Minggu, 09 Oktober 2016

Perumus Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Bidang Akidah

Seperti uraian sebelumnya, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak jaman Rasulullah Saw. Kemudian diteruskan dari generasi ke generasi secara kontinyu. Oleh para sahabat, tabi’in dan para ulama salaf setelahnya. Hanya saja waktu itu belum terumuskan dengan baik. Lalu, siapakah yang menjadi pelopor dalam merumuskan kembali Ahlussunnah wal Jama’ah khususnya dalam bidang akidah?

Yang merumuskan gerakan kembali kepada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Karena itu, ketika ada yang menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah, pasti yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti rumusan kedua Imam tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami dalam Tathhir al-Janan wa al-Lisan:
“Jika Ahlussunnah wal Jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Asy’ari (golongan Asya’irah) dan Imam Maturidi (golongan Maturidiyyah)”

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thasy Kubri Za’dah, sebagaimana yang dikutip oleh DR. Fathullahi Khulayf dalam pengantar kitab At-Tauhid karangan Imam Maturidi:
“Thasy Kubri Zadah berkata: “Ketahuilah bahwa pelopor gerakan Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang ilmu kalam ada 2 orang. Satu orang bermadzhab Hanafi, sedang yang lain dari golongan Syafi’i. Seorang yang bermadzhab Hanafi itu adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi. Sedangkan yang dari golongan Syafi’i adalah syaikh as-Sunnah, pemimpin masyarakat, imam para mutakallimin, pembela sunnah Nabi Saw dan agam Islam, pejuang dalam menjaga kemurnian akidah kaum muslimin (yakni), Abu al-Hasan al-‘Asy’ari al-Bashri” (Kitab At-Tauhid, 7)

Dua orang inilah yg menjadi pelopor gerakan kembali kepada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Inti sari dari kedua rumusan beliau tersebut tersimpul pada kitab-kitab yang telah diajarkan di Pesantren seperti Aqidah al-Awam, Kifayah al-Awam, Al-Jawahir al-Kalamiyah, Jawharah at-Tauhid serta kitab lain yg sudah tidak asing lagi bagi orang-orang yang belajar di Pesantren.

Nama lengkap Imam Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H/874 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. Beliau adalah salah satu keturunan sahabat Nabi Saw yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu beliau menikah lagi dengan salah seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Al-Jubba’i. Karena menjadi anak tiri Al-Jubba’i, Imam Asy’ari sangat tekun dalam mempelajari aliran Mu’tazilah, sehingga beliau sangat memahami tentang aliran ini. Tidak jarang ia menggantikan ayah tirinya untuk menyampaikan ajaran Mu’tazilah. Berkat kemahirannya itu, dan juga posisinya sebagai anak tiri dari salah seorang tokoh utama Mu’tazilah, banyak orang memperkirakan bahwa suatu saat ia akan menggantikan kedudukan ayah tirinya sebagai salah seorang tokoh Mu’tazilah.

Namun harapan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Fakta berbicara lain. Setelah Imam Asy’ari mendalami alairan Mu’tazilah, terungkaplah bahwa ada banyak celah dan kelemahan yang terdapat dalam aliran tersebut. Sesudah mengetahui beberapa kelemahan ini, beliau menyendiri dan ber-tafakur (merenung dan berfikir) selama 15 hari. Ia meminta kepada Allah Swt agar diberi petunjuk tentang langkah terbaik yang akan dilaluinya.

Dalam perenungan tersebut, sampailah beliau kepada kesimpulan bahwa sudah saatnya untuk kembali pada ajaran Islam yang murni, yakni ajaran yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat, serta dilanjutkan oleh para ulama salafush shalih. Imam Asy’ari beranggapan apabila tetap mengamalkan ajaran Mu’tazilah yang sangat mengandalkan akal pikirannya, berarti telah melakukan dosa sosial karena mengajak orang lain untuk berbuat kemunafikan. Akhirnya beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Imam Asy’ari kemudian memproklamirkan diri dan mengajak manusia untuk kembali pada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti yang telah diajarkan para salafush shalih. (Abi Hasan al-Nawawi, dalam Mukadimah al-Ibanah, 30-31)

Setelah peristiwa ini, banyak kalangan yang memuji Imam Asy’ari karena keberaniannya. Ia dijuluki sebagai orang yang telah menyelamatkan akidah umat Islam dari gangguan kelompok-kelompok yang akan merusak kemurnian agama Islam. Beliau diposisikan sebagai pelopor gerakan kembali Ahlussunnah wal Jama’ah. Gerakan yang beliau pimpin itu kemudian deikenal dengan sebutan golongan Asya’riah. Untuk mengokohkan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Imam Asy’ari banyak menulis kitab, di antaranya Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diniyah, Maqalat al-Islamiyyin dan lain sebagainya.

Karena keberaniannya ini pula, para ulama yang selama ini dibungkam dan ditindas oleh ‘penguasa’ Mu’tazilah memberikan dukungan pada gerakan yang ia rintis. Maka wajar, Jika pengikut beliau berasal dari berbagai kalangan. Para Muhadditsin (ahli hadits), Fuqaha (ahli fiqh) serta para ulama dari berbagai disiplin ilmu, ikut mendukung serta menjadi pengikut Imam Asy’ari. Sebagaimana yang telah dituturkan oleh Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki dalam Mufahim Yajib An Tushahhah:
“Sesungguhnya mereka (pengikut Imam Asy’ari) adalah berbagai kelompok dari para Muhadditsin (ahli Hadits), Fuqaha (ahli Fiqh) dan Mufassirin (ahli Tafsir) dari para imam yang terkemuka.” (Mufahim Yazib An Tushahhah, 111).

