Selasa, 04 Oktober 2016

Biografi KH. Muhammad Hasyim Asy'ari








Hasil gambar untuk kh hasyim asyari

KH. Muhammad Hasyim Asy'ari dilahirkan pada hari Selasa Kliwon tanggal 15 Februari 1871 atau menurut penanggalan Arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287 H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang –Jawa Timur dan beliau wafat pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebuireng, Jombang. KH. Hasyim Asyari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Beliau merupakan putra dari pasangan Kiai Asyari bin Abdul Wahid dan Halimah binti Kiai Usman. Ayahnya, Kiai Asy’ari, merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH. Hasyim Asy’ari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya). Dari ayah dan ibunya, KH. Hasyim Asy’ari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.

KH. Hasyim Asy’ari  juga pendiri pesantren Tebuireng, Jombang dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.


Kelahiran dan Masa Kecil

Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh. Karena beliau ahli thariqat, maka pondok beliau ini masyhur akan ilmu thariqatnya. Istri beliau bernama Nyai Layyinah binti Kiai Abdussalam dan dikaruniai enam anak, yaitu :
  1. Halimah (Winih)
  2. Muhammad
  3. Leler
  4. Fadli
  5. Arifah

Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy’ari bin Abdul Wahid, seorang ulama tangguh berasal dari Gubug, Purwodadi –Jawa Tengah. Ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak, yaitu :
  1. Nafi’ah
  2. Ahmad Saleh
  3. Muhammad Hasyim
  4. Radiyah
  5. Hasan
  6. Anis
  7. Fatonah
  8. Maimunah
  9. Maksun
  10. Nahrowi, dan
  11. Adnan.

Ketika masa dalam kandungan dan kelahiran Muhammad Hasyim, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. Di antaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh ke dalam kandungannya. Ketika mimpi ini diceritakan kepada sang suami, beliau tidak tahu persis apa yang akan terjadi. Namun beliau pernah mendengar bahwa mimpi semacam ini merupakan pertanda anugerah dari Allah SWT. Pada masa mengandung pula, Nyai Halimah menjalankan berbagai macam tirakat sebagai jembatan mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Beliau senantiasa berpuasa di sepanjang hari, shalat malam tanpa henti serta tak lupa membaca Al-Qur’an. Begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.

Di masa kecil Muhammad Hasyim hidup di pesantren kakeknya, Kiai Usman, di Desa Ngedang, yang berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orangtuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.

Principle of early learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup di lingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..

Belajar Pada Keluarga

Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, di sini mula-mula Muhammad Hasyim menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik dari bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Muhammad Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, beliau kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, beliau sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Ketidakpuasannya terhadap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraannya menuntut ilmu.

Mengembara ke Berbagai Pesantren

Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim meninggalkan kedua orangtuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Mula-mula beliau menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, beliau melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan –Madura di bawah bimbingan KH. Mohammad Cholil bin Abdul Latief (1235 – 1343 H/1820 – 1925 M).

Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala Muhammad Hasyim “ngangsu kawruh” dengan Kiai Cholil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Cholil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Cholil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Hasyim lantas usul agar Kiai Cholil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Cholil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut di dalam WC. Akhirnya, Hasyim benar-benar mencari cincin itu di dalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Cholil atas keberhasilan santrinya itu. Dari kejadian inilah Muhammad Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Cholil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yang dibawa santri Kiai Cholil, yaitu As’ad Syamsul Arifin (yang kelak menjadi pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).

Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di Pesantren Siwalan, Sono –Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub yang dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama terutama ilmu nahwu dan shorofnya. Cukup lama –lima tahun– Muhammad Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.

Pada tahun 1303 H/1892 M, Muhammad Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Di samping menunaikan ibadah haji, di Mekkah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.

Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti. Demikian juga yang dialami Muhammad Hasyim di Tanah Suci Mekkah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. Empatpuluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Di samping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan Tanah Suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.

Kematangan Ilmu di Tanah Suci

Kerinduan akan Tanah Suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekkah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke Tanah Suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak Tanah Suci Mekkah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Sejak itulah beliau menetap di Mekkah selama 7 tahun. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau.

Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfudz Termas (dalam ilmu bahasa dan syari’ah), Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Khatib Al-Minangkabawi (dalam segala bidang keilmuan), Syaikh Ahmad Amin Al-Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Mekkah.

Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekkah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, sebagai bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.

Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng

Sepulang dari Tanah Suci sekitar tahun1313 H/1899 M, Kiai Muhammad Hasyim bin Asy’ari atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama KH. Hasyim Asy’ari memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mendiang kakeknya, sekaligus tempat dimana beliau dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu beliau mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Di sinilah beliau sempat menikahi salah seorang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Sayangnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.

Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Tahun 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Pada saat itu Dusun Tebuireng merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannya. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kiai Hasyim mengajar dan shalat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Pada tanggal 26 Rabi’ul Awwal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangannya, seperti KH. Abbas bin Abdul Jamil Buntet (1300 – 1365 H/1879 – 1946 M), Kiai Soleh Benda Kerep (wafat 1307 H/1890 M), Kiai Syamsuri Wanantara, dan beberapa kiai lainnya, segala kesulitan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.

Setelah berhasil mendirikan pondok pesantren di Desa Tebuireng, seperti lazimnya pesantren kala itu, Kiai Hasyim tidak memberi nama lain untuk pesantrennya tersebut. Beliau lebih memilih nama pesantrennya adalah nama desa itu sendiri, yakni Tebuireng. Dalam hal ini seperti halnya Pesantren Tambakberas –Jombang yang didirikan oleh KH. Abdussalam (baru pada tahun 1967 KH. Abdul Wahab Chasbullah memberikan nama resmi pesantren ini dengan nama Bahrul Ulum), Pesantren Langitan –Tuban yang didirikan oleh KH. Muhammad Nur, Pesantren Krapyak –Yogyakarta yang didirikan oleh KH. Munawwir bin Abdullah Rosyad (wafat 1361 H/1942 M), Pesantren Lirboyo –Kediri yang didirikan oleh KH. Abdul Karim bin Abdurrahim (1272 – 1374 H/1856 – 1954 M), Pesantren Sarang –Rembang yang didirikan oleh KH. Ghozali bin Lanah (1184 – 1276 H/1770 – 1859 M), dan lain-lain. Sang pendiri tak memberi nama lain kecuali nama di mana pesantren itu berdiri. Pondok Pesantren Tebuireng baru mendapat pengakuan resmi oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada 6 Februari 1907.

KH. Muhammad Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu mengkhatamkan kitab Shakhihaini “Al-Bukhari dan Muslim” yang dilaksanakan pada setiap bulan suci Ramadhan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh Jawa, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil.

Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH. Hasyim Asy’ari dengan KH. Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjama’ah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, BangkalanMadura, ini.

KH. Hasyim Asy’ari bukan saja pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Pada awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 8 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan di akhir hayatnya santri Kiai Hasyim telah mencapai ribuan orang. Alumnus-alumnus Pondok Tebuireng banyak yang sukses menjadi ulama besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.

KH. Abdul Wahab Chasbullah (atau KH. Abdul Wahab Hasbullah, lahir di Jombang tahun 1305 H/1888 M – dan wafat 1391 H/1971 M), KH. Bisri Syansuri (1303 – 1400 H/1886 – 1980 M), KH. Raden As’ad Syamsul Arifin (1314 – 1410 H/1897 – 1990 M), KH. Abdul Wahid Hasyim (1332 – 1372 H/1914 – 1953 M) dan KH. Achmad Siddiq (1344 – 1411 H/1926 – 1991) adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20, Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratusy Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kiai Hasyim.


Saat KH. Hasyim Asy’ari masih belajar di Mekkah, Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah (1266 – 1322 H/1849 – 1905 M), seorang penggagas gerakan modernisme Islam dari Mesir, sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Pemikirannya banyak berinspirasi dari Abul Abbas Taqiyuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyyah Al-Harrani atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyyah (661 – 728 H/1263 – 1328 M). Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Muhammad Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan umat Islam selanjutnya.

Ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Muhammad Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah, termasuk KH. Hasyim Asy’ari. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak umat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktik keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam.

Usaha Muhammad Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggungjawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Muhammad Abduh melancarkan ide agar umat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para ulama madzhab dan agar umat Islam meninggalkan segala bentuk praktik thariqat.

Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif Al-Minangkabawi (1276 – 1334 H/1860 – 1916 M), seorang ulama besar Indonesia yang menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, mendukung beberapa pemikiran Muhammad Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Ahmad Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Muhammad Abduh itu. Di antaranya adalah Muhammad Darwis bin Abu Bakar atau yang lebih dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan (1284 – 1341 H/1868 – 1923) yang kemudian mendirikan organisasi Muhammadiyah. Tidak demikian dengan KH. Hasyim Asy’ari. Beliau sebenarnya juga menerima ide-ide Muhammad Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Muhammad Abduh agar umat Islam melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Beliau berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem madzhab. Untuk menafsirkan Al-Qur’an dan Al-Hadits tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama madzhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.

Dalam hal thariqat, KH. Hasyim Asy’ari tidak menganggap bahwa semua bentuk praktik keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar umat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan thariqat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermadzhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermadzhab (sering disebut kelompok modernis-puritan) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Kongres Al-Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Kongres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok umat Islam, untuk dibawa ke kongres umat Islam di Mekkah.

Kelompok modernis di Indonesia diwakili oleh :
  1. Muhammad Darwis, seorang tokoh pembaharu agama (mujaddid) asal Yogyakarta. Dia aktif dan rutin mengikuti pemikiran Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridla lewat majalah Al-Manar dan ajaran Wahabi. Dia kemudian dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan yang pada 18 Nopember 1912 mendirikan organisasi keagamaan Muhammadiyah. Walaupun kenyataannya dalam amaliyah sehari-hari selama hidupnya KH. Ahmad Dahlan lebih dekat kepada madzhab Syafi’i. Namun sepeninggal beliau terjadi modernisasi total dari para penerusnya.
  2. Ahmad Soorkati (1872 – 1943 M) seorang mujaddid asal Sudan yang kalah bersaing dalam Jami’at al-Khair di negaranya. Kemudian hijrah ke Indonesia dan tahun 1914 di Betawi mendirikan organisasi Al-Irsyad.
  3. Di Bandung pun muncul mujaddid yang bernama Ahmad Hassan yang juga dikenal sebagai Hassan Bandung atau Hassan Bangil yang tahun 1927 meneruskan organisasi Persatuan Islam (PERSIS) yang didirikan pada 12 September 1923 oleh KH. Zam Zam Palembang dan Muhammad Yunus.
  4. Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto (1882 – 1934 M) dengan Sarekat Islam (SI).

Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar (Potret Pemikiran) atau dikenal juga dengan nama Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pikiran), sebuah gerakan yang didirikan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Mas Manshur, ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, belum juga memberikan restunya. Berbagai perkembangan yang tidak menguntungkan kaum pesantren selama kurun 1920 sampai dengan 1926, akhirnya mendorong KH. Hasyim Asy’ari untuk melakukan istikharah demi kemaslahatan umat.

Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kiai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, Syaikhuna Cholil.

Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kiai Cholil telah mengetahui apa yang dialami Kiai Hasyim. Kiai Cholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kiai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kiai Hasyim.

Ketika Kiai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata. Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kiai Hasyim masih menunggu kemantapan hati. Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratusy Syaikh. ”Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Cholil di lehernya.

Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kiai”.

Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. ”K
iai Cholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kiai Hasyim semakin mantap. Hadratusy Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisasi/jam’iyyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui shalat istikharah. Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Cholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.

Pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 dalam sebuah pertemuan di rumah KH. Abdul Wahab Chasbullah di Kampung Kawatan –Surabaya. Pertemuan bersejarah itu dihadiri oleh beberapa ulama yang berpengaruh, di antaranya : KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Bisri Syansuri (Jombang), KH. Raden Asnawi (Kudus), KH. Maksum (Lasem, Rembang), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Nahrowi Thahir, KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz (Malang), KH. Ridlwan Abdullah, KH. Abdullah Ubaid (Surabaya), KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon), H. Ndoro Munthoha (Madura), KH. Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH. Abdullah Faqih (Sedayu, Gresik), dan lain-lain. (Sumber : Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khittah Nahdlatul ‘Ulama, Surabaya, Lajnah Ta’lif Wan Nasr, t.t. hal 10-11).

Dalam kesempatan itu, atas restu KH. Hasyim Asy’ari disepakati juga pembentukan jam’iyyah sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal Muslimin (kejayaan Islam dan kaum Muslimin). Forum para kiai itu secara aklamasi menerima usulan KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz yang memberi nama "Nahdlatul 'Ulama" bagi jam’iyyah baru itu. 16 Rajab 1344 H, tanggal bersejarah lahirnya organisasi Nahdlatul 'Ulama (NU) yang diperingati setiap tahun hingga kini.

