shaleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang sangat menghinakan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan peringatan Maulid Nabi ini dengan perayaan hari Natal yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, kerana sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa segan sama sekali berkata:

“إِنَّ الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِ”.

“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.

Golongan yang anti Maulid seperti WAHHABI menganggap bahawa perbuatan bid`ah seperti menyambut Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik (kekufuran). Dengan demikian, menurut mereka, lebih besar dosanya daripada memakan daging babi yang hanya haram saja dan tidak mengandungi unsur syirik (kekufuran).

Jawab:

Na`uzu billah… Sesungguhnya sangat kotor dan jahat perkataan orang seperti ini. Bagaimana ia berani dan tidak mempunyai rasa malu sama sekali mengatakan peringatan Maulid Nabi, yang telah dipersetujui oleh para ulama’ dan orang-orang shaleh dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh para ulama’-ulama’ ahli hadits dan lainnya, dengan perkataan buruk seperti itu?!

Orang seperti ini benar-benar tidak mengetahui kejahilan dirinya sendiri. Apakah dia merasakan dia telah mencapai derajat seperti Al-Hafizh Ibn Hajar Al-`Asqalani, Al-Hafizh As-Suyuthi atau Al-Hafizh As-Sakhawi atau mereka merasa lebih `alim dari ulama’-ulama’ tersebut?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan tegas hukumnya haram di dalam Al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada unsur pengharamannya dari nash-nash syari’at agama?! Ini berarti, bahwa golongan seperti mereka yang mengharamkan maulid ini tidak mengetahui Maratib al-Ahkam (tingkatan-tingkatan hukum). Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah (harus), mana yang haram dengan nash (dalil Al-Qur’an) dan mana yang haram dengan istinbath (mengeluarkan hukum). Tentunya orang-orang ”BODOH” seperti ini sama sekali tidak layak untuk diikuti dan dijadikan ikutan dalam mengamalkan agama ISLAM ini.

Pembacaan Kitab-kitab Maulid

Di antara rangkaian acara peringatan Maulid Nabi adalah membaca kisah-kisah tentang kelahiran Rasulullah ﷺ. Al-Hafizh As-Sakhawi menyatakan seperti berikut:

“وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ تَصَانِيْفِهِمْ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْهَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ– وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَكَّةَ-، وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّـبُوَّةِ لِلْبَيْهَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَةِ النَّـبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا هُوَ أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ إِنْكَارُهُ، وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالتِّلاَوَةِ وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّـبَوِيَّةِ وَالزُّهْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ”.

“Adapun pembacaan kisah kelahiran Nabi maka sepatutnya yang dibaca itu hanya yang disebutkan oleh para ulama’ ahli hadits di dalam kitab-kitab mereka yang khusus menceritakan tentang kisah kelahiran Nabi, seperti Al-Maurid Al-Haniyy karangan Al-‘Iraqi (Aku juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau tidak khusus -dengan karya-karya tentang maulid saja- tetapi juga dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang mengandungi tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dala-il an-Nubuwwah karangan Al-Baihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudhah Nabi. Karena kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus mengeluarkan riwayat-riwayat dan kisah-kisah yang lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan, justru sebaliknya orang yang mengetahui kebathilannya wajib mengingkari dan melarangnya untuk dibaca. Padahal sebenarnya tidak boleh ada pembacaan kisah-kisah maulid dalam peringatan Maulid Nabi, melainkan cukup membaca beberapa ayat Al-Qur’an, memberi makan dan sedekah, didendangkan bait-bait Mada-ih Nabawiyyah (pujian-pujian terhadap Nabi) dan syair-syair yang mengajak kepada hidup zuhud (tidak loba kepada dunia), mendorong hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.

Kesesatan faham WAHHABI yang Anti Maulid:

Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata:

“Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya. Seandainya hal itu merupakan perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.