Diantara para ulama yang mengikuti ajaran beliau dalam bidang aqidah adalah Imam Nawawi (wafat thun 676 H, pengarang Ar-Riyadh ash-Sholihin). Syaikh Ibn Hajar al-Asqalani (wafat thn 852 H, penulis kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari serta kitab Bulugh al-Maram), Imam al-Qurtubi pengarang Tafsir al-Qurthubi, Ibn Hajar al-Haitami (wafat thn 974 H, Muallif kitab Az-Zawajir), Imam Zakariyya al-Anshari pengarang kitab Fath al-Wahab, serta masih banyak ulama terkenal lainnya.

Tidak sedikit pula ahli Tashawwuf terkenal menjadi pengikut akidah Asya’riah ini, seperti Abu al-Qasim ‘Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi penulis kitab Ar-Risalah al-Qusyairiyyah (376-465 H), dan Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (505 H) (Tabyin Kidzb al-Muftari, 291). Bahkan seorang sufi kenamaan yang bergelar Lisan al-Alawiyyin yakni penyambung lidah habaib, Al-Habib ‘Abdullah al-Haddad, Shahih Ratib al-Haddad mengatakan:
“Al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad berkata, “Kamu wajib menjaga keyakinanmu, menjernihkan serta mengokohkannnya sesuai dengan metode golongan yang selamat (al-Firqah an-Najiyyah). yakni golongan yang telah dikenal di antara sekian banyak golongan Islam dengan sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada semua yang diteladankan Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Apabila kamu memikirkan dengan pemahaman yang lurus, dan dengan hati jernih dalam teks kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memuat ilmu-ilmu tentang keimanan, dan bila kamu berkaca pada sejarah hidup ulama salaf yang shalih dari kalangan sahabat dan tabi’in, maka akan kamu ketahui dan kamu yakini bahwa kelompok yang benar akan selalu berada di pihak kelompok yang disebut Asy’ariyyah …(dan seterusnya)… Ajaran kelompok itu adalah akidah yang menjadi pedoman orang-orang benar di semua tempat dan seluruh jaman. Ia merupakan akidah ahli Tashawwuf, sebagaimana yang diceritakan oleh Abu al-Qasim al-Qusyairi Ra daalam pengantar kitab risalahnya. Dan alhamdulillah itu juga merupakan akidah kami (para Habaib), serta keyakinan saudara-saudara kami dari tokoh-tokoh keturunan Sayyidina Husain Ra yang terkenal dengan sebutan keluarga Abi Alawi, serta akidah seluruh datuk kami sejak masa Rasulullah Saw sampai saat ini.” (‘Uqud al-Almas, hal 89).

Lebih lanjut, untuk menambah keyakinan kita, beliau mendendangkan syair:
“Jadilah kamu golongan Asya’ri dalam akidahmu, karena sesungguhnya madzhab itu merupakan jalan yang bersih dari segala penyelewengan dan kesesatan.” (‘Uqud al-Almas, 91)

Inilah gambaran tentang kelompok Asy’ariah. Berkat kegigihan kelompok ini, agam Islam terhindar dari kerusakan yang disebabkan oleh menjamurnya berbagai aliran yang merusak kemurnian Islam. Karena jasanya yang sangat besar bagi agama Islam, mereka dijuluki sebagai kelompok yang telah menyelamatkan sendi-sendi ajaran Islam. Sebaagimana yang telah diakui oleh Ibn Taimiyyah dalam kitab Fatawa-nya dan pernyataan Abu Muhammad al-Juwaini:
“Para Ulama adalah para penolong ilmu-ilmu agama. Sedangkan Asy’airah adalah para penolong Ushul al-Din (akidah)” (Al-Fatawa, juz IV hal 24)

Tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah yang kedua adalah Imam Maturidi. nama beliau adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Beliau lahir di daerah Maturid, dan wafat di Samarkand pada tahun 333 H/944 M.

Seperti telah dijelaskan, beliau adalah seorang yang menganut madzhab Abu Hanifah. Maka wajarm jika kebanyakan ajaran yang beliau usung masih merupakan bagian dari madzhab Abu Hanifah, terutama dalam bidang akidah. Kaerna itu banyak pakar yang menyimpulkan bahwa yang menjadi landasan pijakan Imam Maturidi adalah pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam bidang akidah. (Tarikh al-Madzhab al-Islamiyyah, juz I hal 173)

Murid-murid beliau yang terkenal ada empat orang, yakni Abu Qasim Ishaq bin Muhammad bin Ismail yang terkenal sebagai hakim Samarkand, wafat pada tahun 340 H. Lalu Imam Abu Hasan ‘Ali bin Sa’id ar-Rastaghfani. Kemudian Imam Abu Muhammad “Abdul Karim bin Musa al-Badzawi, wafat pada tahun 390 H. Dan yang terakhir adalah Imam Abu al-Laits al-Bukhari. satu-satunya tulisan Imam Maturidi yang sampai kepada kita adalah kitab At-Tauhid yang di-tahqiq di(edit) oleh DR. Fathullah Khulayf.

(Sumber dari ahlussunnah.org)