Didirikannya Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama adalah bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan faham Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tertuang dalam Pasal 3 ayat a; b, (Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama 1926, HBNO, Soerabaja, 1344 H), yakni : “Mengadakan perhoeboengan di antara oelama-oelama yang bermadzhab” dan “memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab Ahli Bid’ah.”

Dalam forum ulama yang cukup sederhana itu, H. Hasan Gipo (1869 – 1934) ditunjuk oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah menjadi ketua Tanfidziyah Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO –Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama) dengan didampingi KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang menjadi Rois Akbar, sebuah gelar hingga kini tidak seorang pun menyandangnya.

Dalam pidato pembentukan NU, yang kemudian menjadi “Muqaddimah Qanun Asasi NU”, KH. Hasyim Asy’ari secara tegas mengatakan bahwa “…Pendirian Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama atau NU adalah mutlak diperlukan untuk memperkuat basis solidaritas sesama umat Islam guna memerangi keangkara-murkaan”. Sebuah syair pun dikutip KH. Hasyim Asy’ari yang menunjukkan signifikansi sebuah Jam’iyyah, yaitu :

“… Berhimpunlah anak-anakku bila genting datang melanda
Jangan bercerai berai, sendiri-sendiri
Cawan-cawan enggan pecah bila bersama
Bila bercerai, satu-satu pecah berderai…”


 Hasil gambar untuk lambang nu

Nahdlatul ‘Ulama sebagai suatu ikatan ulama seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama-ulama lain.


Jam’iyyah ini berpegang pada faham Ahlussunnah wal Jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua, orientasi diperluas pada persoalan-persoalan nasional.

Kepedulian KH. Hasyim Asy'ari yang mengajak umat Islam untuk bersatu, menarik hati kalangan modernis seperti KH. Mas Manshur dari Muhammadiyah dan Wondoamiseno dari Sarekat Islam yang diundang ke Muktamar NU. Mereka kemudian merealisasikan ajakan KH. Hasyim Asy’ari itu untuk bekerja sama dengan kalangan tradisionalis, yang kemudian membentuk badan federasi bagi organisasi-organisasi Islam untuk mengkoordinasikan kegiatan, dan menyatukan mereka menghadapi ancaman dan kepentingan bersama.

Organisasi itu didirikan pada 18-21 September 1937, dengan nama MIAI (Majelis al-Islam A’la Indonesia). KH. Hasyim Asy’ari menjadi Ketua Dewan (periode tahun 1937-1942). Tigabelas organisasi tergabung dalam organisasi itu, dan semua bersatu menghadapi politik Belanda, seperti menolak undang-undang perkawinan dan kewajiban militer bagi umat Islam. Melalui MIAI – yang akhirnya (terpaksa) diakui oleh pemerintah Hindia-Belanda – itulah, perjuangan melindungi umat Islam, khususnya warga nahdliyyin dilakukan.

Pada 24 Oktober 1943, Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dibentuk oleh Jepang sebagai pengganti MIAI. Terbentuknya organisasi itu karena Jepang khawatir karakter antikolonial MIAI akan berubah menjadi anti-Jepang. Masyumi dan MIAI memiliki tujuan yang sama, yaitu mempersatukan umat Islam. Akhirnya dinamika politik telah terjadi di masa itu, yang telah melibatkan NU dalam Masyumi. Sebagian besar tokoh NU dijadikan pengurus, seperti KH. Hasyim Asy’ari yang diangkat sebagai Ketua pertama Masyumi, dan juga KH. Abdul Wahab Chasbullah yang diangkat sebagai Penasehat Dewan Pelaksana.

NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai politik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian dianulir dengan keputusan Muktamar Situbondo yang menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khittahnya.

Pejuang Kemerdekaan

Peran KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda. Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913, intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.

Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kiai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar.

Kiai Hasyim menanggapi peristiwa ini dengan memberi dorongan kepada santri: “Kejadian ini justru menambah semangat kita untuk terus berjuang menegakkan Islam dan kemerdekaan yang hakiki”.
 

Kabar yang terjadi di Tebuireng terdengar oleh banyak pesantren di Jawa. Mereka turut menyumbangkan bantuan dan sumbangan untuk Tebuireng. Sehingga dalam waktu sekitar 8 bulan, Tebuireng bangkit seperti sedia kala. Nama Tebuireng semakin terkenal, para santri yang datang untuk mengaji pun bertambah banyak.

