KH. Muhammad
Hasyim Asy'ari dilahirkan pada hari Selasa Kliwon tanggal 15 Februari 1871
atau menurut penanggalan Arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287 H di Desa
Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang –Jawa Timur dan beliau wafat pada
tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebuireng, Jombang. KH. Hasyim
Asy’ari adalah
seorang ulama pendiri Nahdlatul ‘Ulama (NU),
organisasi keagamaan terbesar
di Indonesia. Beliau merupakan
putra dari pasangan Kiai Asy’ari bin Abdul
Wahid dan Halimah
binti Kiai Usman. Ayahnya, Kiai Asy’ari, merupakan
seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH. Hasyim Asy’ari
merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan
ibunya, KH. Hasyim Asy’ari
merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya). Dari ayah dan ibunya, KH. Hasyim Asy’ari
mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.
KH. Hasyim Asy’ari juga
pendiri pesantren Tebuireng, Jombang dan dikenal sebagai
tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam
pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum,
berorganisasi, dan berpidato.
|
Kelahiran dan Masa Kecil
Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah
dukuh yang bernama Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok
Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman.
Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh. Karena beliau
ahli thariqat, maka pondok beliau ini masyhur akan ilmu thariqatnya.
Istri beliau bernama Nyai Layyinah binti Kiai Abdussalam dan dikaruniai enam
anak, yaitu :
- Halimah (Winih)
- Muhammad
- Leler
- Fadli
- Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang
santri ayahandanya yang bernama Asy’ari bin Abdul Wahid, seorang ulama tangguh
berasal dari Gubug, Purwodadi –Jawa Tengah. Ketika itu Halimah masih berumur 4
tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak,
yaitu :
- Nafi’ah
- Ahmad Saleh
- Muhammad Hasyim
- Radiyah
- Hasan
- Anis
- Fatonah
- Maimunah
- Maksun
- Nahrowi, dan
- Adnan.
Ketika masa dalam kandungan dan kelahiran Muhammad
Hasyim, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. Di antaranya,
ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh ke dalam
kandungannya. Ketika mimpi ini diceritakan kepada sang suami, beliau tidak tahu
persis apa yang akan terjadi. Namun beliau pernah mendengar bahwa mimpi semacam
ini merupakan pertanda anugerah dari Allah SWT. Pada masa mengandung pula, Nyai
Halimah menjalankan berbagai macam tirakat sebagai jembatan mendekatkan
diri kepada Sang Khalik. Beliau senantiasa
berpuasa di sepanjang hari, shalat malam tanpa henti serta tak lupa membaca Al-Qur’an. Begitu pula
ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan
wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil Muhammad Hasyim hidup di pesantren kakeknya, Kiai Usman, di Desa Ngedang, yang berlangsung selama
enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orangtuanya yang pindah ke Desa
Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari
mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early
learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan
beliau yang mendukung yaitu hidup di lingkungan pesantren,
sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu
pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan
bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh
dengan keakraban dan saling membantu..
Belajar Pada
Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai
pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras
membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, di sini mula-mula Muhammad
Hasyim menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu
pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang
dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda,
beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik dari bimbingan keluarga,
guru, atau belajar secara autodidak. Sejak anak-anak, bakat
kepemimpinan dan kecerdasan Muhammad Hasyim memang sudah
nampak. Di antara teman sepermainannya, beliau kerap tampil sebagai
pemimpin. Dalam usia 13 tahun, beliau sudah membantu ayahnya
mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Ketidakpuasannya terhadap apa
yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup
hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar
sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya,
beliau mulai melakukan pengembaraannya menuntut ilmu.
Mengembara ke Berbagai
Pesantren
Dalam usia 15
tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim meninggalkan kedua
orangtuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain yang
masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Mula-mula beliau menjadi santri di
Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke
Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum
puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, beliau melanjutkan di
Pesantren Kademangan, Bangkalan –Madura di bawah bimbingan KH. Mohammad Cholil bin Abdul Latief (1235 – 1343 H/1820 – 1925 M).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala Muhammad
Hasyim “ngangsu kawruh” dengan Kiai Cholil. Suatu hari, beliau
melihat Kiai Cholil bersedih, beliau
memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Cholil menjawab, bahwa
cincin istrinya jatuh di WC, Hasyim lantas usul agar Kiai Cholil membeli cincin
lagi. Namun, Kiai Cholil mengatakan bahwa
cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah guru
besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri
untuk mencari cincin tersebut di dalam WC. Akhirnya,
Hasyim benar-benar mencari cincin itu di dalam WC, dengan penuh
kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Hasyim menemukan cincin tersebut.
