Minggu, 09 Oktober 2016

Tasawuf Aswaja An-Nahdliyah

Aswaja memiliki prinsip, bahwa hakikat tujuan hidup adalah tercapainya keseimbangan kepentingan dunia-akherat dan selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, dicapai melalui perjalanan spiritual, yang bertujuan untuk memperoleh hakikat dan kesempurnaan hidup manusia (insan kamil). Namun hakikat yang diperoleh tersebut tidak boleh meniggalkan garis-garis syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Syari’at harus merupakan dasar untuk pencapaian hakikat. Inilah prinsip yang dipegangi tashawuf (tasawuf) Aswaja.

Bagi penganut Aswaja, Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah merupakan rujukan tertinggi. Tasawuf yang benar adalah yang dituntun oleh wahyu, Al-Qur’an maupun As- Sunnah (Thariqah ar-Rasulullah Saw).

Para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama kehidupannya. Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in sampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat dilihat dari kehidupan pribadi dan sosialnya. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an (kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan dzikir yang dilakukan mereka. Demikian juga perilaku mereka dalam bermasyarakat, seperti sopan santun, tawadlu’ (andab asor) dan sebagainya harus selalu diresapi dan diteladani dengan penuh kesungguhan dan kesabaran.

Secara jama’ah, kaum Nahdliyin dapat memasuki kehidupan sufi melalui cara-cara yang telah digunakan oleh seorang sufi tertentu dalam bentuk thariqah (tarikat). Tidak semua tarikat yang ada dapat diterima. Kaum Aswaja An-Nahdliyah menerima tarikat yang memiliki sanad sampai dengan Nabi Muhammad, sebab beliau pemimpin seluruh perilaku kehidupan umat Islam. Dari Nabi, seorang sufi harus merujuk dan meneladani. Apabila ada tarikat yang sanadnya tidak sampai kepada Nabi Muhammad, maka kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima sebagai thariqah mu’tabarah.

Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya adalah jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syari’at. Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban syari’at, seperti yang terdapat dalam tasawuf Al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya “ana al-haqq” atau tasawuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula gusti). Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima ajaran-ajaran tasawuf yang tidak meninggalkan syari’at dan akidah seperti yang terdapat dalam tasawuf Al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.

Penerimaan tasawuf model tersebut, bertujuan memberikan jalan tengah (tawasuth) di antara dua kelompok yang berbeda. Yaitu kelompok yang menyatakan : Setelah seseorang mencapai tingkat hakikat, tidak lagi diperlukan syari’at, dan kelompok yang menyatakan : Tasawuf dapat menyebabkan kehancuran umat Islam. Oleh karenanya mereka menolak kehidupan tasawuf secara keseluruhan. Ini seperti yang dituduhkan Ibnu Taimiyah.

Dengan demikian, yang diikuti dan dikembangkan oleh kaum Aswaja An-Nahdliyah adalah tasawuf yang moderat. Pengadopsian tasawuf demikian, memungkinkan umat Islam secara individu memiliki hubungan langsung dengan Tuhan, dan secara ber-jama’ah dapat melakukan gerakan ke arah kebaikan umat. Dengan tasawuf seperti itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah, dapat menjadi umat yang memiliki kesalehan individu dan keshalehan sosial (jama’ah).

Dengan tasawuf Al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi, kaum Aswaja An-Nahdliyah diharapkan menjadi umat yang selalu dinamis dan dapat menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat. Ini pernah ditunjukkan oleh para penyebar Islam di Indonesia, Wali Songo. Secara individu, para wali itu memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan pada saat yang sama mereka selalu membenahi akhlaq masyarakat dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh keikhlasan dan ketertundukan.

(Sumber dari : ahlussunnah.org)