Pada tahun 1937 Kiai Hasyim didatangi wakil Pemerintah Hindia-Belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
  • Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
  • Harta benda yang berlimpah-limpah
  • Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. KH. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.

Perlakuan represif Belanda terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia-Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.

Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratusy Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).

Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kiai Hasyim menolak aturan tersebut, sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kiai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.

Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratusy Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratusy Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga KH. Hasyim Asy’ari tercerai berai. Istri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kiai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para kiai dan santri. Selain itu, pembebasan Kiai Hasyim juga berkat usaha dari Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Chasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.

Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kiai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Fatwa itu dikeluarkan dalam pertemuan ulama dan konsul-konsul NU se-Jawa serta Madura di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama di Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, pada 22 Oktober 1945.

Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu :
  1. Setiap Muslim – tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia.
  2. Pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada.
  3. Warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah-belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.

Jadi umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar shalat). Di luar radius itu dianggap fardhu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardhu ‘ain, kewajiban individu). Fatwa jihad yang ditulis dengan huruf pegon itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio.

Fatwa itulah yang memotivasi arek-arek Suroboyo, akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Pada tanggal 7 Nopember 1945tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabayaumat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kiai Hasyim diangkat sebagai Rois ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945 1947. Jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia.

Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kiai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kiai Hasyim.

Keluarga dan Sisilah

Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan –Madiun. Dari perkawinan ini Kiai Hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
  1. Hannah
  2. Khoiriyah
  3. Aisyah
  4. Azzah
  5. Abdul Wahid
  6. Abdul Hakim (Abdul Kholiq)
  7. Abdul Karim
  8. Ubaidillah
  9. Mashurroh
  10. Muhammad Yusuf.

Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat dan menjelang akhir tahun 1930, KH. Hasyim Asy’ari menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu –Kediri, dari pernikahan tersebut, beliau dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
  1. Abdul Qodir
  2. Fatimah
  3. Chotijah
  4. Muhammad Ya’qub

Wafatnya Sang Tokoh

Pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M, tepatnya pukul 9 malam, Hadratusy Syekh kedatangan tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron. Tamu istimewa tersebut, memberikan sepucuk surat kepada beliau. Dalam surat itu, Bung Tomo memohon kepada Hadratusy Syaikh untuk mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang serta banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berpikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.

Empat hari sebelumnya, tamu itu sudah menemui Hadratusy Syekh yang ketika itu beliau baru saja selesai mengimami shalat Tarawih dan ingin mengisi pengajian ibu-ibu muslimat. Si tamu juga menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman. Yang intinya beliau diminta mengungsi ke Sarangan Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen untuk mendukung Belanda, dimana hal itu akan berpengarauh buruk bagi moral para pejuang. Jajaran TNI di sekitar Jombang akan membantu pengungsian Kiai Hasyim. Namun beliau tidak berkenan menerima tawaran tersebut.

Kiai Ghufron yang mendampingi beliau kemudian melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya KH. Muhammad Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (dokter Angka Nitisastro).

Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak (hesemblonding). Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH. Muhammad Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 7 Ramadhan 1366 H. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Kepergian belaiu ke tempat peristirahatan terakhir, diantarkan belasungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau di tengah Pesantren Tebuireng. Pada saat mengantar kepergiannya, shahabat dan saudara beliau, KH. Abdul Wahab Chasbullah, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup beliau, yakni, “Berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.

Ad-Da’wah bil Qalam

KH. Hasyim Asy’ari ternyata seorang ulama yang produktif menulis di sela-sela kehidupan beliau di dalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya, pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa Arab. Telah banyak kitab-kitab beliau yang terbit, dan setiap tahunnya pun dikaji dimana-mana. Waktu yang digunakan KH. Hasyim Asy’ari untuk menulis biasanya adalah pagi hari antara jam 10.00 sampai menjelang dhuhur. Selain untuk menulis, waktu ini biasanya beliau gunakan untuk istirahat, membaca kitab dan menerima tamu yang setiap harinya berkisar 50 tamu.