Alangkah bahagianya Kiai Cholil atas keberhasilan santrinya itu. Dari kejadian
inilah Muhammad Hasyim menjadi sangat
dekat dengan Kiai Cholil, baik semasa
menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang. Hal ini
terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama yang dibawa santri Kiai
Cholil, yaitu As’ad Syamsul Arifin (yang kelak
menjadi pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di
tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke
tanah Jawa, belajar di Pesantren Siwalan, Sono –Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai
Ya’qub yang dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu
agama terutama ilmu nahwu dan shorofnya. Cukup lama –lima tahun–
Muhammad Hasyim menyerap ilmu di
Pesantren Siwalan.
Agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut
dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M, Muhammad Hasyim yang
saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah
pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan
ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Di samping menunaikan
ibadah haji, di Mekkah beliau juga
memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya, dan menyerap
ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama
dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW
yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup
terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti. Demikian juga yang
dialami Muhammad Hasyim di Tanah Suci Mekkah. Setelah tujuh
bulan bermukim di Mekkah, beliau dikaruniai
putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati
itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. Empatpuluh hari
kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke
Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang
ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah
melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah
berhenti dilakukannya. Di samping itu, beliau
juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap
saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan Tanah Suci, kembali ke tanah
air bersama mertuanya.
Kematangan Ilmu
di Tanah Suci
Kerinduan akan Tanah Suci rupanya memanggil
beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekkah. Pada tahun 1309 H/1893
M, beliau berangkat kembali ke Tanah Suci bersama adik
kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala
kaki beliau kembali menginjak Tanah Suci Mekkah. Namun hal itu
justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami
ilmu pengetahuan. Sejak itulah beliau menetap di Mekkah
selama 7 tahun. Tempat-tempat
bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdo’a untuk meraih cita-cita,
seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya.
Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau.
Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu
didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah
Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfudz Termas (dalam ilmu bahasa
dan syari’ah), Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh
Nawawi Al-Bantani, Syaikh Khatib Al-Minangkabawi (dalam segala bidang keilmuan),
Syaikh Ahmad Amin Al-Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh
Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid
Husein Al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Mekkah.
Upaya yang melelahkan
ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekkah, beliau pulang ke
tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul
maupun manqul, sebagai bekal untuk beramal
dan mengajar di kampung halaman.
Mendirikan
Pondok Pesantren Tebuireng
Sepulang dari Tanah Suci sekitar tahun1313
H/1899 M, Kiai Muhammad Hasyim bin Asy’ari atau yang kemudian lebih dikenal
dengan nama KH. Hasyim Asy’ari memulai mengajar santri, beliau pertama kali
mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mendiang kakeknya, sekaligus
tempat dimana beliau dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu beliau mengajar di Desa
Muning Mojoroto Kediri. Di
sinilah beliau sempat menikahi salah seorang putri Kiai Sholeh Banjar
Melati. Sayangnya, karena berbagai
hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi
ke Jombang.
Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan
juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari
dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat
tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi
Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan
berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi
keluarga dan pesantrennya.
Tahun 1899, Kiai Hasyim membeli
sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200
meter sebelah barat Pabrik Gula Cukir,
pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah
timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Pada saat itu Dusun Tebuireng merupakan sarang
kemaksiatan dan kekacauan, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannya. Di sana beliau
membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai
tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng
dimulai. Kiai Hasyim mengajar dan
shalat berjama’ah di tratak
bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal.
Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi
28 orang.
Pada tanggal 26 Rabi’ul Awwal 1317 H/1899 M, didirikanlah
Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangannya, seperti KH. Abbas
bin Abdul Jamil Buntet (1300 – 1365 H/1879 – 1946 M), Kiai Soleh Benda Kerep
(wafat 1307 H/1890 M), Kiai Syamsuri Wanantara, dan beberapa kiai lainnya,
segala kesulitan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran
pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
Setelah berhasil
mendirikan pondok pesantren di Desa Tebuireng, seperti
lazimnya pesantren kala itu, Kiai Hasyim tidak
memberi nama lain untuk pesantrennya tersebut. Beliau
lebih memilih nama pesantrennya adalah nama desa
itu sendiri, yakni Tebuireng. Dalam hal ini seperti halnya Pesantren Tambakberas –Jombang yang
didirikan oleh KH. Abdussalam (baru pada tahun 1967 KH. Abdul Wahab Chasbullah
memberikan nama resmi pesantren ini dengan nama Bahrul Ulum), Pesantren Langitan
–Tuban yang didirikan oleh KH. Muhammad Nur, Pesantren Krapyak –Yogyakarta yang
didirikan oleh KH. Munawwir bin Abdullah Rosyad (wafat 1361 H/1942 M), Pesantren
Lirboyo –Kediri yang didirikan oleh KH. Abdul Karim bin Abdurrahim (1272 – 1374
H/1856 – 1954 M), Pesantren Sarang –Rembang yang didirikan oleh KH. Ghozali bin
Lanah (1184 – 1276 H/1770 – 1859 M), dan lain-lain. Sang pendiri tak memberi
nama lain kecuali nama di mana pesantren itu berdiri. Pondok Pesantren
Tebuireng baru mendapat pengakuan resmi oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada 6 Februari 1907.