Jawab:

Baik, Rasulullah ﷺ tidak melakukannya, adakah baginda melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak semestinya menjadi sesuatu yang haram. Tetapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah ﷺ. Disebabkan itu Allah ta`ala berfirman:

“وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا”. (الحشر: 7)

“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (Surah Al-Hasyr: 7)

Dalam firman Allah ta`ala di atas disebutkan “Apa yang dilarang oleh Rasulullah atas kalian, maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini berarti bahwa perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah ﷺ tetapi bukan sesuatu yang ditinggalkannya. Sesuatu perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan mengharamkannya.

Lalu kita katakan kepada mereka:

“Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu itu boleh (harus) atau sunnah, harus ada nash daripada Rasulullah ﷺ secara langsung yang khusus menjelaskannya?”

Apakah untuk mengetahui boleh (harus) atau sunnahnya perkara maulid harus ada nash khusus daripada Rasulullah ﷺ yang menyatakan tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah menyatakan atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash syari`at, baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas, artinya tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan terus muncul dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus dibicarakan oleh Rasulullah secara langsung, lalu dimanakah kedudukan ijtihad (hukum yang dikeluarkan oleh mujtahid berpandukan Al-Qur'an dan Al-Hadits) dan apakah fungsi ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits-hadits yang memberikan pemahaman umum?! Misalnya firman Allah ta`ala:

“وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ”. (الحج: 77)

“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung”. (Surah Al-Hajj: 77)

Adakah setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh Rasulullah ﷺ supaya ia dihukumkan bahwa kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak demikian. Dalam masalah ini Rasulullah ﷺ hanya memberikan kaedah-kaedah atau garis panduan saja. Karena itulah dalam setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebutkan dengan Jawami` al-Kalim artinya bahwa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah ﷺ bersabda:

“مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ”. (رواه الإمام مسلم في صحيحه)

“Barangsiapa yang melakukan (merintis perkara baru) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim di dalam Shahih-nya).

Dan di dalam hadits shahih yang lainnya, Rasulullah ﷺ bersabda:

“مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ”. (رواه مسلم)

“Barangsiapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang “bukan daripada sebagian syari`atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari`at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksudkan dengan sabda Rasulullah ﷺ di dalam hadits di atas: “Ma laisa minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya, maka perkara tersebut pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma laisa minhu”, tapi mungkin akan berkata: “Man ahdatsa fi amrina hadza syai`an fa huwa mardud” (Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini, maka ia pasti tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini bertentangan dengan hadits yang driwayatkan oleh Al-Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu hadits: “Man sanna fi al-Islam sunnatan hasanatan….”.

Padahal hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim ini mengandungi isyarat anjuran bagi kita untuk membuat sesuatu perkara yang baru, yang baik, dan yang selaras dengan syari`at Islam. Dengan demikian tidak semua perkara yang baru itu adalah sesat dan ia tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan melihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara`. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika ia menyalahi, maka tentu ia tidak boleh dilakukan. Karena itulah Al-Hafizh Ibn Hajar Al-‘Asqalani menyatakan seperti berikut:

“وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ”.

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah (yang dicela) menurut tahqiq (penelitian) para ulama’ adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara` berarti ia termasuk bid`ah hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara` maka berarti termasuk bid’ah yang buruk (yang dicela)”.

Bolehkah dengan keagungan Islam dan kelonggaran kaedah-kaedahnya, jika dikatakan bahwa setiap perkara baru itu adalah sesat?

2. Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata: “Peringatan maulid itu sering dimasuki oleh perkara-perkara haram dan maksiat”.

Jawab:

Apakah karena alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram secara mutlak?! Pendekatannya, apakah seseorang itu haram baginya untuk masuk ke pasar, dengan alasan di pasar banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti membuka aurat, menggunjingkan orang, menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak demikian. Maka demikian pula dengan peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah yang harus diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum maulid itu sendiri. Karena itulah Al-Hafizh Ibn Hajar Al-`Asqalani telah menyatakan bahwa:

“أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً”.

“Asal peringatan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salafush Shaleh pada tiga abad pertama, tetapi meskipun demikian peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya. Barangsiapa dalam memperingati maulid serta berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah bid`ah hasanah”.

Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata:

“Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar. Hal itu adalah perbuatan mubazir. Mengapa tidak digunakan saja untuk keperluan umat yang lebih penting?”.