Tulisan beliau beragam, ada yang menerangkan agama, aqidah, syari’ah, fiqh, hadits, hubungan sesama manusia, politik, etika, sejarah dan sebagainya. Kitab yang beliau tulis merupakan pengalaman yang pernah beliau alami. Seperti kitab At-Tanbihat al-Wajibat, adalah sebuah kitab yang berisikan pengalaman beliau atas perayaan maulid yang dicampuri dengan berbagai macam kemungkaran. Peristiwa ini terjadi ketika beliau pergi ke Sewulan Madiun pada 1355 H. Ada juga kitab beliau yang berjudul Ziyadah at-Ta’liqot, isinya adalah perdebatan/ikhtilaf beliau dengan Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan yang menolak amaliyah NU.

Beliau juga sering mengisi kolom pada majalah dan surat kabar pada waktu itu, seperti, Panji Masjarakat, Soeara Masjoemi, dan Soeara Nahdlotul Oelama. Tulisan beliau biasanya berbentuk artikel, fatwa, ceramah dan jawaban atas pertanyaan para pembaca (beliau sebagai pengasuh rubrik tanya jawab masalah fiqhiyah).

Sangatlah sulit untuk dibayangkan, betapa sibuknya beliau sebagai pengasuh pesantren, pemimpin NU, ketua Ormas, Penasehat, Pembimbing para pejuang pembela tanah air, menyempatkan diri unuk menulis. Sungguh sebuah semangat yang jarang dimiliki oleh kebanyakan kiai.

Untuk membudayakan tradisi tulis menulis di kalangan warga NU, bersama KH. Abdul  Wahab Chasbullah, beliau mendirikan majalah NU dengan nama “Soeara Nahdlotoel Oelama”. Edisi perdananya terbit pada 1 Shafar 1346 /1930 (empat tahun setelah NU didirikan). Selain berisikan informasi penting tentang laju perkembangan NU, di dalamnya juga terdapat berita-berita aktual seputar nasional. Majalah ini memiliki ciri khas yang tak dijumpai majalah lainnya, yakni bertuliskan Jawa pegon (bahasa jawa yang ditulis dengan huruf Hijaiyah). Atas prakarsa beliau inilah, kini telah beredar banyak majalah NU di Nusantara hingga menjadikan generasi muda NU gemar untuk tulis menulis.

Adapun karya-karya Hadratusy Syaikh yang dapat ditelusuri dan dinikmati hingga saat ini di antaranya ialah :
1.       At-Tibyan fi an-Nahy ‘an Muqathaah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Penjelasan dalam melarang memutus silaturrahim sanak famili, kerabat dan saudara.
2.       Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan hukum pokok) organisasi Nahdlatul ‘Ulama.
3.       Risalah fi Ta’kid al-Akhdz Bimadzhab al-Aimmah al-Arba’ah. Risalah yang menerangkan memperkuat berpegang teguh atas madzhab empat.
4.       Mawaidz. Beberapa Nashihat.
5.       Arba’in Haditsan Tata’alliq bi Mabadi’ Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar Nahdlatul ‘Ulama.

Kelima kitab Hadratusy Syaikh di atas dikumpulkan menjadi satu kitab yang di atasnya diberi judul besar AT-TIBYAN berjumlah 41 halaman.
Kitab-kitab lainnya yaitu :
1.        An-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul.
2.       At-Tanbihat al-Wajibatliman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib untuk orang yang mengadakan kegiatan maulid dicampuri dengan kemungkaran
3.       Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syrat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah menerangkan tentang hadits-hadits yang menjelaskan kematian serta tanda-tanda hari kiamat dan menjelaskan kefahaman sunnah dan bid’ah.
4.       Ziyadah Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Tambahan yang berhubungan atas nadzm Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan.
5.       Dhu’ul Misbah fi Bayan Ahkam an-Nikah. Cahayanya sebuah yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah.
6.       Ad-Durosul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyaraoh. Mutiar yang memancar dalam menerangkan 19 masalah.
7.       Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarah Risalah al-Wali Ruslan li Syekh al-Islam Zakariya al-Anshari. Komentar atas kitab Fath ar-Rahman penjelas kitab Risah al-Wali Ruslan karya Syekh al-Islam Zakariya al-Anshari.
8.       Ar-Risalah at-Tauhidiyah. Risalah tauhid.
9.       Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-‘Aqaid.
10.    Ar-Risalah al-Jama’ah.
11.    Ar-Risalah fi al-’Aqaid. Menerangkan aqidah.
12.    Ar-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang ilmu tasawwuf.
13.    Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim Fima Yahtaju Ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wa ma Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Sopan santun orang yang alim dan pelajar.