KH. Muhammad Hasyim Asya’ri memulai sebuah
tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu mengkhatamkan
kitab Shakhihaini “Al-Bukhari dan Muslim” yang dilaksanakan pada setiap
bulan suci Ramadhan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong
dari seluruh Jawa, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil.
Pernah terjadi dialog
yang mengesankan antara dua ulama besar, KH. Hasyim Asy’ari dengan
KH. Mohammad Cholil, gurunya.
“Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah
murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kiai dari Madura ini
populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab,
“Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang
demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan
sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi
murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap
bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap,
tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini,
menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal
dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa
berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat
berjama’ah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling
mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja
terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak
terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil adalah
kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan
kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit
ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kiai yang sangat termasyhur
pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal
pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan,
Bangkalan –Madura, ini.
KH. Hasyim Asy’ari bukan saja pendiri sekaligus
pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama,
tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal
mumpuni dalam ilmu Hadits.
Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Pada awalnya
santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 8 orang, kemudian bertambah
hingga ratusan orang, bahkan di akhir hayatnya santri Kiai Hasyim telah
mencapai ribuan orang. Alumnus-alumnus Pondok Tebuireng banyak yang sukses
menjadi ulama besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng
menjadi kiblat pondok pesantren.
KH. Abdul Wahab
Chasbullah (atau KH. Abdul Wahab Hasbullah, lahir di Jombang tahun 1305 H/1888
M – dan wafat 1391 H/1971 M), KH. Bisri Syansuri (1303
– 1400 H/1886 – 1980 M),
KH. Raden As’ad Syamsul Arifin (1314 – 1410
H/1897 – 1990 M), KH. Abdul Wahid
Hasyim (1332 – 1372 H/1914 – 1953 M) dan KH. Achmad Siddiq (1344 – 1411 H/1926 –
1991) adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim. Tak pelak lagi pada
abad 20, Tebuireng merupakan
pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis
buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah
sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura.
Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratusy Syaikh (Tuan Guru Besar)
kepada Kiai Hasyim.
Saat KH. Hasyim
Asy’ari masih belajar di Mekkah, Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah (1266
– 1322 H/1849 – 1905 M), seorang penggagas gerakan modernisme Islam dari Mesir,
sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam.
Pemikirannya banyak berinspirasi dari Abul Abbas
Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyyah Al-Harrani atau
yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyyah (661 – 728 H/1263 – 1328 M). Dan
sebagaimana diketahui, buah pikiran Muhammad Abduh itu sangat mempengaruhi
proses perjalanan umat Islam selanjutnya.
Ide-ide
reformasi Islam yang dianjurkan oleh Muhammad Abduh yang dilancarkan dari
Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di
Mekkah, termasuk KH. Hasyim Asy’ari. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama
mengajak umat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktik
keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan
Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali
doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern;
dan keempat, mempertahankan Islam.
Usaha Muhammad
Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan
modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali
tanggungjawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan.
Dengan alasan inilah Muhammad Abduh melancarkan ide agar umat Islam melepaskan
diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para ulama madzhab dan agar
umat Islam meninggalkan segala bentuk praktik thariqat.
Syaikh Ahmad
Khatib bin Abdul Lathif Al-Minangkabawi (1276 – 1334 H/1860 – 1916 M), seorang
ulama besar Indonesia yang menjadi imam, khatib dan guru besar di
Masjidil Haram, mendukung beberapa pemikiran Muhammad Abduh, walaupun ia
berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Ahmad Khatib ketika kembali
ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Muhammad Abduh itu. Di antaranya
adalah Muhammad Darwis bin Abu Bakar atau yang lebih dikenal dengan nama KH.
Ahmad Dahlan (1284 – 1341 H/1868 – 1923) yang kemudian mendirikan organisasi Muhammadiyah.