Jawab:

Laa hawla walaa quwwata illa billah… Perkara yang telah dianggap baik oleh para ulama’ disebutnya sebagai mubazir?! Orang yang berbuat baik, bersedekah, ia anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan mubazir?! Mengapa orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka buruk (suudzdzann) terhadap umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya?! Mengapa mereka selalu saja beranggapan bahwa peringatan maulid tidak ada unsur kebaikannya sama sekali untuk umat ini?! Bukankah peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah ﷺ dalam berdakwah sehingga membangkitkan semangat kita untuk berdakwah seperti yang telah dicontohkan baginda?! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita kepada Rasulullah ﷺ dan menjadikan kita banyak bershalawat kepada baginda?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar seperti ini bagi orang yang beriman tidak boleh diukur dengan harta.

4. Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata:

“Peringatan Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Tujuan beliau saat itu adalah membangkitkan semangat umat untuk berjihad. Berarti orang yang melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh karenanya peringatan maulid tidak perlu”.

Jawab:

Kenyataan seperti ini sangat pelik. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn Al-Jauzi, Ibn Kathir, Al-Hafizh As-Sakhawi, Al-Hafizh As-Suyuthi dan lainnya telah bersepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan Al-Muzhaffar, bukan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Orang yang mengatakan bahwa Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “fitnah yang jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahwa Sultan Shalahuddin membuat maulid untuk tujuan membangkitkan semangat umat untuk berjihad dalam perang salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini berarti telah menyimpang, adalah perkataan yang sesat lagi menyesatkan.

Tujuan mereka yang berkata demikian adalah hendak mengharamkan maulid, atau paling tidak hendak mengatakan tidak perlu menyambutnya. Kita katakan kepada mereka: Apakah jika orang yang hendak berjuang harus bergabung dengan bala tentara Sultan Shalahuddin? Apakah menurut mereka yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara Sultan Shalahuddin saja? Dan apakah di dalam berjuang harus mengikuti cara dan strategi Sultan Shalahuddin saja, dan jika tidak, ia berarti tidak dipanggil berjuang namanya?! Hal yang sangat mengherankan ialah kenapa bagi sebagian mereka yang mengharamkan maulid ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan tertentu, kemudian mereka mengatakan maulid boleh, istighatsah (meminta pertolongan) boleh, bahkan ikut-ikutan tawassul (memohon do'a agar didatangkan kebaikan), tetapi kemudiannya terhadap orang lain, mereka mengharamkannya?! Hasbunallah.

Para ahli sejarah yang telah kita sebutkan di atas, tidak ada seorangpun daripada mereka yang mengisyaratkan bahwa tujuan maulid adalah untuk membangkitkan semangat umat untuk berjihad di dalam perang di jalan Allah. Lalu dari manakah muncul pemikiran seperti ini?!

Tidak lain dan tidak bukan, pemikiran tersebut hanya muncul daripada hawa nafsu semata-mata. Benar, mereka selalu mencari-cari kesalahan sekecil apapun untuk mengungkapkan “kebencian” dan “sinis” mereka terhadap peringatan Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka mengatakan bahwa peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya membangkitkan semangat untuk berjihad?! Apa dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada. Al-Hafizh Ibn Hajar, Al-Hafizh As-Suyuthi, Al-Hafizh As-Sakhawi dan para ulama’ lainnya yang telah menjelaskan tentang kebolehan peringatan Maulid Nabi, sama sekali tidak mengaitkannya dengan tujuan membangkitkan semangat untuk berjihad. Kemudian dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid tidak menyebut perihal jihad sama sekali, bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini kita tahu betapa rapuhnya dan tidak didasari perkataan mereka itu apabila berkaitan dengan hukum, istinbath dan istidhal. Semoga Allah merahmati para ulama’ kita. Sesungguhnya mereka adalah cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai ikutan bagi kita semua menuju jalan yang diridhai Allah. Aamiin ya Rabb.

https://pondokhabib.wordpress.com/kenapa-kita-menyambut-maulid-nabi-inilah-hujjah-hujjahnya