Minggu, 09 Oktober 2016

Syari’ah Aswaja An-Nahdliyah

Al-Qur’an dan Al-Hadits diturunkan secara berangsur-angsur. Tidak sekaligus. Disampaikan kepada manusia menurut kebutuhan, kepentingan, dan situasi serta kondisi yang berbeda-beda. Ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits disampaikan di Makkah, Madinah dan sekitarnya lebih limabelas abad lalu dengan cara disebarluaskan dan diwariskan kepada umat manusia dengan segala persamaan dan perbedaannya untuk sepanjang zaman dengan berbagai perubahan dan perkembangannya.

Ketika Rasulullah Saw masih hidup, umat manusia menerima ajaran langsung dari beliau atau dari sahabat yang hadir ketika beliau menyampaikan. Setelah Rasulullah Saw wafat, para sahabat – termasuk empat Khulafa'ur Rasyidin : Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali – menyebarluaskan ajaran Islam kepada generasi berikutnya. Dengan perkembangan zaman, dengan kondisi masyarakat yang kian dinamis, banyak persoalan baru yang dihadapi umat. Seringkali hal yang muncul itu tidak terdapat jawabannya secara tegas dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Maka untuk mengetahui hukum atau ketentuan persoalan baru itu maka upaya ber-ijtihad harus dilakukan.

Sesungguhnya ijtihad juga sudah dilakukan sahabat ketika Kanjeng Nabi Muhammad masih hidup. Yakni ketika sahabat menghadapi persoalan baru tapi tidak mungkin dapat ditanyakan langsung kepada Rasulullah Saw. Seperti pernah dilakukan oleh sahabat Mu’adz bin Jabalsaat ditugasi mengajarkan Islam ke Yaman. Dan pada masa-masa sesudah kurun sahabat, kegiatan ijtihad makin banyak dilakukan oleh para ulama ahli ijtihad (Mujtahid).

Di antara tokoh yang mampu ber-ijtihad sejak generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in, terdapat banyak tokoh yang ijtihad-nya kuat (disebut mujtahid mustaqil). Bukan hanya mampu ber-ijtihad sendiri tetapi juga menciptakan “pola pemahaman (manhaj)” tersendiri terhadap sumber pokok hukum Islam, Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ini dicerminkan dengan metode ijtihad yang dirumuskan sendiri, menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih, qawa’idul ahkam, qawa’idul fiqhiyyah dan sebagainya. Proses dan prosedur ijtihad yang mereka hasilkan dilakukan sendiri. Itu menandakan bahwa secara keilmuan dan pemahaman keagamaan serta ilmu-ilmu penunjang lainnya telah mereka miliki dan kuasai.

Pola pemahaman ajaran Islam melalui ijtihad para mujtahid, lazim disebut madzhab, berarti “jalan pikiran dan jalan pemahaman” atau “pola pemahaman”. Pola pemahaman dengan metode, prosedur, dan produk ijtihad itu juga diikuti oleh umat Islam yang tidak mampu ijtihad sendiri karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki. Mereka lazim disebut bermadzhab atau menggunakan madzhab.

Dengan sistem bermadzhab, ajaran Islam dapat terus dikembangkan, disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah kepada semua lapisan dan tingkatan umat Islam. Dari yang paling awam sampai paling alim sekalipun. Melalui sistem ini pula pewarisan dan pengamalan ajaran Islam terpelihara kelurusan dan terjamin kemurniannya. Itu karena ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dipahami, ditafsiri, dan diamalkan dengan pola pemahaman dan metode ijtihad yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Walau begitu kualitas bermadzhab yang sudah ada harus terus ditingkatkan, yaitu dengan peningkatan kemampuan dan penguasaan ilmu agama Islam dengan segala jenis dan cabang-cabangnya.

Ajakan kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits tentu tidak boleh diartikan memahami kedua sumber hukum tersebut secara bebas (liberal), tanpa metode dan prosedur serta syarat-syarat yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

(Sumber dari : ahlussunnah.org)