Tidak demikian dengan KH. Hasyim Asy’ari. Beliau sebenarnya juga menerima
ide-ide Muhammad Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak
pikiran Muhammad Abduh agar umat Islam melepaskan diri dari keterikatan
madzhab. Beliau berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud
yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits tanpa mempelajari
pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem madzhab. Untuk
menafsirkan Al-Qur’an dan Al-Hadits tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku
para ulama madzhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.
Dalam hal thariqat,
KH. Hasyim Asy’ari tidak menganggap bahwa semua bentuk praktik keagamaan waktu
itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar umat
Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan thariqat. Dalam
perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermadzhab yang diwakili
kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak
bermadzhab (sering disebut kelompok modernis-puritan) itu memang kerap tidak
terelakkan. Puncaknya adalah saat Kongres Al-Islam IV yang diselenggarakan di
Bandung. Kongres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai
kelompok umat Islam, untuk dibawa ke kongres umat Islam di Mekkah.
Kelompok
modernis di Indonesia diwakili oleh :
- Muhammad Darwis, seorang tokoh pembaharu agama (mujaddid) asal Yogyakarta. Dia aktif dan rutin mengikuti pemikiran Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridla lewat majalah Al-Manar dan ajaran Wahabi. Dia kemudian dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan yang pada 18 Nopember 1912 mendirikan organisasi keagamaan Muhammadiyah. Walaupun kenyataannya dalam amaliyah sehari-hari selama hidupnya KH. Ahmad Dahlan lebih dekat kepada madzhab Syafi’i. Namun sepeninggal beliau terjadi modernisasi total dari para penerusnya.
- Ahmad Soorkati (1872 – 1943 M) seorang mujaddid asal Sudan yang kalah bersaing dalam Jami’at al-Khair di negaranya. Kemudian hijrah ke Indonesia dan tahun 1914 di Betawi mendirikan organisasi Al-Irsyad.
- Di Bandung pun muncul mujaddid yang bernama Ahmad Hassan yang juga dikenal sebagai Hassan Bandung atau Hassan Bangil yang tahun 1927 meneruskan organisasi Persatuan Islam (PERSIS) yang didirikan pada 12 September 1923 oleh KH. Zam Zam Palembang dan Muhammad Yunus.
- Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto (1882 – 1934 M) dengan Sarekat Islam (SI).
Tahun 1924,
kelompok diskusi Taswirul Afkar (Potret
Pemikiran) atau dikenal juga dengan nama Nahdlatul Fikri (Kebangkitan
Pikiran), sebuah gerakan yang didirikan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH.
Mas Manshur, ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang
ruang lingkupnya lebih besar. Hadratusy Syaikh KH. Hasyim
Asy’ari yang dimintai persetujuannya, belum juga memberikan restunya. Berbagai perkembangan yang tidak menguntungkan
kaum pesantren selama kurun 1920 sampai dengan 1926, akhirnya mendorong KH.
Hasyim Asy’ari untuk melakukan istikharah demi kemaslahatan umat.
Dinanti-nanti sekian
lama, petunjuk itu belum datang juga. Kiai Hasyim sangat
gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, Syaikhuna Cholil.
Sementara nun jauh di
Bangkalan sana, Kiai Cholil telah mengetahui
apa yang dialami Kiai Hasyim. Kiai Cholil lalu mengutus
salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi
pengasuh PP Salafiyah Syafi’iyah Situbondo), untuk
menyampaikan sebuah tasbih kepada Kiai Hasyim di Tebuireng.
Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat
23 kepada Kiai Hasyim.
Ketika Kiai Hasyim menerima
kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar.
”Keinginanku untuk membentuk jam’iyyah agaknya akan
tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata. Waktu terus berjalan, akan
tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kiai Hasyim masih menunggu
kemantapan hati. Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang
menemui Hadratusy Syaikh. ”Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk
menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda As’ad sambil menunjukkan
tasbih yang dikalungkan Kiai Cholil di lehernya.
Tangan As’ad belum
pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju
Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi
selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki
prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kiai, maka yang boleh
melepasnya juga harus Kiai”.
Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. ”Kiai Cholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kiai Hasyim semakin mantap. Hadratusy Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisasi/jam’iyyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui shalat istikharah. Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Cholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. ”Kiai Cholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kiai Hasyim semakin mantap. Hadratusy Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisasi/jam’iyyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui shalat istikharah. Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Cholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31
Januari 1926 dalam sebuah pertemuan di rumah KH. Abdul Wahab Chasbullah di
Kampung Kawatan –Surabaya. Pertemuan
bersejarah itu dihadiri oleh beberapa ulama yang berpengaruh, di antaranya :
KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Bisri Syansuri (Jombang), KH. Raden Asnawi (Kudus),
KH. Maksum (Lasem, Rembang), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Nahrowi Thahir, KH. Mas
Alwi bin Abdul Aziz (Malang), KH. Ridlwan Abdullah, KH. Abdullah Ubaid
(Surabaya), KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon), H. Ndoro Munthoha
(Madura), KH. Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH. Abdullah Faqih (Sedayu,
Gresik), dan lain-lain. (Sumber : Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khittah
Nahdlatul ‘Ulama, Surabaya, Lajnah Ta’lif Wan Nasr, t.t. hal 10-11).
Dalam
kesempatan itu, atas restu KH. Hasyim Asy’ari disepakati juga pembentukan jam’iyyah
sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam
wal Muslimin (kejayaan Islam dan kaum Muslimin). Forum para kiai itu secara
aklamasi menerima usulan KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz yang memberi nama "Nahdlatul
'Ulama" bagi jam’iyyah baru itu. 16 Rajab 1344 H, tanggal
bersejarah lahirnya organisasi Nahdlatul 'Ulama (NU) yang diperingati
setiap tahun hingga kini.
Didirikannya Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama adalah bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan faham Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tertuang dalam Pasal 3 ayat a; b, (Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama 1926, HBNO, Soerabaja, 1344 H), yakni : “Mengadakan perhoeboengan di antara oelama-oelama yang bermadzhab” dan “memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab Ahli Bid’ah.”
Dalam forum
ulama yang cukup sederhana itu, H. Hasan Gipo (1869 – 1934) ditunjuk oleh KH. Abdul
Wahab Chasbullah menjadi ketua Tanfidziyah Hoofd Bestuur Nahdlatoel
Oelama (HBNO –Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama) dengan didampingi KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari yang menjadi Rois Akbar, sebuah gelar hingga
kini tidak seorang pun menyandangnya.
Dalam pidato
pembentukan NU, yang kemudian menjadi “Muqaddimah Qanun Asasi NU”, KH.
Hasyim Asy’ari secara tegas mengatakan bahwa “…Pendirian Jam’iyyah Nahdlatul
‘Ulama atau NU adalah mutlak diperlukan untuk memperkuat basis solidaritas
sesama umat Islam guna memerangi keangkara-murkaan”. Sebuah syair pun dikutip
KH. Hasyim Asy’ari yang menunjukkan signifikansi sebuah Jam’iyyah, yaitu
:
“… Berhimpunlah
anak-anakku bila genting datang melanda
Jangan bercerai berai, sendiri-sendiri
Cawan-cawan enggan pecah bila bersama
Bila bercerai, satu-satu pecah berderai…”
Nahdlatul ‘Ulama sebagai
suatu ikatan ulama seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan
dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang
berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah
begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri
akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik
penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di
Indonesia, untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam
dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya
oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya
yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat
diterima oleh ulama-ulama
lain.
|
Jam’iyyah ini berpegang
pada faham Ahlussunnah wal Jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas
tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari
pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama
NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkan pada
persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki
dasawarsa kedua, orientasi diperluas pada persoalan-persoalan nasional.
Kepedulian KH. Hasyim Asy'ari yang mengajak
umat Islam untuk bersatu, menarik hati kalangan modernis seperti KH. Mas
Manshur dari Muhammadiyah dan Wondoamiseno dari Sarekat Islam yang diundang ke
Muktamar NU. Mereka kemudian merealisasikan ajakan KH. Hasyim Asy’ari itu untuk
bekerja sama dengan kalangan tradisionalis, yang kemudian membentuk badan
federasi bagi organisasi-organisasi Islam untuk mengkoordinasikan kegiatan, dan
menyatukan mereka menghadapi ancaman dan kepentingan bersama.
Organisasi itu
didirikan pada 18-21 September 1937, dengan nama MIAI (Majelis al-Islam A’la
Indonesia). KH. Hasyim Asy’ari menjadi Ketua Dewan (periode tahun
1937-1942). Tigabelas organisasi tergabung dalam organisasi itu, dan semua
bersatu menghadapi politik Belanda, seperti menolak undang-undang perkawinan
dan kewajiban militer bagi umat Islam. Melalui MIAI – yang akhirnya (terpaksa)
diakui oleh pemerintah Hindia-Belanda – itulah, perjuangan melindungi umat
Islam, khususnya warga nahdliyyin dilakukan.
Pada 24 Oktober 1943, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)
dibentuk oleh Jepang sebagai pengganti MIAI. Terbentuknya organisasi itu karena
Jepang khawatir karakter antikolonial MIAI akan berubah menjadi anti-Jepang.
Masyumi dan MIAI memiliki tujuan yang sama, yaitu mempersatukan umat Islam.
Akhirnya dinamika politik telah terjadi di masa itu, yang telah melibatkan NU
dalam Masyumi. Sebagian besar tokoh NU dijadikan pengurus, seperti KH. Hasyim
Asy’ari yang diangkat sebagai Ketua pertama Masyumi, dan juga KH. Abdul Wahab
Chasbullah yang diangkat sebagai Penasehat Dewan Pelaksana.
NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah
tampil sebagai salah satu partai politik peserta pemilu, yang kemudian menyatu
dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian dianulir dengan
keputusan Muktamar Situbondo yang menghendaki NU sebagai organisasi sosial
keagamaan kembali pada khittahnya.
Pejuang
Kemerdekaan
Peran KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tidak hanya
terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial
dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan
bangsa dari penjajah belanda. Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng
bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat
Indonesia. Pasukan Kompeni ini
tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang
penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada
tahun 1913, intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di
Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga
tewas.
Peristiwa ini
dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kiai Hasyim dengan
tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat
piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan
taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara
adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk
memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir
seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta
dibakar.
Kiai Hasyim menanggapi
peristiwa ini dengan memberi dorongan kepada santri: “Kejadian ini justru
menambah semangat kita untuk terus berjuang menegakkan Islam dan kemerdekaan
yang hakiki”.
Kabar yang terjadi di Tebuireng terdengar oleh banyak pesantren di Jawa. Mereka turut menyumbangkan bantuan dan sumbangan untuk Tebuireng. Sehingga dalam waktu sekitar 8 bulan, Tebuireng bangkit seperti sedia kala. Nama Tebuireng semakin terkenal, para santri yang datang untuk mengaji pun bertambah banyak.
Kabar yang terjadi di Tebuireng terdengar oleh banyak pesantren di Jawa. Mereka turut menyumbangkan bantuan dan sumbangan untuk Tebuireng. Sehingga dalam waktu sekitar 8 bulan, Tebuireng bangkit seperti sedia kala. Nama Tebuireng semakin terkenal, para santri yang datang untuk mengaji pun bertambah banyak.
Pada tahun 1937 Kiai Hasyim didatangi wakil Pemerintah Hindia-Belanda dengan
memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya.
Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya
tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi
Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
- Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
- Harta benda yang berlimpah-limpah
- Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata:
“Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan
ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan
mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. KH. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat
kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari
perbuat Nabi SAW.
Perlakuan represif
Belanda terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik tahun 1940an. Pada bulan
Maret 1942, Pemerintah Hindia-Belanda menyerah kepada
Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure,
kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.
Pendudukan Dai Nippon
menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang
represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi,
sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu
perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratusy Syaikh beserta
sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak
melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke
arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar
Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
Aktivitas ini juga
wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali
berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kiai Hasyim menolak
aturan tersebut, sebab hanya Allah lah
yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kiai Hasyim ditangkap dan
ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian
Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan
keyakinan bahwa Hadratusy Syaikh berada di pihak
yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan,
Kiai Hasyim mengalami
banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak
dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratusy Syaikh, segenap
kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu
juga mengakibatkan keluarga KH. Hasyim Asy’ari tercerai berai. Istri
Kiai Hasyim, Nyai
Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942,
setelah 4 bulan dipenjara, Kiai Hasyim dibebaskan
oleh Jepang karena banyaknya protes dari para kiai dan santri. Selain
itu, pembebasan Kiai Hasyim juga berkat
usaha dari Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Chasbullah dalam
menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober
1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian
Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan
Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa
(Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kiai Hasyim bersama para
ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan
NICA dan Inggris tersebut.
Fatwa itu dikeluarkan dalam pertemuan ulama dan konsul-konsul NU
se-Jawa serta Madura di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama di Jalan Bubutan
VI/2, Surabaya, pada 22 Oktober 1945.
Ada tiga poin
penting dalam Resolusi Jihad itu :
- Setiap Muslim – tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia.
- Pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada.
- Warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah-belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.
Jadi umat Islam
wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita
berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan
dibolehkannya qashar shalat). Di luar radius itu dianggap fardhu kifayah
(kewajiban kolektif, bukan fardhu ‘ain, kewajiban individu). Fatwa jihad
yang ditulis dengan huruf pegon itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio.
Fatwa itulah
yang memotivasi arek-arek Suroboyo, akibatnya, meletuslah
perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu.
Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan
membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris.
Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal 7 Nopember 1945 –tiga hari sebelum
meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya– umat Islam membentuk
partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi
merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kiai Hasyim diangkat
sebagai Rois ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945 – 1947. Jabatan itu dipangkunya namun
tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kiai
Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan
laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan
Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk
kepada Kiai Hasyim.
Keluarga dan
Sisilah
Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok
Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan
Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan –Madiun. Dari perkawinan ini Kiai Hasyim dikaruniai 10
putra dan putri yaitu:
- Hannah
- Khoiriyah
- Aisyah
- Azzah
- Abdul Wahid
- Abdul Hakim (Abdul Kholiq)
- Abdul Karim
- Ubaidillah
- Mashurroh
- Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat dan
menjelang akhir tahun 1930, KH. Hasyim Asy’ari menikah kembali dengan Nyai
Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu –Kediri,
dari pernikahan tersebut, beliau dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
- Abdul Qodir
- Fatimah
- Chotijah
- Muhammad Ya’qub
Wafatnya Sang
Tokoh
Pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M, tepatnya pukul 9
malam, Hadratusy Syekh kedatangan tamu
utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut
dengan didampingi Kiai Ghufron. Tamu istimewa
tersebut, memberikan sepucuk surat kepada beliau. Dalam surat itu, Bung Tomo
memohon kepada Hadratusy Syaikh untuk mengeluarkan komando jihad fi
sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena Belanda telah menguasai
wilayah Karesidenan Malang serta banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah
yang menjadi korban. Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berpikir dan jawabannya
akan diberikan keesokan harinya.
Empat hari sebelumnya, tamu itu sudah menemui
Hadratusy Syekh yang ketika itu beliau baru saja selesai mengimami shalat Tarawih
dan ingin mengisi pengajian ibu-ibu muslimat. Si tamu juga
menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman. Yang intinya beliau diminta
mengungsi ke Sarangan –Magetan, agar tidak
tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat
statemen untuk mendukung Belanda, dimana hal itu akan berpengarauh buruk bagi
moral para pejuang. Jajaran TNI di sekitar Jombang akan membantu pengungsian
Kiai Hasyim. Namun beliau tidak berkenan menerima tawaran tersebut.
Kiai Ghufron yang
mendampingi beliau kemudian
melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin
tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu,
Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau
memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang
mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab,
sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk
meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim
Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasyim tidak
sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan
membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada
di tempat, misalnya KH.
Muhammad Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara
pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (dokter Angka
Nitisastro).
Tak lama kemudian baru
diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak (hesemblonding).
Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak
lain pada kekasihnya itu. KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari wafat
pada pukul 03.00 pagi, tanggal 25 Juli 1947,
bertepatan dengan Tanggal 7 Ramadhan 1366 H. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kepergian belaiu ke tempat peristirahatan
terakhir, diantarkan belasungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan
masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan
seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat
Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau
di tengah Pesantren Tebuireng. Pada saat mengantar kepergiannya,
shahabat dan saudara beliau, KH. Abdul Wahab Chasbullah, sempat mengemukakan kata
sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup beliau, yakni, “Berjuang
terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.
Ad-Da’wah bil
Qalam
KH. Hasyim Asy’ari ternyata seorang ulama yang
produktif menulis di sela-sela kehidupan beliau di dalam mendidik santri,
mengayomi ribuan umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan.
Ini merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya, pemikirannya dapat dilacak
dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa Arab. Telah banyak
kitab-kitab beliau yang terbit, dan setiap tahunnya pun dikaji dimana-mana. Waktu yang digunakan KH. Hasyim
Asy’ari untuk menulis biasanya adalah pagi hari antara jam 10.00 sampai
menjelang dhuhur. Selain untuk menulis, waktu ini biasanya beliau gunakan untuk istirahat,
membaca kitab dan menerima tamu yang setiap harinya berkisar 50 tamu.
Tulisan beliau beragam,
ada yang menerangkan agama, aqidah, syari’ah, fiqh, hadits, hubungan sesama
manusia, politik, etika, sejarah dan sebagainya. Kitab yang beliau tulis
merupakan pengalaman yang pernah beliau alami. Seperti kitab At-Tanbihat al-Wajibat, adalah sebuah kitab
yang berisikan pengalaman beliau atas perayaan maulid yang dicampuri dengan
berbagai macam kemungkaran. Peristiwa ini terjadi ketika beliau pergi ke
Sewulan –Madiun pada 1355 H. Ada
juga kitab beliau yang berjudul Ziyadah at-Ta’liqot, isinya adalah
perdebatan/ikhtilaf beliau dengan Syaikh Abdullah bin Yasin
Pasuruan yang menolak amaliyah NU.
Beliau juga sering mengisi kolom pada majalah
dan surat kabar pada waktu itu, seperti, Panji Masjarakat, Soeara Masjoemi, dan
Soeara Nahdlotul Oelama. Tulisan beliau biasanya
berbentuk artikel, fatwa, ceramah dan jawaban atas pertanyaan para pembaca
(beliau sebagai pengasuh rubrik tanya jawab masalah fiqhiyah).
Sangatlah sulit untuk dibayangkan, betapa
sibuknya beliau sebagai pengasuh pesantren, pemimpin NU, ketua Ormas, Penasehat,
Pembimbing para pejuang pembela tanah air, menyempatkan diri unuk menulis.
Sungguh sebuah semangat yang jarang dimiliki oleh kebanyakan kiai.
Untuk membudayakan tradisi tulis menulis di
kalangan warga NU, bersama KH. Abdul Wahab Chasbullah, beliau mendirikan
majalah NU dengan nama “Soeara Nahdlotoel Oelama”. Edisi perdananya terbit pada
1 Shafar 1346 /1930 (empat tahun setelah NU didirikan). Selain berisikan
informasi penting tentang laju perkembangan NU, di dalamnya juga terdapat
berita-berita aktual seputar nasional. Majalah ini memiliki ciri khas yang tak
dijumpai majalah lainnya, yakni bertuliskan Jawa pegon (bahasa jawa yang
ditulis dengan huruf Hijaiyah). Atas prakarsa
beliau inilah, kini telah beredar banyak majalah NU di Nusantara hingga
menjadikan generasi muda NU gemar untuk tulis menulis.
Adapun karya-karya Hadratusy Syaikh yang dapat ditelusuri dan dinikmati hingga
saat ini di antaranya ialah :
1.
At-Tibyan fi an-Nahy ‘an Muqathaah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Penjelasan dalam melarang memutus silaturrahim sanak famili, kerabat
dan saudara.
2.
Mukaddimah al-Qanun
al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama. Pembukaan undang-undang
dasar (landasan hukum pokok) organisasi Nahdlatul ‘Ulama.
3.
Risalah fi
Ta’kid al-Akhdz Bimadzhab al-Aimmah al-Arba’ah. Risalah yang menerangkan memperkuat berpegang teguh atas madzhab empat.
4.
Mawaidz. Beberapa Nashihat.
5.
Arba’in
Haditsan Tata’alliq bi Mabadi’ Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama. 40 hadits
Nabi yang terkait dengan dasar-dasar Nahdlatul ‘Ulama.
Kelima
kitab Hadratusy Syaikh di atas dikumpulkan menjadi satu kitab yang di atasnya
diberi judul besar AT-TIBYAN berjumlah 41 halaman.
Kitab-kitab
lainnya yaitu :
1.
An-Nur
al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul.
2.
At-Tanbihat
al-Wajibatliman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib untuk orang yang mengadakan kegiatan maulid
dicampuri dengan kemungkaran
3.
Risalah Ahli Sunnah Wal
Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syrat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah menerangkan tentang
hadits-hadits yang menjelaskan kematian serta tanda-tanda hari kiamat dan menjelaskan kefahaman sunnah dan bid’ah.
4.
Ziyadah Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Tambahan yang berhubungan atas nadzm Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan.
5.
Dhu’ul Misbah fi Bayan Ahkam an-Nikah. Cahayanya sebuah yang
benderang menerangkan hukum-hukum nikah.
6.
Ad-Durosul Muntasyiroh
Fi Masail Tis’a ‘Asyaraoh. Mutiar yang memancar dalam menerangkan 19 masalah.
7.
Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarah Risalah al-Wali Ruslan li Syekh al-Islam Zakariya al-Anshari. Komentar atas kitab Fath ar-Rahman penjelas kitab Risah al-Wali Ruslan karya Syekh al-Islam Zakariya al-Anshari.
8.
Ar-Risalah at-Tauhidiyah. Risalah tauhid.
9.
Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-‘Aqaid.
10.
Ar-Risalah al-Jama’ah.
11.
Ar-Risalah fi al-’Aqaid. Menerangkan aqidah.
12.
Ar-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang ilmu tasawwuf.
13.
Adab al-‘Alim
wa al-Muta’allim Fima Yahtaju Ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wa ma
Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Sopan santun
orang yang alim dan pelajar.